Ash-Shihhah (absah), al-buthlân (batil) dan al-fasâd (fasad) merupakan istilah dalam ushul fikih. Ketiganya termasuk hukum al-wadh’i, yakni merupakan hukum atas hukum.
Ash-Shihhah
Ash-Shihhah merupakan bentuk mashdar dari shahha–yashihhu–shahh[an] wa shihhat[an]. Secara bahasa artinya benar, tepat atau sehat. Imam al-Amidi di dalam Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm menyebutkan, ash-shihhah secara bahasa adalah lawan dari as-saqam yaitu al-mardh (sakit). Jadi ash-shihhah bisa diartikan secara bahasa adalah sehat.
Secara istilah ushul fikih, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz III menyatakan ash-shihhah adalah muwâfaqah amri asy-syâri’ (sesuai ketentuan Asy-Syâri’). Secara faktual, suatu perbuatan dikatakan absah jika memenuhi semua rukun dan syarat-syaratnya. Wahbah az-Zuhaili dalam Ushûl al-Fiqhî al-Islâmi menyatakan, ash-shahîh adalah perbuatan mukallaf yang memenuhi syarat-syarat dan rukunnya berdasarkan tatacara yang dituntut dan memberikan implikasi secara syar’i.
Istilah ash-shihhah (absah), ketika disebutkan, bermakna adanya dampak perbuatan itu baik di dunia maupun di akhirat (Asy-Syatibi, Al-Muwâfaqât, I/291-292). Dampak perbuatan itu di dunia adalah bahwa perbuatan yang sah itu mujzi’ah (mendapat imbalan), mubri‘ah li adz-dzimmah (membebaskan tanggungan) dan musqith li al-qadhâ’ (menggugurkan keharusan meng-qadhâ’ perbuatan). Jika dikatakan shalat sah artinya shalat itu muzji’ah, terbebas dari tanggungan untuk melaksanakan shalat dan tidak ada keharusan meng-qadhâ’-nya. Zakat sah bermakna terbebas dari tanggungan untuk membayar zakat dan tidak ada keharusan membayarnya lagi.
Makna dampak perbuatan di dunia ini lebih kelihatan pada muamalah. Jual-beli, jika memenuhi rukun dan syaratnya, secara syar’i menghasilkan kepemilikan serta kebolehan memanfaatkan dan hak melakukan tasharruf pada barang yang dimiliki. Ijârah disyariatkan untuk hak mendapatkan manfaat untuk penyewa atau majikan dan hak mendapat sewa untuk yang menyewakan atau upah untuk pekerja. Begitu juga hak istimtâ’ dalam akad nikah.
Adapun terkait dampak perbuatan di akhirat, shalat sah, misalnya, bermakna bahwa shalat itu diharapkan menghasilkan pahala di akhirat. Begitu pula dalam hal zakat, puasa, haji dan seluruh perbuatan ibadah lainnya. Dampak di akhirat itu juga ada dalam muamalah atau akad. Dikatakan jual-beli sah. Ini bermakna bahwa niat terikat dengan ketentuan Asy-Syâri’ dan maksud yang dituju sesuai tuntutan perintah dan larangan sehingga akan membuahkan pahala. Jadi terhadap perbuatan ini dengan niat dan maksud ini bisa diharapkan mendapat pahala di akhirat berdasarkan keterikatan pada hukum Allah SWT itu. Begitu pula dalam hal ijarah, nikah, wadhî’ah, rahn, utang-piutang, dan semua muamalah yakni akad dan tasharruf lainnya.
Hanya saja dampak perbuatan di akhirat itu pembahasannya lebih diperhatikan dalam hal ibadah. Pembahasan itu kurang diperhatikan dalam muamalah, hukum-hukum akhlak dan begitu pula dalam hal ‘uqûbât. Ini yang terjadi pada galibnya. Oleh karena itu, pembahasan ash-shihhah (absah) lebih berputar pada dampak perbuatan di dunia, dari sisi perbuatan yang sah itu mujzi’ah dan membebaskan dari tanggungan. Hanya saja pada selain ibadah, yang dimaksud dengan ash-shihhah bahwa itu adalah halal, dan yang dimaksud dengan batil bahwa itu haram. Ash-Shihhah dalam muamalah berarti halalnya memanfaatkan dan al-buthlân (batil) berarti haram, artinya haramnya pemanfaatan. Atas keharaman itu berakibat pada sanksi di dunia dan di akhirat. Karena itu siapa saja yang memiliki harta dengan akad yang batil, harta itu adalah haram, dan pelakunya layak mendapat sanksi di akhirat.
Al-Buthlân
Al-Buthlân secara bahasa dari bathala–yabthulu–bathl[an] wa buthlân[an]; artinya batal atau sia-sia. Adapun secara istilah, al-buthlân (al-bâthil) adalah lawan dari ash-shihhah (ash-shahîh), yakni lawan dari absah. Karena itu bâthil bermakna: ‘adamu muwâfaqah amri asy-syâri’ (tidak sesuai ketentuan Asy-Syâri’). Maksudnya, tidak terwujudnya hasil dari perbuatan itu di dunia, yakni tidak mendatangkan balasan (ghayru mujzi`in), tidak membebaskan dari tanggungan (ghayr mubri`i li adz-dzimmah) dan tidak menggugurkan qadhâ’ (ghayr musqithin li al-qadhâ’) serta mendatangkan sanksi di akhirat.
Shalat yang batil (batal) adalah yakni tidak memenuhi rukun atau syarat-syaratnya sehingga tidak membebaskan dari tanggungan dan tidak menggugurkan qadhâ’. Artinya, orang itu belum bebas dari tuntutan untuk melaksanakan shalat dan dia harus meng-qadhâ’-nya jika telah lewat. Jika ia tidak menunaikan atau tidak meng-qadhâ’-nya maka ia berdosa. Begitu pula puasa, zakat dan sebagainya.
Al-Bâthil terjadi karena dilarang secara asalnya atau terjadi kekosongan pada asal, asas atau substansinya. Dalam hal akad, al-bâthil itu jika larangan terjadi pada akadnya sendiri atau jika terjadi kekosongan (cacat) pada rukun atau syarat sahnya. Contoh: pernikahan dengan wanita yang haram dinikahi adalah batil sebab pernikahan itu dilarang; jual-beli ikan yang masih di dalam kolam adalah batil karena dilarang sejak asalnya dan itu merupakan jual-beli yang majhûl (jual-beli gharar, tidak jelas) pada asal/pokoknya, yaitu pada barang yang dijual.
Dalam suatu pernikahan yang batil tidak ada hak istimtâ’, tidak ada yang namanya suami atau istri sehingga hubungan keduanya adalah haram dan layak mendapat sanksi di akhirat. Dalam jual-beli batil tidak terjadi pertukaran pemilikan, tidak ada kebolehan memanfaatkan dan tidak ada hak men-tasharruf. Dengan kata lain, jual-beli yang batil mengakibatkan keharaman pemanfaatan (tasharruf) atas barang. Karena itu pemanfaatan dan tasharruf terhadap barang itu mendatangkan sanksi di akhirat.
Al-Fasâd
Al-Fasâd berbeda dengan al-bâthil. Batil itu tidak sesuai ketentuan Asy-Syâri’ dari sisi asal (pokok)-nya, yakni asalnya dilarang seperti jual-beli gharar; atau syarat yang tidak terpenuhi menyebabkan cacat pada asalnya. Adapun fasâd pada asal (pokok)-nya sesuai ketentuan Asy-Syâri’, tetapi sifatnya yang tidak menyebabkan cacat pada asal (pokok) menyalahi ketentuan Asy-Syâri’. Hal pokok dalam akad adalah rukun beserta syarat-syarat dari rukun itu, dan syarat-syarat sah akad. Jadi jika hal itu tidak terpenuhi maka batil. Jika yang tidak sesuai diluar rukun beserta syarat-syarat rukun itu dan bukan syarat sahnya maka menjadi fâsid.
Fasâd tidak tergambar ada pada ibadah. Sebab jika ditelaah rukun dan syarat-syarat dalam ibadah, bisa didapati bahwa semuanya berkaitan dengan asal atau pokok. Fasâd itu mungkin ada dalam muamalah. Fasâd bisa terjadi pada akad-akad yang memunculkan komitmen timbal-balik atau pertukaran kepemilikan seperti jual-beli, ijârah, hawâlah, syirkah, dan sebagainya.
Sebagian ulama memasukkan fasad bisa terjadi pada akad pernikahan. Hal itu bukan dari sisi terakadkan atau tidaknya pernikahan, tetapi dari sisi diperoleh atau ditetapkan ada atau tidaknya implikasi dari akad pernikahan. Hanya bedanya, jika akad nikah itu batil maka tidak terjadi sama sekali dan jika ingin melanjutkan harus mengulang akad nikah, misalnya karena tidak ada dua orang saksi. Adapun jika fasad, maka belum terakadkan dalam arti tidak boleh dilanjutkan dan semua implikasinya belum didapat. Namun, jika sebab fasad itu dihilangkan maka akadnya sah, sempurna dan semua implikasinya ada, tidak perlu mengulangi akad. Misalnya, jika pernikahan tanpa ijin atau persetujuan lebih dulu dari mempelai wanita. Jika ia rela atau setuju maka akad nikah itu sah dan sempurna.
Contoh akad fasad, jual-beli orang kota dengan orang kampung adalah fâsid karena orang kampung tidak tahu harga dan situasi pasar. Namun, jika ia sampai di pasar dan tahu harga atau situasi pasar, jika ia menerima atau rela melanjutkan jual-beli itu, maka jual-belinya menjadi sah dan tidak perlu diulang akadnya; atau ia berhak membatalkan jual-beli itu.
Contoh lain, akad syirkah tetapi tidak ada yang menjadi pengelola yang dinyatakan dalam akad syirkah. Contoh: syirkah musâhamah (PT) dan koperasi. Keduanya merupakan syirkah yang batil, sebab cacat pada asal akad. Berbeda jika syirkah dengan harta (modal)-nya yang jelas jumlahnya tetapi belum jelas yang mana hartanya, maka syirkah itu fâsid. Jika harta itu dijelaskan yang mana maka syirkah itu sah dan sempurna. Begitu pula jika syirkah dengan pembagian laba berdasar jumlah atau angka bukan menurut nisbah dari keuntungan, maka syirkah itu fâsid. Jika disepakati pembagian laba menurut nisbah (prosentase) dari laba maka syirkah itu menjadi sah dan sempurna.
Contoh lain: jika mahar dalam akad nikah belum jelas atau ujrah dalam akad ijârah belum jelas, maka akad tersebut fâsid. Jika maharnya atau ujrah-nya disepakati secara jelas maka akadnya menjadi sah dan sempurna. Adapun jika tidak tercapai kesepakatan maka diberlakukan ketentuan mahar al-mitsli atau ajru al-mitsli.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb wa ahkam. [Yoyok Rudianto]