HTI

Muhasabah (Al Waie)

Perubahan Sistem

Tahun-tahun ini umat Islam penuh dengan air mata,” ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla. Hal itu disampaikan Wapres dalam acara ‘Tasyakur Milad Majelis Ulama Indonesia ke-41’ di Jakarta pada malam Jum’at (4/8/2016).

“Banyak umat Islam di Timur Tengah yang harus ‘hijrah’ ke negara Barat. Sementara, kaum Muslim di Barat pun masih tetap dicurigai,” tambahnya.

“Ini merupakan musibah. Penyebabnya bisa dari diri kita, akibat dosa kita, atau bisa dari luar. Keunggulan umat Islam di Indonesia hanya dua, yaitu jumlah banyak dan toleran. Dalam bidang lainnya tertinggal,” pungkasnya.

Saya pikir, apa yang dikatakan oleh Wakil Presiden memang benar. Bukan sekadar umat Islam, negeri Muslim pun sekarang menjadi rebutan pihak asing. Bukan hanya di luar negeri, melainkan juga di dalam negeri. Taufiequrrachman Ruqi dalam diskusi tentang ‘Peduli Negara’ awal Agustus lalu mengatakan, “Kita sudah kehilangan tiga hal.”

Mantan nakhoda Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini segera menambahkan, “Pertama, kita kehilangan martabat sebagai bangsa. Kita sekarang sudah menjadi bangsa kuli. Kedua, kita telah kehilangan kemandirian. Dulu BH berasal dari Citayam. Sekarang pakaian khas wanita itu diimpor dari Cina. Ketiga, kita sudah kehilangan kedaulatan. Sekadar contoh, baru-baru ini ada patroli Cina di Laut Cina Selatan, terus menyusuri Laut Jawa dan Bali, langsung ke utara. Alasannya itu adalah jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), yang boleh dilalui oleh kapal internasional. Namun, itu sebenarnya patrol.”

Saya menyampaikan bahwa persoalan sekarang ini bukan semata permasalahan orang, namun lebih merupakan permasalahan sistem yang buruk dan menghancurkan.

Terkait masalah ini, pengamat politik dan ekonomi Ichsanuddin Noorsy menyatakan bahwa memang benar persoalannya adalah sistem. “Secara umum, sistem politik yang kini diterapkan adalah demokrasi korporasi. Disingkirkannya Rizal Ramli merupakan contoh paling dekat tentang hal ini. Lahirnya kepemimpinan Bush dan Obama di luar negeri, serta Jokowi dan Ahok di Indonesia, merupakan realitas demokrasi korporasi yang melahirkan rezim otoriter,” tegas mantan anggota DPR ini.

Pak Ichsanuddin melanjutkan, “Sementara, dalam konteks sistem hukum, hukum yang diterapkan berpihak kepada penguasa, dan tidak berpihak pada keadilan. Contohnya, kasus Sumber Waras dan kasus reklamasi. Baru sekarang BPK dipermalukan dengan dilawan oleh KPK.”

Beliau menambahkan, “Sistem ekonomi yang diterapkan di Indonesa sekarang adalah neoliberal, bahkan lebih liberal daripada saat era SBY. Kembalinya Sri Mulyani menjadi Menteri Keuangan merupakan salah satu buktinya”.

Pak Hari Susanto mengatakan bahwa terdapat bahaya dari pihak asing dan komunis. Mereka akan membidik Islam dan aktifisnya. “Posisi komunis sekarang sedang menggeliat dan yang dipandang sebagai musuh mereka yang paling nyata adalah TNI dan Islam serta aktifisnya,” ujarnya.

“Jadi, posisi aktifis Islam itu dimusuhi oleh komunis, juga oleh kapitalis. Itu sama dengan posisi TNI,” tambahnya.

Memang, ancaman nyata itu berupa neoliberalisme dan neoimperialisme, sementara ancaman laten itu adalah komunisme. Semuanya sistemik.

Berkaitan masalah ini, saya menyampaikan kepada beberapa tokoh bahwa sistem ini harus diubah. Namun, di antara mereka ada yang mengatakan “Wah mereka ‘kan punya finansial yang banyak, unlimited. Tak mungkin diubah.”

Bahkan sekadar untuk menjadi gubernur saja butuh dana besar. “Semua proses perlu dana besar. Apalagi melawan Ahok yang punya dukungan dana besar dari para pendukungnya,” ujar Yusuf Mansur.

Saya menyampaikan bahwa bila mereka memiliki modal finansial, sebenarnya kita memiliki modal sosial. Salah satu modal sosial tersebut adalah akidah dan sistem hidup Islam yang dimiliki kaum Muslim. Modal sosial ini akan dapat mengalahkan modal finansial. “Betapa banyak kelompok kecil dapat mengalahkan kelompok besar dengan ijin Allah SWT,” ujar saya.

Selain itu, sinergi di kalangan umat Islam perlu menjadi modal. Benar apa yang dikatakan Jimly Asshiddiqie bahwa kondisi umat saat ini mengharuskan adanya sinergi. Ketua Umum ICMI ini mengatakan, “Sinergi itu perlu. Sinergi lebih dari bersatu. Sinergi bukan sekadar mengandung unsur bersatu dan tidak berpecah belah, melainkan juga saling tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa.”

Beliau menambahkan, “Sinergi akan melahirkan kebangkitan dan kemandirian. Untuk itu, bangsa ini harus memiliki iman yang kuat. Dengan iman inilah, kita akan memiliki self confidence yang melahirkan kemandirian.”

Sayangnya, memang saat ini tak sedikit anak bangsa yang rendah kepercayaan dirinya (kalau tidak boleh disebut tidak memiliki). Semua bergantung pada asing. Apa yang berasal dari luar, terutama dari AS, dianggap hebat. Mengutip pernyataan Ichsanuddin Noorsy, “Mereka sangat bangga pada AS. Padahal, tak satu pun indikator bahwa AS sukses. Kesuksesan AS hanya dalam satu hal, yaitu pengagungan hak individu.”

Bila telah disadari bahwa kerusakan terdapat pada sistem politik, hukum dan ekonomi yang diterapkan maka sejatinya perlu ada perubahan sistem tersebut. Pertanyaannya, sistem apa yang dapat memberikan solusi terhadap persoalan tersebut? Komunisme telah terbukti gagal. Demokrasi dan Kapitalisme juga terbukti tak mampu menyelesaikan persoalan. Tersisa satu pilihan, “Kembali ke Islam”. Bila perubahan itu bukan menuju penerapan sistem Islam, jangan heran apabila masalah tetap bercokol dan solusi pun tak kunjung tiba. Untuk itulah pembinaan umat harus terus digalakan. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah salah satu komponen umat yang terus melakukan hal tersebut. “Saya senang dan bangga terhadap HTI yang memberikan kotribusi dakwah mengajak seluruh komponen umat kepada kebaikan dengan Islam,” ungkap Bachtiar Chamsah. WalLâhu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia; DPP Hizbut Tahrir Indonesia]

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*