Pendapat tentang kebolehan tadarruj (gradualisasi) atau pentahapan dan penerapan syariah Islam merupakan perkara yang sangat berbahaya. Penyeru tadarruj beralasan bahwa penerapan Islam secara sekaligus itu tidak mungkin. Oleh karena itu penerapan syariah Islam harus dilakukan satu demi satu. Itu berarti, adanya penerapan hukum-hukum kufur pada sebagian masalah dan hukum-hukum Islam pada bagian lainnya!
Jelas sekali, dalam perkara ini ada dosa dan kerusakan besar. Jelas pula, yang dijadikan dalil oleh para penyeru tadarruj kebanyakan dipaksakan. Mereka tidak meng-istinbâth hukum dari dalil syar’i. Mereka memutuskan terlebih dulu bahwa tadarruj adalah penting. Kemudian mereka mulai mencari dalil-dalil pembenaran atas kebolehan tadarruj tersebut. Ini jelas menyalahi tatacara sahih dalam melakukan istinbâth.
Cara Istinbâth Hukum yang Benar
Dalam meng-istinbâth hukum syariah untuk satu masalah, faktanya dikaji terlebih dulu dengan baik, kemudian dikumpulkan dalil-dalil yang berkaitan dengan fakta itu. Dalil-dalil ini dikaji secara ushûl. Dari dalil-dali itu lalu dilakukan proses istinbâth hukum.
Selanjutnya, jika ada dua dalil saling berlawanan, harus dikerahkan segenap upaya untuk mempertemukan (kompromi) di antara dalil-dalil tersebut. Sebab mengamalkan dua dalil lebih utama daripada mengabaikan salah satunya.
Jika upaya kompromi tersebut tidak mungkin, barulah dilakukan tarjîh (verifikasi) mana dalil yang lebih kuat (râjih) sesuai ushûl yang diikuti. Al-Muhkam tentu dikuatkan dari al-mutasyabih; yang qath’i dikuatkan dari yang zhanni. Jika sama-sama zhanni maka dikaji kekuatan dalil dari sisi sanad dan dari sisi keumuman. Yang lebih kuat sanad-nya di-râjih-kan atas yang lebih lemah sanad-nya. Dalil yang khusus (khâsh) di-râjih-kan atas yang umum (‘âm). Al-Muqayyad di-râjih-kan atas yang al-muhtlaq. Al-Manthûq di-râjih-kan atas al-mafhûm. Demikian seterusnya.
Tadarruj Haram
Dengan mengkaji dalil-dalil syariah yang ada, jelas sekali bahwa tadarruj (pentahapan) dalam menerapkan Islam—dengan menerap-kan sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain—adalah terlarang (haram). Dalil-dalil tentang keharamannya bersifat qath’i ats-tsubût dan qath’i ad-dalâlah. Berikut kami menyebutkan sebagiannya:
Pertama: Firman Allah SWT:
وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللّهُ إِلَيْكَ
Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan. Janganlah mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah terhadap mereka agar jangan sampai mereka memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah Allah turunkan kepada kamu (QS al-Maidah [5]: 49).
Ini merupakan perintah tegas dari Allah SWT kepada Rasul-Nya, juga kepada para penguasa kaum Muslim setelah beliau, agar berhukum dengan seluruh hukum yang telah Allah turunkan. Sebab lafal mâ yang dinyatakan di dalam ayat tersebut termasuk redaksi umum sehingga mencakup seluruh hukum yang diturunkan. Allah SWT telah melarang Rasul-Nya dan para penguasa kaum Muslim setelah beliau untuk mengikuti hawa nafsu manusia dan tunduk pada kehendak mereka (Lihat: QS al-Maidah [5]: 49).
Allah SWT memperingatkan Rasul-Nya dan para penguasa kaum Muslim setelah beliau agar jangan sampai dipalingkan oleh manusia dari penerapan sebagian hukum yang telah Allah turunkan. Bahkan mereka wajib menerapkan seluruh hukum yang telah Allah turunkan tanpa menoleh sedikitpun pada apa yang diinginkan oleh menusia (Lihat: QS al-Maidah [5]: 49).
Kedua: Firman Allah:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Siapa saja yang tidak memutuskan hukum berdasrakan apa yang telah Allah turunkan, mereka itulah kaum kafir (QS al-Maidah [5]: 44).
Dalam ayat lain, mereka yang tidak berhukum dengan hukum Allah SWT disebut zalim (QS al-Maidah [5]: 45) dan fasik (QS al-Maidah [5]: 47). Hal itu karena mâ yang dinyatakan di dalam ketiga ayat tersebut termasuk redaksi umum sehingga mencakup seluruh hukum syariah yang telah Allah turunkan.
Ketiga: Khulafaur Rasyidun tegas menerapkan hukum-hukum Islam secara total atas semua negeri yang ditaklukkan. Tentu mereka adalah orang-orang paling memahami Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Mereka menerapkan seluruh hukum secara sekaligus tanpa penundaan, penangguhan atau pentahapan. Mereka tidak mengizinkan orang yang masuk Islam untuk meminum khamr atau berzina satu tahun, misalnya, kemudian setelah itu dilarang. Sebaliknya, hukum syariah diterapkan seluruhnya. Ini adalah realitas yang mutawatir dalam penerapan hukum atas negeri-negeri yang ditaklukkan.
Keempat: Atas dasar itu, dalil zhanni tidak berpengaruh dalam hukum ini. Keharaman tadarruj dan kewajiban penerapan hukum Islam secara total ditetapkan oleh nash yang qath’i. Ini berarti bahwa dalil zhanni manapun yang di dalamnya ada syubhat dalâlah yang bertentangan dengan qath’i tidak bisa digunakan.
Kelima: Mungkinkah dalam konteks ini menerapkan dua dalil? Dalam hal ini, kita perlu memaparkan lebih dulu dalil-dalil yang dijadikan argumentasi atas kebolehan tadarruj.
- Hadis Aisyah ra. tentang khamr.
Yusuf bin Mahak berkata: Aku pernah berada di hadapan Aisyah Ummul Mukminin ra. saat seseorang dari Irak datang lalu dan berkata, “Kafan manakah yang lebih baik?” Aisyah berkata, “Celaka kamu! Apa yang memadaratkanmu?” Ia berkata, “Ummul Mukminin, tunjukkan kepadaku mushafmu?” Aisyah bertanya, Mengapa?” Ia berkata, “Agar aku menulis al-Quran berdasarkan hal itu karena yang dibaca tidak ditulis.” Aisyah berkata, “Apa yang memadaaratkanmu? Mana yang kami baca sebelumnya? Tidak lain yang paling awal diturunkan adalah surat al-mufashshal, di dalamnya disebutkan tentang surga dan neraka, hingga ketika manusia ramai masuk Islam turunlah al-halal dan al-haram, seandainya yang pertama kali turun adalah, ‘Jangan kalian meminum khamar,’ niscaya mereka berkata, ‘Kami tidak akan meninggalkan khamr selamanya.’ Seandainya yang turun adalah, ‘Jangan kalian berzina,’ niscaya mereka berkata, ‘Kami tidak meninggalkan zina selamanya.’ Telah turun di Makkah kepada Muhammad saw. dan aku kala itu masih gadis yang masih bermain-main (yang artinya): “Sebenarnya Hari Kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan Kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit (TQS al-Qamar [54]: 46). Tidaklah turun Surat al-Baqarah dan an-Nisa’ kecuali aku ada di sisi beliau.”
Yusuf berkata, “Aisyah lalu mengeluarkan mushhaf. Ia kemudian mendiktekan kepada orang itu surat-surat.”
Pertanyaannya: Dimana dalâlah di dalam ucapan Aisyah ra. yang menunjukkan tadarruj dalam penerapan hukum syariah?
Sesungguhnya Aisyah ra. menjelaskan kepada orang Irak yang bertanya, bahwa surat dari al-Quran yang pertama diturunkan adalah surat-surat yang berbicara tentang akidah islamiyah agar orang-orang beriman dengan Islam. Ketika mereka telah beriman, diturunkan surat-surat yang berbicara tentang halal dan haram, yakni tentang hukum-hukum syariah. Tidak ada di dalamnya tadarruj dalam penerapan halal dan haram. Pernyataan Aisyah ra. ini justru menunjukkan sebaliknya: penerapan seluruh perkara halal dan haram.
Terkait hadis di atas, di dalam Fathu al-Bârî dinyatakan: “Ini mengisyaratkan pada hikmah Ilahiah dalam tartîb (urut-ututan) turunnya ayat, yakni yang pertama turun adalah seruan pada tauhid dan berita gembira kepada kaum Mukmin dan taat dengan surga dan untuk orang kafir dan bermaksiat dengan neraka.”
Urut-urutan ayat al-Quran yang berkaitan dengan akidah terlebih dulu, kemudian setelah itu ayat-ayat tentang hukum, adalah sesuai dengan hakikat perkara. Kaum yang kafir kepada Allah, Rasul-Nya dan Hari Akhir tidak akan menjawab perintah Allah SWT. Oleh karena itu, pertama-tama mereka harus diseru pada iman dan tauhid. Jika mereka menerimanya, barulah mereka dibebani dengan hukum-hukum syariah. Jika demikian, lalu apa hubungannya dengan tadarruj dalam penerapan hukum-hukum syariah atas kaum Muslim di negeri-negeri kaum Muslim?
- Penundaan had pencurian pada masa Khalifah Umar ra.
Umar ra. tidak melakukan tadarruj dalam penerapan had pencurian. Had pencurian diterapkan langsung setelah ayat tentang itu turun pada zaman Nabi saw., kemudian terus diterapkan pada zaman Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar dan seluruh khalifah setelah mereka. Adapun yang dilakukan oleh Umar ra. dengan tidak menerapkan had pada saat itu karena ada kondisi-kondisi yang memang dimungkinkan di situ tidak boleh dilakukan potong tangan, di antaranya kondisi paceklik (karena saat paceklik orang sangat mungkin mencuri karena lapar, ed.).
Dalil atas ketidakbolehan potong tangan pada tahun paceklik antara lain: Pertama, riwayat yang dinukil oleh As-Sarakhsi dalam Al-Mabsûth dari Makhul ra. bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
لاَ قَطْعَ فِي مَجَاعَةِ مُضْطَرٍّ
Tidak ada potong tangan pada masa kelaparan yang memaksa.
Kedua, di dalam Al-Mabsûth as-Sarakhsi juga menukil riwayat dari al-Hasan, dari seorang laki-laki yang berkata: Aku pernah melihat dua orang laki-laki diikat dan seonggok daging. Lalu aku pergi bersama mereka kepada Khalifah Umar ra. Pemilik daging berkata kepada Khalifah Umar, “Kami punya unta ‘usyara’ yang kami tunggu, seperti musim semi ditunggu. Lalu aku temukan dua orang ini telah menyembelih unta itu.” Umar ra. berkata, “Apakah engkau rela untamu ‘usyara’ diganti dengan dua ekor ‘usyara’ umur empat tahun? Sesungguhnya kami tidak memotong tangan dalam kasus pencurian daging (karena lapar) dan tidak pada tahun paceklik.”
Usyara’ adalah unta bunting 10 bulan dan dekat melahirkan. Ucapan Khalifah Umar ra. di atas bermakna: tidak ada potong tangan pada tahun paceklik karena kebutuhan yang memaksa, yakni kelaparan dan paceklik.
Ketiga, Ibnu Abi Syaibah menuturkan riwayat di dalam Al-Mushannaf-nya dari Ma’mar, dari Yahya bin Abi Katsir, yang berkata bahwa Umar ra. pernah berkata:
لاَ يُقْطَعُ فِي عِذْقٍ، وَلاَ فِي عَامِ سَنَةٍ
Tidak dipotong tangan pada kasus pencurian daging (karena lapar) dan tidak pada tahun paceklik.
Atas dasar itu, had tidak dijatuhkan oleh Khalifah Umar ra. pada tahun kelaparan karena merujuk pada hukum syariah yang menetapkan bahwa had tidak boleh dijatuhkan dalam kasus pencurian pada tahun paceklik.. Artinya, Khalifah Umar ra. justru sedang menerapkan hukum syariah, bukan meninggalkan hukum syariah. Sebab inilah hukum syariah dalam kondisi demikian. Jadi, di mana letak hubungan tindakan Khalifah Umar ra. ini dengan tadarruj dalam penerapan hukum-hukum syariah?
- Kisah Umar bin Abdul Aziz bersama putranya.
Daulah Umayyah adalah Daulah Khilafah Islamiyah. Daulah Umayyah tidak menerapkan selain Islam. Hanya saja, di dalam Daulah Umayyah memang terjadi sejumlah penyimpangan dan kezaliman oleh sebagian khalifah dan para wali. Saat Umar bin Abdul Aziz memegang tampuk Kekhilafahan, ia melanjutkan penerapan Islam atas masyarakat secara sempurna. Ia sama sekali tidak melakukan tadarruj dalam penerapan hukum-hukum syariah terhadap masyarakat, dengan menerapkan sebagian hukum Islam dan meninggalkan sebagian lainnya. Akan tetapi, Umar bin Abdul Aziz ra. punya perhatian besar untuk menghilangkan kezaliman dan mengembalikan hak kepada pemiliknya. Ini berkaitan dengan tindakan para khalifah Bani Umayyah sebelumnya. Hal itu memerlukan penelitian, pemeriksaan dan upaya besar. Sebagian kepemilikan yang dikuasai oleh sebagian pendukung para khalifah telah berpindah ke banyak tangan. Sebagian harta telah dibelanjakan atau berubah bentuk melalui jual-beli. Ada juga pemilik hak yang sudah meninggal atau pergi ke berbagai penjuru bumi. Semua itu memerlukan upaya dan kesulitan dalam hal klarifikasi, pemeriksaan dan pemastian perkara (sehingga membutuhkan waktu lama, ed.). Di dalamnya sama sekali tidak ada sedikit pun tadarruj. [Bersambung].
[Dinukil dan diadaptasi dari Soal-Jawab Amir HT, Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah (19 Ramadhan 1437 H/24 Juni 2016 M). Sumber: http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/37995.html#sthash.AfGfcUxn.dpuf; https://www.facebook.com/AmeerhtAtabinKhalil/photos/a.122855544578192.1073741828.122848424578904/489959114534498/?type=3&theater]