Uni Eropa Sudah Harus Masuk Museum Sejarah
Setelah hampir enam dekade, Uni Eropa menjadi tidak menarik, tidak bersatu dan lebih menjadi anti orang asing (xenophobia) pada usianya yang tua. “Alih-alih mengadakan pertemuan puncak yang tidak ada artinya, Uni Eropa seharusnya sudah pensiun dan dimasukkan ke dalam museum sejarah demi anak cucu,” ungkap Hizbut Tahrir Inggris Raya dalam situs resminya, www.hizb.org.uk, Senin (20/06/2016).
Namun, lanjut situs tersebut, perspektif Islam atas masalah ini adalah berbeda, karena Islam percaya pada entitas supra nasional yang berakar pada nilai-nilai Ilahi dan menyeimbangkan sistem pemerintahan yang terpusat dengan administrasi yang sepenuhnya terdesentralisasi.
Sistem Islam menempatkan masyarakat sebagai pihak terdepan yang mendapat keuntungan dan menggabungkan serikat politik dengan serikat ekonomi. Hal ini memungkinkan pergerakan bebas atas orang bukan hanya pergerakan bebas atas modal.
Sistem Islam memiliki mata uang terpadu yang berdasarkan pada emas dan standar perak dan bukan uang kertas (fiat money) yang dikendalikan oleh para bankir sentral yang tidak dipilih. Sistem ini memiliki kebijakan luar negeri yang berakar pada nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan dan bukan didasarkan pada kolonialisme dan eksploitasi ekonomi.
Manfaat dari sebuah entitas kesatuan adalah menenangkan pikiran dalam hal sumber daya energi, tenaga kerja dan modal keuangan. Itulah entitas supra nasional yang menguasai 70% cadangan minyak, memiliki militer dengan 5 juta tentara dan perairan air utama yang di bawah kendalinya akan menjadi kekuatan untuk bisa bersaing.
Bayangkan jika kekayaan negara Teluk dikombinasikan dengan tenaga kerja dari Asia Selatan. “Tidak heran Barat ingin memisahkan kita, apakah itu dengan Perjanjian Sykes-Picot pada awal abad ke-20; apakah itu dengan pemisahan Timor Timur di akhir abad ke-20; apakah u dengan pemisahan Sudan Selatan pada lima tahun yang lalu, pecah dan kuasai telah menjadi mantra Barat,” tegasnya.
Sains, arsitektur dan perdagangan terbukti dapat berkembang di bawah sebuah enitas supra nasional pada masa lalu dan dapat dilakukan lagi. Tony Blair, mantan Perdana Menteri Inggris, mengatakan hal ini tentang visi Islam atas sebuah entitas supra nasional. “Al-Quran adalah inklusif. Al-Quran meninggikan ilmu dan pengetahuan dan membenci takhayul. Al-Quran adalah praktis dan jauh berada di depan dibandingkan zamannya dalam hal sikap terhadap pernikahan, wanita dan pemerintahan. Di bawah bimbingan al-Quran, penyebaran Islam dan dominasinya atas negeri-negeri yang sebelumnya dikuasai orang Kristen atau orang kafir adalah mempesona. Selama berabad-abad, Islam mendirikan sebuah imperium dan memimpin dunia dalam hal penemuan, seni dan budaya. Standar toleransi pada awal Abad Pertengahan jauh lebih mungkin ditemukan di negeri-negeri Muslim dibandingkan di negeri-negeri Kristen,” ungkap situs tersebut mengutip pernyataan Blair.
Zona Euro 2016 Jadi Sarang Chauvinisme Berlebihan
Para fans Eropa melakukan pertempuran jalanan satu sama lain membuat olahraga yang diselenggarakan Eropa, ungkap aktivis Hizbut Tahrir Pakistan Abdul Majib, mengubah Zona Euro pada 2016 menjadi sarang chauvinisme berlebihan (keyakinan ultra-nasional). “Oleh karena itu, tampak bahwa setelah tujuh puluh tahun Eropa dalam damai sejak 1945, tampaknya telah lupa dengan sejarah Eropa,” ungkapnya seperti diberitakan hizb-ut-tahrir.info, Senin (11/07/2016).
Saat ini ada faktor penghancur Eropa yang lebih besar dari faktor yang mempersatukannya. “Gerakan-gerakan kebangsaan yang membawa pada rasisme dan xenofobia (anti orang asing), serta Islamophobia tengah menyebar di seluruh benua. Ini menimbulkan pertanyaan kapan Uni Eropa akan runtuh?” ujarnya.
Akan tetapi, lanjutnya, mungkin yang paling menarik dari semua perkembangan ini, dan yang mengagetkan, adalah desakan Turki untuk bergabung dengan Uni Eropa sebelum Inggris keluar dari Uni Eropa. “Tampak sikap (Erdogan) yang tidak paham dalam konteks kemungkinan keluarnya Inggris dan kembalinya chauvinisme berlebihan di negara-negara Uni Eropa. Yang lebih penting lagi adalah tidak adanya apa yang diberikan Uni Eropa ke Turki, terlepas dari besarnya rasa takut terhadap Islam. (Erdogan) sendiri telah menyatakan penyesalannya untuk itusaat ia berkata, “Eropa tidak menginginkan kita bergabung dengannya karena kita adalah Muslim. Kalau begitu, mengapa Turki terus mendesak untuk bergabung ke Uni Eropa?” tegasnya.
Ia juga menyebutkan kain kafan Uni Eropa telah dipersiapkan. Sementara itu, perdamaian panjang yang dinikmati Eropa selama beberapa dekade ternyata sedang di atas ranjang kematian dan akan pecah perang berskala luas di benua.
Amerika juga khawatir tentang hilangnya salah satu penyanggah konsep neo-liberalnya. “Amerika juga kekuatan lain yang tengah menuju nasib serupa, berupa disintegrasi dalam masyarakatnya. Sementara itu, waktu telah menjadi matang untuk mereka yang ingin mengisolasi Amerika dari arena internasional, dan menghasut rakyat berbagai warna untuk melawan kaum rasis kulit putih. Kenyataan inilah yang tampaknya akan terjadi di tahun-tahun mendatang,” pungkasnya.
Pentagon Menolak untuk Membayar 300 Juta Dolar Reimbursement Militer ke Pakistan
Seorang pejabat AS mengatakan bahwa Pentagon tidak akan membayar reimbursement (penggantian kembali biaya-biaya yang sudah dikeluarkan) militer senilai 300 juta dolar untuk Pakistan, setelah Menteri Pertahanan AS Ashton B. Carter memutuskan untuk tidak memberitahu Kongres bahwa Pakistan mengambil tindakan yang tepat terhadap kelompok Haqqani.
Juru Bicara resmi untuk Pentagon Adam Stump mengatakan, “Kami tidak akan mengeluarkan dana untuk Pemerintah Pakistan saat ini karena sejauh ini Menteri Pertahanan belum melihat bahwa Pakistan telah mengambil langkah-langkah serius dan tepat terhadap jaringan Haqqani.”
Dana 300 juta dolar itu berasal dari Dana Dukungan Kaoalisi (CSF/Coalition Support Fund), yaitu program yang dilakukan oleh Departemen Pertahanan AS untuk kompensasi sekutu yang mengalami kerugian dan biaya sebagai akibat dari perang melawan terorisme dan memerangi para pemberontak.
Menurut statistik Pentagon, Pakistan telah menerima 14 miliar dolar sejak tahun 2002 dalam rangka program ini. Keputusan dari Departemen Pertahanan AS ini merupakan indikasi adanya beberapa kemajuan dalam sejumlah operasi Pakistan di Waziristan, hanya saja masih ada banyak pekerjaan.
Direktur Kantor Media Pusat (CMO) Hizbut Tahrir Osman Bakhach menyatakan setelah 14 tahun membunuh kaum Muslim di wilayah Kesukuan, Amerika masih tidak puas dengan usaha Pakistan. Karena itu Amerika memutuskan untuk menolak pembayaran 300 juta dolar dana reeimbursement militernya.
“Jadi, apa yang memberitahu Anda tentang ketulusan para pemimpin Pakistan ini terhadap Islam dan Pakistan?” tanyanya retorik seperti diberitakan kantor berita Hizbut Tahrir, Senin (8/8/2016). [Riza Aulia/Joy dari berbagai sumber]
Jepang Juga Tertular Wabah Islamophobia Barat
Awal Juli lalu Japan Times melaporkan bahwa Mahkamah Agung Jepang telah mempertahankan (baca: mendukung) pengintaian terselubung (blanket surveillance) oleh Pemerintah Jepang terhadap komunitas Muslim di negara itu. Pengadilan menolak upaya banding kedua kalinya oleh sekelompok penggugat Muslim Jepang untuk melawan apa yang mereka anggap sebagai invasi inkonstitusional terhadap privasi dan kebebasan beragama mereka.
Sebuah kebocoran terjadi tahun 2010 yang mengungkap 114 berkas kepolisian dalam pengawasan nasional terhadap Muslim Jepang. Berkas-berkas itu mengungkap bahwa tempat ibadah Muslim, restoran halal dan organisasi Islam terkait di Tokyo, sedang dipantau. File yang bocor juga mengungkapkan profiling keagamaan umat Islam di seluruh Jepang, termasuk daftar sejumlah informasi pribadi, nama individu, deskripsi fisik, hubungan pribadi dan masjid yang mereka datangi, di dalam bagian berkas yang berjudul “mencurigakan”.
Bahkan dilaporkan pekan lalu sebelum Shalat Id, beberapa masjid di Jepang mendapat email dari orang tak dikenal berupa ancaman dan peringatan. Sekitar 120,000 Muslim di Jepang menghadapi semakin banyak tekanan akibat Islamofobia. Apalagi pasca insiden pemenggalan dua orang warga Jepang Haruna Yukawa dan Kenji Goto oleh ISIS tahun 2014 lalu. Namun, insiden itu justru makin meningkatkan ketertarikan dan intensitas kunjungan warga Jepang ke masjid-masjid di Tokyo. Shogeru Shimoyama, salah seorang imam Masjid Camii Tokyo merasakan betapa hausnya warga Jepang akan informasi tentang Islam dan Muslim.
Menurut anggota Kantor Media Pusat (CMO) Hizbut Tahrir Fika Komara, kebijakan Islamofobia di Jepang tidak bisa dilepaskan dari narasi anti-terorisme yang dipromosikan secara global oleh negara-negara Barat. “Kebijakan pengintaian terselubung terhadap komunitas Muslim Jepang tak pelak adalah bagian dari program counter-terrorism Jepang yang dilegalkan oleh Pemerintah Jepang,” tegasnya.
Rupanya inilah cara negara-negara kapitalis sekular memperlakukan kaum Muslim, yaitu sebagai ancaman dan warga negara kelas dua. “Ini jelas menunjukkan impotensi mereka dalam mengamankan hak-hak kewarganegaraan Muslim dan membangun identitas komunitas mereka,” jelasnya.
Pernyataan seperti “We love Islam and Muslim – its just the terrorists we hate” sebenarnya didesain untuk rekayasa sosial menciptakan atmosfer merendahkan Islam dan pembenaran untuk melanggar kehormatan dan hak Muslim. “Upaya pengintaian ini tidak saja menimbulkan salah kaprah tentang Islam bagi non-Muslim di Jepang, tetapi juga bermakna merendahkan umat Islam dengan menanamkan tekanan nilai agar Muslim menerima nilai-nilai sekular dengan mengorbankan ajaran Islam itu sendiri,” pungkasnya.