HTI

Telaah Kitab (Al Waie)

Syarat-syarat Qadhi

Dalam telaah kitab sebelumnya dijelaskan bahwa qâdhi dalam sistem peradilan Islam ada tiga macam. Pertama: Qâdhi biasa, yaitu qâdhi yang berwenang menyelesaikan perselisihan antar masyarakat dalam urusan muamalat dan ‘uqûbat (persanksian). Kedua: Al-Muhtasib, yaitu qâdhi yang berwenang menyelesaikan berbagai pelanggaran yang merugikan hak-hak jamaah (masyarakat). Ketiga: Qâdhi Mazhâlim, yaitu qâdhi yang berwenang mengatasi perselisihan yang terjadi antara rakyat dan negara.

Melihat perbedaan obyek kasus yang harus diselesaikan oleh ketiga jenis qâdhi, apakah orang yang akan menjabat sebagai qâdhi di ketiga jenis qâdhi ini mengharuskan persyaratan yang sama atau tidak?

Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam: Pasal 78, yang berbunyi: “Orang yang menjabat qâdhi disyaratkan seorang Muslim, merdeka, balig, berakal, adil dan faqih (ahli fikih) serta memahami cara menetapkan hukum atas berbagai fakta. Adapun Qâdhi Mazhâlim disyaratkan sama seperti qâdhi lainnya, ditambah persyaratan laki-laki dan mujtahid.” (Hizbut Tahrir, Masyrû’ Dustûr Dawlah al-Khilâfah, hlm. 21).

 

Qâdhî Biasa Boleh Wanita

Seperti yang disebutkan dalam Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam, Pasal 78 di atas: “Orang yang menjabat qâdhi disyaratkan seorang Muslim, merdeka, balig, berakal, adil dan faqih serta memahami cara menetapkan hukum atas berbagai fakta.” (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 245; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 113; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 187).

Jadi, qâdhi tidak harus laki-laki. Qâdhi yang dimaksud di sini adalah qâdhi biasa dan al-muhtasib (qâdhi hisbah). Dengan demikian, boleh qâdhi biasa dan al-muhtasib (qâdli hisbah) dijabat oleh wanita. Sebab, jabatan ini tidak terkait dengan kekuasaan (al-hâkim). Ia hanya qâdhi yang tugasnya adalah “menyampaian keputusan hukum syariah”. Ia bukan sebagai eksekutornya atau pihak yang menerapkan keputusan hukum tersebut. Karena itu terkait jabatan tersebut tidak bisa diterapkan hadis:

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُم امْرَأَةً

Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang perempuan (HR al-Bukhari).

 

Mengapa? Sebab hadis ini terkait al-wilâyah, yakni pemberian kekuasaan dan pemerintahan. Hal ini didasarkan pada asbâbul wurûd (sebab hadis itu dikeluarkan), yaitu kejadian saat bangsa Persia mengangkat seorang perempuan (putri Kisra) sebagai pemimpin mereka. Dari Utsman bin al-Haitsam, dari Auf, dari Al-Hasan, dari Abu Bakrah dinyatakan: Allah telah memberi aku manfaat dengan sebuah kalimat yang aku dengar dari Rasulullah saw pada hari Perang Jamal, setelah aku hampir membenarkan Ashab al-Jamal dan yang berperang bersama mereka, ketika sampai kabar kepada beliau bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisra sebagai pemimpin mereka. Beliau lalu bersabda:

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُم امْرَأَةً

Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita (HR al-Bukhari).

 

Dengan demikian, hadis ini dikeluarkan terkait kasus tertentu yang secara tegas dapat dipahami dari teks hadis tersebut, yaitu terkait al-hukm (pemerintahan), atau kekuasaan. Adapun al-qadhâ’ (peradilan) bukanlah as-sulthân (kekuasaan). Karena itu hadis tersebut konteksnya khusus terkait al-hukm (pemerintahan), yakni kekuasaan, dan tidak termasuk ke dalamnya al-qadhâ’ (peradilan). Dalam hal ini ada dua alasan: Pertama, teks hadis tersebut ditujukan untuk konteks tertentu, yaitu teks yang merupakan jawaban atas suatau pertanyaan. Karena itu ia harus dikhususkan pada konteks pertanyaan atau kejadian yang melatarbelakanginya, dan tidak dijadikan umum untuk semua hal. Sebab pertanyaan itu yang melatarbelakangi jawaban. Pernyataan di dalamnya terkait dengan konteks tertentu sehingga harus dibatasi pada konteks tersebut. Jika sabda Rasulullah saw. itu terkait pertanyaan atau insiden, maka hukumnya terkait dengan pertanyaan atau insiden itu. Berbeda halnya jika Rasulullah saw. bersabda sebagai ibtidâ’ (dari awal), yakni tidak dilatarbelakangi oleh pertanyaan atau insiden, maka ketika itu hukumnya umum dan terkait sesuatu yang umum. Adapun jika sabda Rasulullah saw terkait insiden tertentu atau jawaban atas pertanyaan tertentu, maka hukumnya berbeda. Sebab jika dalil yang berupa firman Allah SWT atau sabda Rasulullah saw. itu secara pasti terkait dengan pertanyaan atau insiden, maka tidak diragukan lagi bahwa hukumnya terkait dengan pertanyaan atau insiden itu. Hal ini terkait dengan konteks yang terdapat dalam insiden atau pertanyaan, bukan terkait dengan penanya atau orang yang mengalami insiden itu. Sebab, kalau terkait dengan penanya atau orang yang mengalami insiden, maka berlaku kaidah:

العِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ

Yang menjadi perhatian di dalam menetapkan hukum adalah rumusan (tekstual) suatu dalil, bukan sebab yang melatarbelakangi turunnya ketentuan (dalil) tersebut.

 

Oleh karena itu dibedakan antara sebab dan konteks. Dengan demikian, yang menjadi perhatian di dalam menetapkan hukum adalah rumusan (tekstual) suatu dalil, bukan sebab yang melatarbelakangi turunnya ketentuan (dalil) tersebut. Sebab lafal (rumusan atau tekstual) tidak terkait dengan sebab sehingga tetap berlaku atas keumumannya. Berbeda dengan insiden atau pertanyaan, yakni berbeda dengan konteks yang terkandung dalam insiden, atau konteks yang terkandung dalam pertanyaan, maka lafal (rumusan atau tekstual) terkait secara pasti dengannya. Dalam hal ini tidak terdapat syubhat (kesamaran) sedikit pun. Pasalnya, hadis itu terkait dengannya dan karenanya, sehingga hukumnya khusus terkait konteks, dan sama sekali tidak berlaku umum. Dengan demikian hadis, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita (HR al-Bukhari),” bersifat khusus terkait al-hukm (pemerintahan), yakni kekuasaan, dan tidak termasuk ke dalamnya al-qadhâ’, yakni peradilan (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 246).

Kedua: Pernyataan “wallaw amrahum (menyerahkan urusan/pemerintahan mereka)” merupakan al-wilâyah, yaitu penyerahan kekuasaan untuk memerintah, sementara qâdhi bukanlah seorang wali (orang yang diserahi kekuasaan). Karena itu qâdhi tidak termasuk ke dalam hukum hadis tersebut. Dengan demikian hadis tersebut tidak meliputi al-qadhâ’ (peradilan). Ini terkait makna hadis.

Adapun terkait kebolehan perempuan menjadi seorang qâdhi karena keberadaan qâdhi itu sebagai ajîr (pekerja) sehingga statusnya dalam pemerintahan sama seperti para pegawai lainnya. Ajîr (pekerja) itu boleh seorang laki-laki atau wanita. Allah SWT berfirman:

فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ

Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) untuk kalian, berikanlah kepada mereka upahnya (QS ath-Thalâq [65] : 6).

 

Qâdhi diangkat untuk melakukan aktivitas sesuai syariah, yakni untuk “menyampaian keputusan hukum syariah dengan cara yang mengikat kepada dua orang yang bersengketa”, bukan untuk menerapkan syariah. Dengan demikian terhadap qâdhi ini diterapkan definisi al-ijârah (kontrak kerja), yaitu:

عَقْدٌ عَلَى المَنْفَعَةِ بِعِوَضٍ

Akad (transaksi) atas manfaat (jasa) dengan adanya suatu konpensasi (An-Nabhani, an-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm, hlm. 85).

 

Berbeda dengan al-hâkim (penguasa), definisi al-ijârah (kontrak kerja) tidak bisa diterapkan kepada penguasa. Pasalnya, tidak ada akad (transaksi) atas manfaat (jasa) apapun dengannya. Ia diberi kekuasaan untuk menerapkan syariah. Oleh karena itu, tidak boleh al-hâkim (penguasa) seorang perempuan karena ia seorang yang diserahi kekuasaan. Sebaliknya, qâdhi boleh seorang perempuan karena ia adalah ajîr (pekerja), bukan al-hâkim (penguasa).

Adapun syarat-syarat qâdhi yang lainnya, yaitu Muslim, merdeka, balig, berakal dan adil, maka dalilnya adalah dalil-dalil syarat Khalifah. Begitu juga tentang dalil bahwa qâdhi harus faqîh (ahli fikih) dan memahami cara menetapkan hukum terhadap berbagai fakta, maka dalilnya adalah hadis yang menjadi syarat ketiga jenis qâdhi, yaitu faqîh (ahli fikih) sebagai syarat kompetensi tugasnya. Sebab, Rasulullah saw. telah mencela orang bodoh yang memutuskan perkara dan menjadikannya masuk neraka. Beliau bersabda:

وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ

Seorang yang mengadili perkara masyarakat dalam keadaan bodoh, ia masuk neraka.

 

Hadis ini dikeluarkan oleh ashhâb as-sunan dan Hakim dari Buraidah. Hadits ini telah disahihkan oleh Hakim (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 247).

 

Qâdhî Mazhâlim Harus Pria dan Mujtahid

Wanita boleh menjadi qâdhi jika itu untuk jabatan qâdhi biasa, yaitu qâdhi yang berwenang menyelesaikan perselisihan antar masyarakat dalam urusan muamalat dan ’uqûbat, dan al-muhtasib (qâdhi hisbah), yaitu qâdhi yang berwenang menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran yang merugikan hak-hak jamaah (masyarakat).

Adapun untuk jabatan qâdhi mazhâlim, yaitu qâdhi yang berwenang mengatasi perselisihan yang terjadi antara rakyat dan negara, maka disyaratkan harus laki-laki dan mujtahid, sebagaimana qâdhi qudhât (kepala qâdhî), karena tugasnya adalah memutuskan perkara dan pemerintahan. Qâdhi mazhâlim bertugas memutuskan hukum terhadap para penguasa (al-hâkim) dan menerapkan hukum syariah terhadap para penguasa itu. Karena itu disyaratkan qâdhi mazhâlim harus seorang laki-laki selain syarat-syarat lainnya yang berlaku bagi qâdhi, di antaranya adalah harus faqîh (ahli fikih).

Lebih dari itu, qâdhi mazhâlim disyaratkan harus lebih dari faqîh (ahli fikih); ia harus mujtahid. Sebab, di antara kezaliman yang harus ia putuskan perkaranya adalah adanya seorang penguasa yang berhukum (memerintah) dengan selain hukum yang diturunkan oleh Allah SWT, misalnya seorang penguasa yang berhukum (memerintah) dengan hukum yang tidak memiliki dalil syariah, atau dalil yang digunakan sebagai dasar tidak sesuai dengan realita (perkara) yang dihukumi. Kezaliman yang demikian ini tidak bisa diselesaikan kecuali oleh seorang mujtahid. Jika qâdhi mazhâlim itu bukan mujtahid, maka artinya qâdhi mazhâlim itu telah memutuskan perkara tidak berdasarkan ilmu (dalam keadaan bodoh). Sungguh hal yang demikian itu adalah haram, dan jelas tidak boleh terjadi. Oleh karena itu, terhadap qâdhi mazhâlim ini ditetapkan syarat tambahan atas syarat-syarat penguasa (al-hâkim) dan qâdhi, yaitu harus mujtahid (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 247; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 113; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 187).

WalLâhu a’lam bish-shawâb[Muhammad Bajuri]

 

Daftar Bacaan:

Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fî al-Hukm wa al-Idârah, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.

Hizbut Tahrir, Masyrû’ Dustûr Dawlah al-Khilâfah, edisi Mu’tamadah, (versi terbaru tanggal 03/06/2014), http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_28722.

Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.

An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddin, an-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2004.

Zallum, Asy-Syaikh Abdul Qadim, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2002.

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*