Sepanjang bulan Syawal lalu, saya bersama sejumlah syabab HTI melakukan ziarah (kunjungan) kepada para tokoh baik di pusat maupun daerah. Di antaranya adalah KH Ma’ruf Amin, Pak Haedar Nashir (Ketua Umum PP Muhammadiyah), Prof. Yunahar Ilyas (Waketum MUI, yang juga Waketum PP Muhammadiyah), Pak Busyro Muqaddas (Ketua PP Muhammadiyah, mantan Ketua KPK), juga Pak Amien Rais (mantan Ketua MPR, yang juga pernah menjadi pimpinan puncak di Muhammadiyah). Saya juga mengunjungi Pak Syukri Fadholi (Ketua DPW PPP), Pak Haryadi Suyuti (Walikota Jogjakarta), Prof. Didin Hafidhuddin, Ustadz Arifin Ilham dan KH Cholil Ridwan. Semuanya dijumpai di kediamannya masing-masing, kecuali KH Ma’ruf Amin yang dijumpai saat dirawat di rumah sakit.
Saya juga berjumpa dengan Ustadz Hidayat Nurwahid, Pak Ary Ginanjar, Ustadz Syafii Antonio, Pak Anwar Abbas (Sekum MUI Pusat), Pak Amidhan, KH Muhyidin Junaidi (Ketua MUI Pusat), Ustadz Tengku Zulkarnaen (Wasekjen MUI Pusat), Abu Jibril (MMI), KH Abdurrasyid Syafii, KH Satori Ismail (Ketua Umum IKADI), Emirsyah Tambunan (Wasekjen MUI), Ustadz Bahtiar Nasir, Ustadz Fahmi Salim (MIUMI) dan lainya.
++++
Pertemuan-pertemuan yang bersifat personal bukan hanya akan menggenapi pertemuan-pertemuan komunal seperti yang biasa terjadi saat acara rapat, musyawarah, diskusi atau seminar, perayaan-perayaan dan sebagainya, tetapi juga memberikan keakraban atau keintiman yang lebih. Banyak hal yang bisa dibicarakan dalam pertemuan personal itu, termasuk sejumlah persoalan-persoalan kritikal yang sedang hangat dibicarakan publik. Karena bersifat personal, banyak info yang kadang bersifat konfidensial (rahasia) atau tak selayaknya diungkap secara terbuka, bisa disampaikan dengan tenang.
Pertemuan personal juga memungkinkan kita melakukan konfirmasi atau tabayyun secara langsung tentang suatu berita atau kabar kurang sedap, baik tentang kita maupun tentang yang bersangkutan. Misalnya, kepada Pak Amien Rais saya tabayyun tentang rumor yang sempat berkembang cukup deras beberapa waktu lalu, bahwa Pak Amien didaulat menjadi komisaris PT Freeport. Melalui kontak personal, kesalahpahaman juga bisa dengan mudah diakhiri. Pendek kata, pertemuan personal memiliki sisi positif yang sangat banyak. Memang, untuk melakukan itu diperlukan energi yang besar karena harus meluangkan waktu secara khusus untuk menjumpai tokoh-tokoh itu satu-persatu. Namun, semua itu menjadi tak terlalu berarti bila dibanding dengan benefit atau manfaat yang didapat dari pertemuan-pertemuan itu.
Dalam kaca mata dakwah, perjumpaan personal seperti itu, yang sering disebut dengan istilah ittishâl (kontak), sesungguhnya merupakan aktivitas dakwah yang penting. Kontak adalah aktivitas komunikasi, dialog, perbincangan, diskusi, bisa juga sampai debat, yang dilakukan kepada seseorang secara personal. Melalui kontak personal, dakwah bisa disampaikan secara lebih mendalam. Dialog yang terjadi juga bisa lebih intens. Andaipun terjadi debat, tak sulit untuk mengakhiri dengan baik. Beda sekali kalau hal itu terjadi forum umum, yang bisa melebar ke mana-mana.
Kontak personal memiliki sifat yang jauh berbeda dengan kontak komunal. Bila dalam kontak komunal, topik pembicaraan tentu tentang hal yang pada saat itu telah ditetapkan. Dalam kontak personal, topik bisa lebih luwes, mengalir hingga pada hal-hal yang mungkin tidak diduga sebelumnya.
Kontak personal bukan hanya dilakukan kepada para ulama, ustadz atau tokoh ormas Islam, tetapi juga kepada para jurnalis, tokoh politik, intelektual, aparat keamanan, birokrat, para pengusaha, bahkan juga orang biasa dan non-Muslim. Bukan hanya di pusat, tetapi juga dilakukan hingga di level yang paling bawah. Intinya, menjalin relasi dan komunikasi dalam kerangka dakwah. Cita rasa dan sentuhan personal juga bisa kita lakukan dalam pertemuan itu. Pendek kata, kontak personal bisa makin mengakrabkan hubungan. Setelah akrab, berbagai kemungkinan sesudahnya bisa terjadi.
Dari para tokoh politik, misalnya, kita menjadi tahu konstelasi atau pertarungan politik praktis yang tengah berjalan, termasuk hal-hal yang terkait dengan penyusunan peraturan perundang-undangan. Dari tokoh intelektual terungkap bagaimana negeri ini sudah begitu dalam masuk ke dalam kepentingan para kapitalis global maupun lokal. Dari aparat keamanan kita menjadi tahu konteks keamanan serta posisi dakwah dalam kerangka keamanan tersebut.
Dalam kaitan dakwah, hasil yang paling diharap dari kontak personal adalah lahirnya dukungan, persetujuan, atau setidaknya kesepahaman. Kesepahaman bermakna, meski pihak yang dikontak tetap tidak setuju apalagi mendukung, ia bisa memahami apa yang menjadi pemikiran kita. Banyak jurnalis atau para peneliti asing, misalnya, yang datang mewawancarai saya. Setelah panjang lebar mendengar penjelasan tentang ide HTI dan berbagai isu kritis, mereka lalu acap mengatakan, “Saya bisa memahami, meski saya tetap tidak setuju.”
Kesepahaman itu penting karena akan menghindarkan dari kesalahpahaman. Tak ada yang baik dari sebuah salah paham. Namanya juga salah paham, pasti berakibat buruk. Lagi pula kesepahaman di awal, bila dialog berlanjut, sangat mungkin berkembang menjadi persetujuan. Dari persetujuan bisa berkembang menjadi dukungan. Oleh karena itu, kontak personal harus dilakukan dengan tujuan untuk menjalin komunikasi dan hubungan baik, atau setidaknya memberikan kesan yang baik. Merasa mendapat kesan yang sangat baik, mungkin juga karena puas mendengar penjelasan-penjelasan yang diberikan, seorang jurnalis perempuan dari The Washington Post, usai wawancara sampai mengatakan, “You are too smart to be moslem.” Para jurnalis dan peneliti asing, setelah berdialog langsung, dengan tegas mengatakan sama sekali tak percaya kalau HT disebut teroris.
Kontak yang baik, apalagi kepada sesama Muslim, yang dilakukan dengan akhlak yang baik, akan menghasilkan relasi atau hubungan dan komunikasi yang baik. Hanya bila komunikasi dan hubungan berjalan baik, kontak-kontak berikutnya bisa terus dilakukan, dan hasilnya juga mungkin akan terus berkembang ke arah yang diharap. Oleh karena itu, kontak personal sangatlah penting untuk terus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Kita percaya, sebagai saudara sesama Muslim, kita akan saling mendukung dalam kebaikan dan takwa (ta’âwun ‘alâ al-birri wa at-taqwâ).
Kita juga percaya, selagi masih berwujud manusia, tidak ada yang tidak mungkin berubah. Melalui dialog personal, Umar bin al-Khaththab ra. yang semula sangat memusuhi Islam berbalik menjadi pembela Islam yang sangat tangguh. Begitu pun dengan para Sahabat yang lain. Bahkan tak kurang petinggi seperti Kaisar Najasyi yang notabene adalah pemimpin politik yang beragama Kristen bisa berubah berkat dialog-dialog personal. Bila mereka semua, manusia-manusia yang hidup pada masa lampau bisa berubah, mengapa manusia yang hidup sekarang tidak? [HM Ismail Yusanto]