HTI

Soal Jawab (Al Waie)

Bolehkan Memiliki Kewarganegaraan Ganda?

Soal:

Bagaimana status kewarganegaraan dalam Negara Khilafah? Adakah Islam mengenal status kewarganegaraan ganda? Lalu bagaimana konsekuensi kewarganegaraan seseorang?

 

Jawab:

Kewarganegaraan sering diistilahkan dengan “Jinsiyyah”. Mengingat istilah “Jinsiyyah” ini sudah mengandung konotasi tertentu, istilah ini tidak kita gunakan agar kita terhindar dari persepsi yang salah tentang konotasi kewarganegaraan yang dimaksud oleh Islam. Karena itu kita menggunakan istilah “Tâbi’iyyah”, diambil dari kata “Tâbi’” (yang mengikuti).

Istilah “Tâbi’iyyah” (kewarganegaraan) seseorang ini merujuk pada wilayah yang diterima oleh orang tersebut sebagai tempatnya menetap, apakah Dâr al-Kufur atau Dâr al-Islâm. Jika wilayah yang menjadi tempatnya menetap adalah Dâr al-Islâm maka hukum-hukum Dâr al-Islâm pasti yang akan diberlakukan di wilayah tersebut. Dengan begitu, orang tersebut akan mempunyai kewarganegaraan Islam. Namun, jika wilayah yang menjadi tempatnya menetap adalah Dâr al-Kufur maka hukum-hukum Dâr al-Kufur pasti diberlakukan di wilayah tersebut. Dengan begitu, orang tersebut akan mempunyai kewarganegaraan kufur.1

Karena itu tidak ada seorang warga negara Dâr al-Islâm yang kepada dia diberlakukan hukum-hukum yang berlaku di Dâr al-Kufur. Begitu juga sebaliknya. Seorang warga negara Dâr al-Kufur, tidak berlaku kepada dia hukum-hukum yang berlaku di Dâr al-Islâm. Pasalnya, kewarganegaraan ini membawa konsekuensi hukum. Meski Dâr al-Islâm adalah wilayah Negara Khilafah, yang berdasarkan akidah Islam, status keagamaan seseorang tidak menjadi patokan kewarganegaraan. Karena itu Muslim maupun non-Muslim boleh menjadi warga negara Khilafah.2

Dengan demikian, yang menjadi patokan kewargenegaraan dalam Islam adalah tempat menetap (makân iqâmah) dan loyalitas (walâ’) seseorang pada negara. Bukan masalah akidah. Selama seseorang memutuskan tempatnya menetap dan loyalitasnya di negara Khilafah, dia berhak mendapatkan kewarganegaraan negara Khilafah; terlepas apakah dia Muslim atau non-Muslim. Sebaliknya, meski dia Muslim, tetapi tidak menjadikan Khilafah sebagai tempatnya menetap dan loyalitasnya, maka dia tidak mendapatkan kewarganegaraan negara Khilafah.

Karena dua syarat kewarganegaraan tersebut tidak mungkin dipenuhi seseorang pada waktu yang sama di dua negara yang berbeda, maka Islam tidak mengenal kewarganegaraan ganda. Selain itu, di antara konsekuensi dari kewarganegaraan adalah berlakunya dua jenis hukum yang berbeda: hukum Islam untuk wilayah Islam dan hukum kufur untuk wilayah kufur.

Konsekuensi kewarganegaraan ini telah dinyatakan dalam Hadis Nabi saw. yang disampaikan kepada Sulaiman bin Buraidah ra. dari ayahnya:

إِذَا أَمَّرَ أَمِيْرًا عَلَى سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِي خَاصَّةِ نَفْسِهِ بِتَقْوَى اللَّهِ وَمَنْ مَعَهُ مِنْ الْمُسْلِمِينَ خَيْرًا فَقَالَ اغْزُوا بِاسْمِ اللَّهِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ اغْزُوا وَلاَ تَغْدِرُوا وَلاَ تَغُلُّوا وَلاَ تُمَثِّلُوا وَلاَ تَقْتُلُوا وَلِيدًا وَإِذَا لَقِيتَ عَدُوَّكَ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَادْعُهُمْ إِلَى إِحْدَى ثَلاَثِ خِلاَلٍ أَوْ خِصَالٍ فَأَيَّتُهُنَّ أَجَابُوكَ إِلَيْهَا فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ادْعُهُمْ إِلَى اْلإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ الْمُهَاجِرِينَ وَأَخْبِرْهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ أَنَّ لَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِينَ وَأَنَّ عَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِرِينَ وَإِنْ أَبَوْا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُونُونَ كَأَعْرَابِ الْمُسْلِمِينَ يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللَّهِ الَّذِي يَجْرِي عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَلاَ يَكُونُ لَهُمْ فِي الْفَيْءِ وَالْغَنِيمَةِ شَيْءٌ إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدُوا مَعَ الْمُسْلِمِينَ

Jika Rasulullah saw. mengangkat seorang panglima tentara, atau detasemen, maka beliau memberikan wasiat, secara khusus kepada dirinya agar bertakwa, dan memperlakukan kaum Muslim yang menyertai dirinya dengan baik. Baginda lalu bersabda, “Berperanglah di jalan Allah dengan menyebut Asma Allah. Perangilah orang yang kafir kepada Allah. Berperanglah, jangan melampaui batas. Jangan melarikan diri. Jangan melakukan mutilasi. Jangan membunuh anak-anak. Jika kamu bertemu dengan musuhmu, kaum musyrik, maka ajaklah mereka untuk memilih tiga perkara atau pilihan. Mana yang mereka pilih, terimalah; tahanlah dan jangan memerangi mereka. Ajaklah mereka memeluk Islam. Jika mereka menerima, terimalah; tahanlah dan jangan perangi mereka. Lalu, ajaklah mereka hijrah dari negeri mereka ke negeri kaum Muhajirin. Beritahu mereka, jika mereka melakukan itu, mereka berhak mendapatkan hak layaknya kaum Muhajirin, dan mereka mendapatkan kewajiban sebagaimana layaknya kaum Muhajirin. Jika mereka enggan dan tidak mau melakukan itu, sampaikan kepada mereka, bahwa mereka seperti Muslim yang tinggal di pedalaman Arab. Kepada mereka berlaku hukum Allah, sebagaimana terhadap orang Mukmin. Mereka tidak berhak mendapatkan Fai’ dan Ghanimah sedikitpun, kecuali jika mereka berperang bersama orang Muslim (HR Muslim).

 

Dalam hadis di atas, Nabi saw. menyatakan, “Lalu, ajaklah mereka hijrah dari negeri mereka ke negeri kaum Muhajirin. Beritahu mereka, jika mereka melakukannya, mereka berhak mendapatkan hak layaknya kaum Muhajirin, dan mereka mendapatkan kewajiban sebagaimana layaknya kaum Muhajirin.”3

Pernyataan Nabi saw. ini membuktikan bahwa makân iqâmah (tempat menetap) dan walâ’ (loyalitas) seseorang menentukan hak dan kewajibannya, sekaligus menentukan status kewarganegaraannya. Mafhûm dari hadis di atas, jika mereka tidak menempati tempat tersebut, dan tidak memberikan loyalitasnya, maka dia tidak berhak mendapatkan hak yang sama, dan kewajiban yang sama. Hadis ini juga berlaku untuk Ahli Dzimmah yang menetap di wilayah Khilafah. Mereka berhak mendapatkan kewarganegaraan negara Khilafah meski tetap memeluk agama mereka yang nota bene bukan agama Islam. Dengan tegas Nabi saw. menyatakan, “Siapa saja yang tetap berpegang teguh pada keyahudiaan atau kenasraniannya tidak akan dibujuk atau dipaksa (untuk meninggalkan agamanya). Dia hanya wajib membayar jizyah, yakni bagi tiap orang yang balig, pria maupun wanita.”4

Karena itu, memeluk akidah yang sama bukan syarat kewarganegaraan dalam negara Khilafah. Jika tidak, tentu orang kafir tidak boleh menetap dan menjadi warga negara Khilafah. Nyatanya tidak. Karena itu ada Ahli Dzimmah. Dzimmi, diambil dari kata dzimmah, yaitu janji. Mereka berhak mendapatkan janji kita. Maknanya, kita akan memperlakukan mereka sebagaimana komitmen perjanjian kita dengan mereka. Kita akan memperlakukan mereka, dan mengurus semua urusan mereka, dengan hukum Islam. Dalam hal ini, Islam pun telah menetapkan sejumlah hukum syariah yang mengatur tentang Ahli Dzimmah, tentang hak dan kewajiban mereka.

Dengan demikian, bisa disimpulkan, bahwa warga negara Khilafah bisa Muslim dan non-Muslim. Non-Muslim, bisa Musyrik maupun Ahli Kitab. Mereka inilah yang disebut Ahli Dzimmah. Di luar mereka, statusnya bukan warga negara, karena tidak memenuhi dua syarat di atas. Meski demikian, negara mengizinkan mereka keluar masuk wilayahnya. Mereka ada dua: Pertama, warga negara kafir harbi hukm[an], yang berstatus Mu’ahad. Kedua, warga negara kafir harbi hukmah atau fi’l[an] yang tidak berstatus Mu’ahad. Mereka ini bisa masuk ke wilayah Khilafah dengan visa khusus, dan mereka disebut Musta’man.

Dengan begitu, Islam tidak mengenal kewarganegaraan ganda. Inilah hukum Islam yang akan diterapkan oleh negara Khilafah di wilayahnya.

Konsekuensi dari kewarganegaraan ini adalah, bahwa negara Khilafah akan memberlakukan hukum syariah kepada mereka, baik Muslim maupun non-Muslim, sebagai berikut:

1-       Kepada seluruh kaum Muslim, hukum Islam akan diberlakukan, tanpa kecuali.

2-       Non-Muslim dibiarkan tetap memeluk agamanya, memeluk keyakinannya, serta apa mereka sembah, sesuai dengan ketentuan umum yang berlaku.

3-       Bagi orang yang Murtad dari Islam diberlakukan hukum murtad. Namun, jika yang murtad adalah orangtua mereka, sementara mereka dilahirkan bukan sebagai Muslim, mereka akan diperlakukan sebagai non-Muslim, sebagaimana kondisi mereka ketika dilahirkan, apakah musyrik atau Ahli Kitab.

4-       Non-Muslim akan diperlakukan dalam urusan makanan dan pakaian sesuai dengan agama mereka, sebagaimana yang dibenarkan oleh hukum-hukum Islam.

5-       Urusan pernikahan dan perceraian dengan sesama non-Muslim akan diputuskan sesuai dengan hukum agama mereka, sedangkan dengan kaum Muslim akan diputuskan dengan hukum Islam.

6-       Di luar itu semuanya itu, semua hukum syariah akan diberlakukan sama kepada seluruh warga negara, tanpa melihat Muslim atau non-Muslim. Begitu juga kepada mereka yang bukan warga negara yang berada di wilayah Khilafah; kecuali duta dan konsul karena mereka mempunyai kekebalan diplomatik.5

 

Inilah konsekuensi hukum dari status kewarganegaraan seseorang dalam negara Khilafah. WalLâhu a’lam bi as-shawab. [KH. Hafidz Abdurrahman]

Catatan kaki:

1         Muqaddimah ad-Dustûr wa al-Asbâb al-Mûjibah lahâ, Min Mansyurat Hizb at-Tahrir, Beirut, Dar al-Ummah, cet. II, 1430 H/2009 M, I/24.

2         Ibid, hlm. 25.

3         HR Muslim, Shahîh Muslim, hadis no. 1731.

4         Ibn Hazm, Al-Muhalla bi al-Atsar, hadis no. 980.

5         Muqaddimah ad-Dustûr wa al-Asbâb al-Mûjibah lahâ, Min Mansyurat Hizb at-Tahrir, Beirut, Dar al-Ummah, cet. II, 1430 H/2009 M, I/ 28-29.

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*