HTI

Jejak Syariah

Turki dan Kekuasaan Islam (Bagian 3 – Habis)

Pada hari Senin tanggal 3 Maret 1924 (28 Rajab 1342 H), dunia dikejutkan oleh berita bahwa Mustafa Kemal di Turki secara resmi telah menghapus Khilafah. Pada malam itu Abdul Majid II, khalifah terakhir kaum Muslim, dipaksa untuk mengemas kopernya yang berisi pakaian dan uang ke dalam kendaraannya. Ia diasingkan dari Turki dan tidak pernah kembali. Dengan cara itulah pemerintahan Islam yang berusia 1.342 tahun berakhir.

Kisah berikut adalah sekelumit sejarah dari tindakan-tindakan kekuatan kolonialis dengan pertama kali menyebarkan benih perpecahan di antara kaum Muslim dengan menanamkan nasionalisme dan akhirnya mengatur penghancuran Daulah Khilafah Turki Utsmani melalui agen-agen pengkhianatnya.

Beberapa bulan setelah penghancuran Khilafah tanggal 24 Juli 1924, kemerdekaan Turki secara resmi diakui dengan penandatanganan Traktat Lausanne. Inggris dan sekutu-sekutunya menarik semua pasukannya dari Turki yang ditempatkan sejak akhir PD I. Sebagai reaksi dari hal ini, dilakukan protes kepada Menlu Lord Curzon di House of Common karena Inggris mengakui kemerdekaan Turki. Lord Currzon menjawab, “Situasinya sekarang adalah Turki telah mati dan tidak akan pernah bangkit lagi, karena kita telah menghancurkan kekuatan moralnya: Khilafah dan Islam.”

Sebagaimana diakui oleh Lord Curzon, Inggris bersama Prancis memainkan peran penting dalam membagi-bagi tanah kaum Muslim di antara mereka. Rencana mereka melawan Khilafah bukanlah karena Khilafah berpihak kepada Jerman pada PD I. Rencana ini telah dibuat ratusan tahun lalu yang akhirnya berbuah ketika Khilafah Usmani dengan cepat mulai merosot pada pertengahan abad ke 18.

Usaha pertama untuk menghancurkan persatuan Islam terjadi pada abad ke-11 ketika Paus Urbanus II melancarkan Perang Salib I untuk menduduki Al-Quds. Setelah 200 tahun pendudukan, akhirnya pasukan salib dikalahkan di tangan Salahudin Ayyubi. Pada abad ke-15 Konstantinopel ditaklukan dan benteng terakhir Kekaisaran Byzantium itu pun dikalahkan. Lalu pada abad ke 16 Daulah Islam menyapu seluruh bagian selatan dan timur Eropa dengan membawa Islam kepada bangsa-bangsa itu. Akibatnya, jutaan orang Albania, Yugoslavia, Bulgaria dan negara-negara lain memeluk Islam. Setelah pengepungan Wina tahun 1529 Eropa membentuk Aliansi untuk menghentikan ekspansi Khilafah di Eropa. Pada titik itulah terlihat bangkitnya permusuhan pasukan Salib terhadap Islam dan Khilafah, dan dibuatlah rencana-rencana berkaitan dengan “Masalah Ketimuran” seperti yang sudah diketahui.

Count Henri Decastri, seorang pengarang Prancis menulis dalam bukunya yang berjudul, “’Islam’ Tahun 1896″:

 

Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan dikatakan oleh kaum Muslim jika mereka mendengar cerita-cerita pada Abad Pertengahan dan mengerti apa yang biasa dikatakan oleh ahli pidato Kristen dalam hymne-hymne mereka. Semua hymne kami bahkan hymne yang muncul sebelum abad ke-12 berasal dari konsep yang merupakan akibat dari Perang Salib. Hymne-hymne itu dipenuhi oleh kebencian kepada kaum Muslim karena ketidakpedulian mereka terhadap agamanya. Akibat dari hymne dan nyanyian itu, kebencian terhadap agama itu tertancap di benak mereka, dan kekeliruan ide menjadi berakar, yang beberapa di antaranya masih terbawa hingga saat ini.

 

Setelah kekalahan mereka, pasukan Salib menyadari bahwa kekuatan Islam dan keyakinannya adalah akidah Islam. Sepanjang kaum Muslim berkomitmen dengan kuat pada Islam dan al-Quran, Khilafah tidak akan pernah hancur. Inilah sebabnya pada akhir abad ke-16, mereka mendirikan pusat misionaris pertama di Malta dan membuat markasnya untuk melancarkan serangan misionarisnya terhadap Dunia Islam. Inilah awal masuknya kebudayaan Barat ke Dunia Islam yang dilakukan para misionaris Inggris, Prancis dan Amerika.

Para misionaris itu bekerja dengan berkedok lembaga-lembaga pendidikan dan ilmu pengetahuan. Awalnya akibat dari tindakan itu hanya kecil saja. Namun, selama abad ke 18 dan 19 ketika kemunduran Khilafah mulai muncul, mereka mampu mengeksplotasi kelemahan negara dan menyebarkan konsep-konsep yang jahat kepada masyarakat.

Pada abad 19, Beirut menjadi pusat aktivitas misionaris. Selama masa itu, para misionaris mengeksploitasi perselisihan dalam negeri di antara orang Kristen dan Druze, kemudian antara Kristen dan Muslim. Saat itu Inggris berpihak pada Druze, sementara Prancis berpihak pada Kristen Maronit. Selama masa itu para misionaris itu memiliki dua agenda utama: (1) Memisahkan Orang Arab dari Khilafah Usmani; (2) Membuat kaum Muslim merasa terasing dari ikatan Islam.

Tahun 1875 “Persekutuan Rahasia” dibentuk di Beirut dalam usaha untuk mendorong nasionalisme Arab di tengah rakyat. Melalui pernyataan-pernyataan dan selebaran-selebaran, persekutuan itu menyerukan kemerdekaan politik orang Arab, khususnya mereka yang tinggal di Suriah dan Libanon.

Dalam literaturnya, mereka berulang menuduh Turki merebut Khilafah Islam dari orang Arab, melanggar syariah dan mengkhianati agama Islam. Hal ini memunculkan benih-benih nasionalisme yang akhirnya berbuah pada tahun 1916 ketika Inggris memerintahkan seorang agennya, Sharif Hussein dari Makkah, untuk melancarkan Pemberontakan Arab terhadap Khilafah Utsmani. Pemberontakan ini sukses dalam membagi Tanah Arab dari Khilafah dan kemudian menempatkan tanah itu di bawah mandat Inggris dan Prancis.

Pada saat yang sama, nasionalisme mulai dikobarkan di antara orang Turki. Gerakan Turki Muda didirikan tahun 1889 berdasarkan nasionalisme Turki dan dapat berkuasa tahun 1908 setelah mengusir Khalifah Abdul Hamid II. Pengkhianat Mustafa Kamal yang menghapus Kekhalifahan adalah anggota Turki Muda. Inilah alasanya mengapa Kemal kemudian berkata, “Bukankah karena Khilafah, Islam dan ulama para petani Turki berperang hingga mati selama lima abad? Sudah waktunya Turki mengurus urusannya sendiri dan mengabaikan orang India dan orang Arab.”

Selain itu, mulai dilakukan penjajahan langsung di banyak bagian Dunia Islam. Ini dimulai selama pertengahan abad ke-18 ketika tahun 1768 Catherine II dari Rusia berperang dengan Khilafah dan dengan sukses dapat menduduki wilayah di Selatan Ukraina, Kaukasus Utara dan Crimea yang kemudian dijadikan bagian dari Kekaisaran Rusia. Prancis menyerang Mesir dan Inggris mulai menduduki India. Pada abad ke-19 Prancis menduduki Afrika Utara, sementara Inggris mendudu-ki Mesir, Sudan dan India. Sedikit demi sedikit wilayah Khilafah menjadi berkurang hingga akhir PD I ketika apa yang tersisa hanyalah Turki, yang diduduki oleh pasukan sekutu di bawah perintah Jendral Inggris yang bernama Charles Harrington. Pemecahan Tanah Khilafah dilakukan dalam sebuah perjanjian rahasia yang dilakukan antara Inggris dan Prancis tahun 1916. Perjanjian itu adalah Perjanjian Sykes-Picot. Rencana ini dibuat di antara diplomat Perancis bernama François Georges-Picot dan penasihat diplomat Inggris Mark Sykes. Di bawah perjanjian itu, Inggris mendapat kontrol atas Jordania, Irak dan wilayah kecil di sekitar Haifa. Prancis diberi kontrol atas Turki wilayah Selatan-Timur, Irak bagian Utara, Suriah dan Libanon.

Kekuatan Barat itu bebas memutuskan garis perbatasan di dalam wilayah Khilafah itu. Peta Timur Tengah saat ini adalah garis-garis yang dibuat Sykes dan Picot dengan memakai sebuah penggaris di atas tanah yang dulunya adalah wilayah Khilafah.

Pada tahun-tahun berlanjutnya kehancuran Khilafah, Inggris memainkan peranan kunci dengan cara memelihara agennya Mustafa Kamal. Melalui sejumlah manuver politik dengan bantuan Inggris, Mustafa Kamal mampu menjadikan dirinya berkuasa di Turki. Tahun 1922, Konferensi Lausanne diorganisir oleh Menlu Inggris Lord Curzon untuk mendiskusikan kemerdekaan Turki. Turki pada saat itu di bawah pendudukan pasukan sekutu dengan institusi Khilafah yang hanya tinggal nama. Selama konferensi itu Lord Curzon menetapkan empat kondisi sebelum mengakui kemerdekaan Turki. Kondisi-kondisi itu adalah: (1) Penghapusan total Khilafah; (2) Pengusiran Khalifah ke luar perbatasan; (3) Perampasan aset-aset Khilafah; (4) Pernyataan bahwa Turki menjadi sebuah negara sekular.

Namun, dengan tekanan asing yang sedemikian itu pun banyak kaum Muslim di dalam negeri Turki masih mengharapkan Khilafah. Khilafah telah melayani Islam sedemikan baiknya selama beberapa abad dan tidak pernah terbayangkan bahwa Khilafah bisa terhapus. Karena itu Lurd Curzon gagal untuk memastikan kondisi-kondisi ini dan konperensi itu berakhir dengan kegagalan.

Namun, dengan liciknya Lord Curzon atas nama Inggris tidak menyerah. Pada tanggal 3 Maret 1924 Mustafa Kemal memakai kekuatan bersenjata dan menteror lawan-lawan politiknya sehingga mampu menekan melalui Undang-undang Penghapusan Khilafah yang memungkinkan institusi Khilafah dihapus.

Selanjutnya, sejak tahun 1926/1345 M Mustafa Kamal melakukan tindakan brutal untuk menghapus syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk menghapus segala simbol yang berbau Islam seperti menghapus penanggalan Hijrah, mengganti azan dengan bahasa Turki, menutup banyak masjid, dll. [Gus Uwik, dari berbagai sumber]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*