HTI

Dunia Islam (Al Waie)

Pengkhianatan Turki Terhadap Revolusi Syam

Dalam waktu yang tidak begitu lama, ada tiga manuver Turki yang penting untuk diperhatikan. Pertama: Menjalin kembali hubungan dengan Israel. Kedua: Menjalin hubungan dengan Rusia. Ketiga: Mempererat hubungan dengan Iran. Bagi sebagian pihak, manuver ini tentu sangat membingungkan sekaligus mengecewakan. Erdogan dianggap tidak konsisten dalam politik luar negerinya.

Bagaimana tidak. Erdogan yang selama ini dianggap anti Zionis Israel malah kembali mengokohkan hubungan dengan negara Zionis itu. Erdogan yang selama ini memusuhi Rusia karena dukungan Rusia terhadap rezim bengis Bashar Assad, sekarang malah menganggap Putin sebagai sahabatnya. Erdogan pun disebut-sebut anti terhadap Iran dengan memainkan isu Sunni-Syiah, sekarang malah makin mendekatkan diri dengan negara pendukung buta rezim Bashar Assad itu.

Namun sesungguhnya, apa yang dilakukan oleh berbagai negara di atas bukanlah anomali atau tidak konsisten. Semua manuver negara-negara di atas malah makin mengokohkan apa yang selama ini secara konsisten menjadi cara pandang Hizbut Tahrir terkait pergolakan di Timur Tengah, terutama Suriah. Semua negara-negara di atas—Iran, Turki, Rusia, termasuk Saudi—bergerak di bawah hegomoni dan kontrol Amerika Serikat. Artinya, manuver negara-negara di atas tidak lain untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan Amerika Serikat di kawasan itu.

Secara garis besar ada tiga kepentingan utama Amerika Serikat di Timur Tengah. Pertama: Menjaga suplay minyak Timur Tengah untuk kepentingan Amerika. Kedua: Menjaga eksistensi Yahudi sang penjajah. Ketiga: Mencegah kemunculan kekuasaan politik Islam yang mengancam kepentingan Barat, terutama dalam bentuk Negara Islam atau Khilafah.

Hal inilah yang secara konsisten dipegang oleh Amerika Serikat. Terkait pergolakan di Suriah, Amerika tidak ingin membiarkan Suriah menjadi Negara Islam (Khilafah) yang sejati. Amerika berusaha keras untuk mencegah kemenangan para mujahidin yang menginginkan tegaknya Khilafah ‘ala Minhajin-Nubuwwah di negeri Syam itu. Keberadaan negara Khilafah sejati (bukan ISIS) jelas akan mengancam tiga kepentingan Amerika dan negara-negara Barat di atas.

Strategi Amerika dalam hal ini adalah tetap mempertahankan Bashar Assad sampai ada penggantinya, yang bisa dikontrol oleh negara Paman Sam itu. Untuk itu Amerika memainkan negara-negara yang selama ini ada di bawah kendali Amerika Serikat, baik Rusia maupun negara-negara regional di sekitar Suriah seperti Iran, Saudi, Turki dan negara-negara teluk lainnya.

 

Posisi Masing-masing

 

  1. Posisi Iran.

Sejak awal Iran diposisikan sebagai penjaga Bashar Assad hingga ada penggantinya. Tidak mengherankan kalau Iran dibiarkan dan didorong oleh Amerika Serikat untuk mengirimkan pasukan Garda Revolusi Iran maupun milisi partai pendukung Iran dari Lebanon demi mempertahankan Basyar Assad. Iran lalu memanipulasi isu Sunni-Syiah untuk memperkuat manuvernya.

 

  1. Posisi Saudi dan Negara-negara Teluk.

Amerika menempatkan Saudi dan negara-negara Teluk untuk mendukung kelompok oposisi maupun milisi bersenjata yang ‘kontra’ dengan rezim Bashar Assad. Tidak lain agar Amerika Serikat melalui Saudi tetap bisa mengontrol arah pergolakan di Suriah. Artinya, kalaupun Bashar tumbang oleh kelompok oposisi atau sebagian milisi bersenjata anti Bashar, Amerika masih bisa berperan, melalui tangan-tangan Saudi. Mirip dengan Iran, Saudi juga memanipulasi isu Sunni-Syiah untuk memperkuat dukungan terhadapnya.

 

  1. Posisi Rusia.

Pasca tumbangnya Soviet yang mengusung ideologi Komunisme, bisa disebut Rusia berada di bawah bayang-bayang negara-negara Barat. Meskipun kadang tampak bersitegang dengan Barat dalam beberapa kasus seperti Ukraina, adopsi ideologi Kapitalisme oleh Rusia membuat negara ini tidak bisa melepaskan hubungan dengan negara-negara Barat, apalagi kemudian berseberangan secara total. Amerika lalu menggunakan Rusia setelah Iran—dengan dukungan milisi bersenjata dari Libanon—gagal mempertahankan Bashar yang terus berada dalam posisi makin terjepit. Amerika pun menggunakan Rusia untuk membombardir para mujahidin atas nama perang melawan ISIS.

 

  1. Posisi Turki.

Hampir mirip dengan Saudi, pada awalnya Turki dalam posisi mendukung oposisi dan kelompok bersenjata anti Bashar. Namun, berbeda dengan Saudi, Turki lebih mudah berganti posisi saat dibutuhkan Amerika. Sejak awal Turki, sebagai negara sekular, sudah memiliki hubungan yang baik dengan Israel dan Iran. Karena itu kalaupun kembali menjalin hubungan atau memperkuat hubungan dengan Iran dan Israel, tentu tidak begitu sulit. Nyaris tanpa kendala ideologis.

 

Memahami Manuver Turki

Saat ini negara Paman Sam ini sedang mengerahkan berbagai upaya untuk mendukung rezim Suriah dan memaksa kelompok perlawanan untuk duduk bersama. Tujuannya tidak lain membentuk pemerintahan bersama dengan rezim Basyar dengan asas sekular. Strategi penting yang mereka lakukan adalah bekerjasama dengan Amerika atau penghancuran total (politik bumi hangus) siapapun yang menentang Amerika.

Posisi Turki sangat penting bagi Amerika Serikat. Pasalnya, berbagai strategi yang dijalankan Amerika selama ini untuk membendung Mujahidin dalam Revolusi Syam gagal. Keinginan Amerika untuk menundukkan seluruh kelompok perlawanan di bawah kontrolnya juga tidak berjalan. Tindakan Iran dan Rusia, yang berusaha mempertahankan posisi Basyar, juga tidak bisa dipertahankan terus-menerus karena kegigihan para Mujahidin. Amerika berharap Turki bisa menyukseskan solusi Amerika bagi Suriah.

Pemulihan Hubungan Turki-Iran dan Turki-Rusia penting bagi Amerika untuk menghadapi Revolusi Suriah yang makin mengancam kepentingannya. Perlu kesatuan kordinasi yang bersifat lebih terbuka dari kedua negara ini untuk menggagalkan Revolusi Suriah. Karena itu upaya perluasan mitra-mitra Turki menjadi bagian dari strategi Amerika saat ini untuk menyatukan koordinasi memberangus Revolusi Suriah.

Untuk itu penting bagi Turki memperluas mitra-mitranya. Situs Aljazeera.net (5/7) memberitakan Perdana Menteri Turki Ben Ali Yildirim mengatakan solusi krisis Suriah mungkin, tetapi semua pihak harus memberikan pengorbanan yang dibutuhkan dalam masalah ini. Yildirim menambahkan, “Mitra-mitra strategis dan mitra-mitra kami di koalisi internasional harus bekerja menyembuhkan luka Suriah.”

Lebih lanjut, PM Turki ini menyatakan Turki akan bekerja memperkuat dan mengokohkan wilayah aman yang mengelilingi Suriah dan memperluas jaringan teman. Ia mengisyaratkan dalam konteks ini, perlu dikembangkan hubungan Turki dengan semua pihak termasuk Rusia, Irak, Suriah, Mesir, Israel, Amerika Serikat dan negara-negara persatuan Arab (Al-jazeera.net, 5/7/2016).

Seperti biasa, isu bersama yang diangkat adalah perang melawan ISIS atau perang melawan teroris. Padahal yang dimaksud dengan teroris di sini bukanlah hanya ISIS, tetapi siapapun kelompok yang menentang kebijakan Amerika. Dalam pertemuan Menteri Luar Negeri Rusia dan Menlu Turki (1/7) di Sochi dibicarakan topik paling penting dalam rekonsialisasi kedua negara. Kedua negara sepakat dalam perang melawan terorisme. Seperti yang dilansir Rusia Today (1/7), dalam pertemuan itu Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lafrov menafikan adanya perbedaan-perbedaan antara Moskow dan Ankara seputar pengklasifikasian teroris di Suriah. Ia menekankan kelanjutan kerjasama bilateral dalam bidang kontra terorisme.

Amerika ingin Turki lebih berperan dalam memberikan tekanan yang kuat terhadap opisisi Suriah untuk mengembalikan oposisi dalam roadmap Jenewa dan solusi damai, termasuk terikat dalam deklarasi Rusia-Amerika (27/2) untuk menghentikan aksi-aksi permusuhan di Suriah. Oposisi juga diancam jika menolak bergabung dalam negoisasi yang menonjolkan kerjasama Turki-Rusia. Amerika berharap, kelompok-kelompok oposisi yang selama ini percaya dan bergantung pada Turki mau duduk di meja perundingan bersama rezim Bashar Assad, namun tetap dalam kendali Amerika Serikat.

Sebagai ancaman bagi pihak oposisi yang menolak, Turki sangat mungkin akan melakukan tekanan politik hingga militer dengan alasan memerangi teroris ISIS, namun dengan target kelompok-kelompok oposisi yang tidak tunduk pada roadmap ala Amerika. Alasan yang sama digunakan Rusia ketika membombardir oposisi. Pernyataan Menteri Luar Negeri Rusia tentang perlunya komunikasi antara militer Rusia dan militer Turki menunjukkan atas kemungkinan ini. Sebagaimana yang dilansir Al-Arabiyah.net (2/7), Menteri Luar Negeri Rusia mengatakan, “Kami berharap dilakukan komunikasi antara militer Rusia dan Turki tentang Suriah.”

Inilah cara-cara yang dilakukan Amerika Serikat di bawah Obama. Ini mirip seperti yang dilakukan pendahulunya dari Partai Demokrat, Bill Clinton, untuk menyelesaikan krisis Palestina. Saat itu, diakhir pemerintahannya Clinton bekerja keras menyatukan PLO dan Yahudi dalam solusi damai untuk krisis Palestina. Meskipun Clinton gagal, ia berhasil menyatukan Abu Ammar dan Ehud Barak dalam meja perundingan. Hal yang sama sedang diupayakan Obama di akhir pemerintahannya, yaitu menyatukan kelompok opisisi dan rezim Bashar. Bedanya, Clinton bergerak secara terbuka di depan antek-anteknya, sementara Obama menggunakan antek-anteknya dan bersembunyi di belakang mereka.

Amerika pada masa Obama lebih bersandar pada para pengikut. Setelah upaya memanfaatkan Iran dan kelompoknya gagal, termasuk Rusia juga gagal, saat ini Obama mendorong Erdogan melakukan rekonsiliasi dengan Rusia. Hal itu untuk mendorong Turki dan memfasilitasi pengebomannya di Suriah dan untuk meningkatkan tekanan terhadap mereka guna mendorong mereka melakukan negosiasi dengan rezim.

Begitulah, apa yang dilakukan Turki tidak lain sebagai implementasi politik Amerika di Suriah. Setelah intervensi Iran dan Rusia sampai pada jalan buntu di Suriah, Amerika bersegera menerjunkan Turki di samping Iran dan Rusia untuk menjaga pengaruh Amerika di Suriah. Tujuannya tidak lain untuk menghancurkan kondisi islami Revolusi Suriah. Saat Rusia yang membombardir Suriah siang dan malam, Rusia dan Turki menjadi dua pihak yang saling tolong-menolong untuk “perang melawan terorisme di Suriah”. Pembicaraan berlangsung di antara mereka dalam “suasana sangat ramah”. Bahkan Menteri Luar Negeri Rusia meminta adanya komunikasi antara militer Rusia dan militer Turki tentang Suriah!

Terakhir apa yang dinyatakan Amir Hizbut Tahrir dalam Soal-Jawab-nya tentang hubungan Turki dengan negara tetangganya (9 Syawal 1437 H/14 Juli 2016 M) penting untuk diperhatikan:

Tersingkapnya rezim Turki dengan potret ini, dan bahwa rezim Turki bekerjasama dengan Rusia yang tidak berhenti membombardir Aleppo dan sekitarnya serta di beragam tempat di Suriah, ini wajib membuka mata mereka yang tersesatkan dan terpedaya oleh Erdogan dan rezimnya. Dengan itu mereka melawannya dan menjauh dari konspirasi kafir Amerika dan para pendukungnya dari penguasa Turki. Makin tersingkap kepalsuan pernyataan-pernyataan mereka yang menipu dengan mendukung revolusi dan menolong Hama dan Aleppo dan serangan Rusia dan lainnya…Kemudian menjadi debu-debu yang diterbangkan angin dan berbalik terhadap pemiliknya

 

AlLâhu Akbar! [Abu Fatih, dari berbagai sumber] [rz]

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*