HTI

Iqtishadiyah

Sri Mulyani Kembali, Liberalisme Makin Menjadi

Mantan Menteri Keuangan di Era Rezim Susilo Bambang Yudhoyono, Sri Mulyani, kembali masuk kabinet. Dalam reshuffle kabinet yang dilakukan oleh Presiden Jokowi tanggal 27 Juli Tahun 2016, dia kembali menduduki pos yang dulu pernah dia duduki sebagai menteri keuangan. Kehadiran kembali Sri Mulyani ditanggapi beragam oleh beberapa kalangan. Sebagian kalangan menanggapi positif. Bahkan kehadiran Sri mulyani menjadi tumpuan harapan baru untuk memberbaiki kondisi ekonomi Indonesi yang sedang terpuruk. Sebagian lagi menganggap ini adalah bentuk politik transaksional untuk mempertahankan dominasi Amerika atau Barat. Pasalnya, kebijakan ekonomi saat ini sangat pro kapitalis Cina. Yang lainnya menganggap kehadiran Sri Mulyani akan makin meliberalkan ekonomi indonesia yang saat ini sudah liberal. Benarkah?!

 

Dosa-dosa Sri Mulyani

Dalam pandangan orang-orang kapitalis atau media yang menjadi corong kepentingan para kapitalis, Sri Mulyani dinilai memiliki prestasi yang luar biasa, di antaranya sukses melakukan reformasi besar-besaran pada lembaga perpajakan sekaligus bea dan cukai selama dirinya memimpin Kementerian Keuangan. Ia juga berhasil menggandakan investasi langsung ke Indonesia pada tahun pertamanya menjadi menteri, dari US$4,6 miliar pada 2004 menjadi US$8,9 miliar. Karena itu dia banyak menerima penghargaan. Majalah Forbes menyematkan gelar perempuan paling berpengaruh ke 23 di dunia. Pada tahun 2006 Majalah Euromoney menganugerahkan gelar Menteri Keuangan Keuangan terbaik atau sebagai Finance Minister Of the Year tahun 2006.

Padahal prestasi-prestasi yang dia hasilkan justru memberikan beban pada ekonomi Indonesia sehingga menyebabkan kerugian yang besar bagi negara. Kasus perampokan uang negara, yaitu Mega Skandal Century sebesar Rp 6,7 triliun itu terjadi dengan mulus pada saat Sri Mulyani menjadi menteri keuangan sekaligus ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Sebagai ketua KKSK, Sri Mulyani dianggap orang kedua yang paling bertanggung jawab setelah Wapres Boediono.

Dosa Sri Mulyani lainnya adalah menambah utang negara dengan beban bunga yang sangat besar melalui penjualan obligasi negara atau Surat Utang negara. Pada saat mengundurkan dari jabatan menteri keuangan tahun 2010, Sri Mulyani mewariskan utang yang cukup besar yang harus dibayar oleh rakyat. Selama lima tahun mengurus keuangan negara, total utang Indonesia bertambah Rp 275 triliun menjadi Rp 1.588 triliun. Tumpukan utang terbanyak berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara dengan bunga cukup tinggi, mencapai 15,5 persen. Jatuh tempo SBN paling besar terjadi pada 2012. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pada 2005 jumlah total utang Indonesia sebesar Rp 1.313 triliun dan posisi sementara Mei 2010 mencapai Rp 1.588 triliun. Dalam lima tahun terakhir, Pemerintah terlihat mengerem utangnya ke pihak asing. Ada penurunan Rp 47 triliun. Namun, pengereman ini dibalas dengan lonjakan utang domestik dalam bentuk Obligasi atau Suart Utang Negara (SUN) yang nilainya bertambah Rp 322 triliun. Akibatnya, di APBN-P 2010 saja, pembayaran cicilan pokok utang asing mencapai Rp 54,1 triliun dan bunga utangnya mencapai Rp 105,6 triliun. Jumlah ini setara dengan seperlima pos pendapatan dan hibah APBN 2010 yang sebesar Rp 992 triliun (Republika.co.id).

Kebijakan Sri Mulyani lainnya yang menyenangkan para kapitalis dunia adalah meluncurkan yield obligasi (bunga) yang sangat tinggi. Misalnya pada 2008, Indonesia menerbitkan global bond dengan yield yang diberikan sebesar 6,95%, lebih tinggi dari Malaysia 3,86%, Thailand 4,8% dan bahkan dari Filipina (yang mendapat julukan The Sick Man in Asia) sebesar 6,5%. Padahal saat obligasi itu diterbitkan, sejumlah lembaga rating seperti S&P, Fitch, dan Moody’s mengganjar peringkat Indonesia di atas Filipina. Dalam logika pasar uang, negara yang peringkatnya lebih tinggi bisa mengail dana dengan biaya lebih murah, karena itulah semestinya yield Indonesia maksimal 5,5%, sedikit di atas Thailand tetapi di bawah Filipina. Kebijakan ini diulang lagi pada 2009. Saat itu Sri Mulyani kembali menerbitkan global bond dengan yield 11,75%, jauh di atas Filipina 8,75% dan hanya sedikit kalah dari negara yang kesehariannya diguncang teror bom seperti Pakistan sebesar 12,5%.

“Prestasi-prestasi” dalam menetapkan yield inilah yang mungkin menyebabkan Sri Mulyani mendapat berbagai penghargaan sebagai menteri keuangan terbaik oleh majalah-majalah ekonomi terkemuka seperti Euromoney dan Emerging Markets saat sidang tahunan IMF dan Bank Dunia (Kompas.com).

Sri Mulyani juga diindikasikan terlibat korupsi dalam kasus penjualan kondesat dari BP Migas ke PT TPPI, seperti yang disampaikan penyidik dari Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri. Polri memiliki pertanyaan besar terhadap mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Direktur Tipideksus Bareskrim Polri Brigjen Victor Edison Simanjuntak mengatakan, penyidik mendapatkan informasi, Sri Mulyani menyetujui cara pembayaran kondensat oleh PT TPPI kepada SKK Migas. PT TPPI diketahui merupakan perusahaan yang ditunjuk SKK Migas untuk menjual kondensat bagian negara. “Yang menjadi pertanyaan, penandatanganan itu sudah dilakukan sebelum pihak SKK Migas menandatangani kontrak kerjanya dengan PT TPPI. Seharusnya, itu baru bisa ditandatangani jika sudah ada kontrak kerja,” ujar Victor di Kompleks Mabes Polri, Senin (1/6/2015).

Victor mengatakan, seharusnya persetujuan cara pembayaran tersebut didasarkan pada kontrak kerja antara SKK Migas dan PT TPPI. Namun, penyidik telah mendapatkan informasi bahwa Sri menandatangani surat tersebut hanya berdasarkan surat-surat rencana penjualan kondensat dari SKK Migas saja (Kompas.com).

Dalam kasus penggelapan pajak, Sri Mulyani juga meninggalkan jejak korupsi dalam kasus ini. Di antaranya kasus penggelapan pajak sebesar Rp 400 miliar oleh Grup Ramayana milik Paulus Tumewu. Pada tahun 2005 dirinya selaku menteri keuangan memberikan rekomendasi pada Kejaksaan Agung untuk menghentikan penyidikan kasus ini demi “kepentingan umum”.

Berdasarkan ‘prestasi-prestasi’ yang menguntungkan para kapitalis itulah, ketika Sri Mulyani terlibat skandal mega korupsi kasus Century, sang agen ini diselamatkan oleh tuannya agar terbebas dari pusaran Mega Skandal Century. Sang tuan, yaitu World Bank dan IMF, mengangkat Sri Mulyani menjadi Managing Director dan Chief Operating Officer Bank Dunia.

 

Makin Liberal

Kembalinya Sri Mulyani sudah dipastikan akan membuat ekonomi negeri ini makin liberal. Kebijakan-kebijakan Sri Mulyani yang disebutkan diatas menunjukkan bahwa Sri Mulyani adalah ekonom yang berhaluan neoliberal. Bahkan dia menjadi bagian dari Mafia Berkeley yang membentuk perekonomian negeri ini bercorak neoliberal. Selama menjabat Direktur Pelaksana Bank Dunia (World Bank) Sri Mulyani juga terus memperhatikan liberalisasi ekonomi yang terjadi di negeri ini dengan memberikan pujian terhadap kebijakan-kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam mengatasi hambatan perdagangan. Kebijakan yang mendapat pujian Sri Mulyani tentu kebijakan yang pro liberal. Di antaranya kebijakan Jokowi yang melakukan percepatan pembangunan infrastruktur dan paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan Jokowi yang bertujuan mengurangi hambatan perdagangan dan investasi. Di antaranya adalah pujian Sri Mulyani atas keberanian Jokowi untuk memangkas anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM).  Dalam hal ini Sri Mulyani menyatakan, banyak negara tetap memberikan subsidi untuk bahan bakar fosil sebagai cara mengurangi biaya bagi konsumen dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, subsidi yang tidak tepat sasaran membawa biaya sangat besar dan menjadi hambatan penghematan energi. Karena itu bukan hal yang aneh, kembalinya Sri Mulyani   menduduki jabatan menteri keuangan mendapat respon posistif dari pasar global. Hal ini tercermin pada kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia dan penguatan mata uang rupiah.

Kebijakan Neoliberal langsung dilakukan oleh Sri Mulyani dengan merombak postur penerimaan dan belanja dalam APBN Perubahan 2016. Sri Mulyani meyakinkan semua pihak bahwa perubahan tersebut penting untuk membuat APBN kembali menjadi instrumen fiskal yang mampu meraih kepercayaan publik (para kapitalis) sekaligus membuat dunia usaha (para kapitalis) menjadi lebih yakin dalam melakukan aktivitas ekonomi. Salah satu kebijakannya adalah memangkas belanja negara sebesar Rp 133,8 triliun, yang mencakup pemotongan belanja kementerian/lembaga Rp 65 triliun dan transfer ke daerah Rp 68,8 triliun.

 

Rakyat Dikorbankan

Mengapa anggaran belanja kementerian dan transfer daerah yang dikorbankan; bukan penerimaan yang ditingkatkan atau menghentikan alokasi dana pembangungan infrastruktur?

Mantan Direktur Bank Dunia ini memaparkan bahwa realisasi pajak pada 2014 yang berada Rp 100 triliun di bawah target. Kemudian di 2015 lalu, saat harga komoditas mulai menurun, penerimaan pajak juga meleset Rp 248,9 triliun dari target. Karena itu sudah dipastikan penerimaan pajak tahun 2016 juga akan terjun bebas, Tekanan defisit APBN 2016 makin besar. Pertengahan tahun ini, defisit anggaran telah mencapai 1,83% dari PDB atau Rp 276,6 triliun. Untuk menutupi defisit itu, Pemerintah harus menggenjot penerimaan negara. Penerimaan dari pajak reguler seret karena sampai saat ini penerimaan negara baru 35,5 persen dari target APBNP 2016. Untuk itu Pemerintah banyak berharap penerimaan dari tax amnesty (pengampunan pajak) yang ditargetkan Rp 165 triliun. Namun, satu bulan berjalan, perkembangannya tidak seperti yang diharapkan. Penerimaan dari tax amnesty per 1 Agustus 2016 baru mencapai Rp 98,43 miliar atau 5,96% dari target uang tebusan Rp 165 triliun. Karena itu banyak pengamat meramalkan, Sri Mulyani akan mengulangi kegagalan program pengampunan pajak yang pernah terjadi pada tahun 2008. Karena itulah pemangkasan belanja APBN sebesar Rp 133 T berarti Sri Mulyani hanya berani menargetkan pendapatan dari Tax Amnesty maksimal 32 T. Masalahnya mengapa bukan anggaran pembangunan infrastruktur yang dipotong? Saya kira Sri Mulyani sadar, Jokowi sudah terlanjur menggelontorkan uang untuk proyek infrastruktur yang sebagian didanai oleh pinjaman. Karena itu akan fatal kalau proyek infrastruktur tersebut sampai mangkrak, akan ada efek domino: investor dan kreditor lainnya akan khawatir dan menahan uangnya untuk tidak melanjutkan pembiayaan proyek lainnya.

Pertanyaannya, apakah pembangunan infrastruktur ini untuk kepentingan rakyat? Jelas bukan, dalam kasus pembangunan kereta api cepat Bandung Jakarta, proyek tersebut jelas tidak urgen karena sudah ada jalan tol, sudah tersedia jalan kereta api. Bahkan Ignatius Johan, Menteri Perhubungan saat itu, menolak proyek tersebut dan memberikan solusi dengan membangun double track dengan biaya yang sangat murah dan bisa memperlancar arus transportasi Jakarta-Bandung. Namun, usulan itu ditolak oleh Jokowi karena sebenarnya yang diincar oleh para kapitalis adalah puluhan ribu hektar tanah PT Perkebunan (PTPN) yang akan dijadikan area bisnis dan komplek perumahan atau kota baru untuk kepentingan para kapitalis. Jelas, keberadaan kereta api cepat adalah fasilitas untuk kepentingan para kapitalis. Begitu juga proyek pembangunan pelabuhan dan bandara serta bendungan seperti Bendungan Jati Gede yang baru diresmikan tahun ini di Jawa Barat. Semuanya tidak memiliki dampak signifikan terhadap rakyat. Bahkan sebaliknya, rakyat hanya jadi korban. Justru infrastruktur yang dibutuhkan rakyat adalah seperti gedung sekolah, jembatan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat seperti jembatan di atas sungai Ciberang, Desa Tanjung, Lebak, Banten. Jembatan yang hampir roboh ini, yang hanya tinggal tali penghubung antara sisi sungai Ciberang ini, dan sempat menjadi prihatin oleh banyak kalangan dengan istilah “Jembatan Indiana Jones”, justru tidak menjadi prioritas bahkan diabaikan—walaupun mungkin sering memakan korban nyawa—karena di sana tidak ada kepentingan para kapitalis.

 

Ganti dengan Sistem Islam

Jelas sekali, reshuffle dan masuknya kembali Sri Mulyani ke dalam Kabinet Jokowi bukan untuk memenuhi kepentingan rakyat, tetapi kepentingan asing baik Barat maupun Timur; juga kepentingan para kapitalis, rezim penguasa, golongan dan partai. Keberadaan Sri Mulyani akan makin mengokohkan neo-liberalisme dan neo-imperialisme. Keduanya adalah ancaman besar bagi negeri ini dan penduduknya yang akan membuat rakyat semakin sengsara dan menderita.

Karena itu sudah saatnya semua itu harus ditinggalkan dan diganti dengan sistem Islam. Caranya adalah dengan penerapan sistem ekonomi Islam yang mengharamkan utang berbasis bunga, mengharamkan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara dan mengharamkan privatisasi sumberdaya alam milik umum dan mewajibkan negara untuk mengelola sumberdaya alam milik umum untuk kepentingan rakyat. Penerapan Sistem Ekonomi Islam secara kâffah hanya akan terwujud jika Islam dan syariahnya kita wujudkan dalam kehidupan sehari-hari dalam bingkai Daulah Khilafah Rasyidah ‘ala minhâj an-nubuwwah. [MAN/LM]

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*