Nama lengkapnya adalah Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin Hakam bin Abu al-’Ash bin Umayah bin Abdu Syam bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab. Ia keturunan Bani Umayah, berdarah Quraisy. Ia lahir pada tahun 61 H/682 M di Madinah (Tadzkirah al-Huffâzh, 1/118-120).
Umar bin Abdul Aziz sejak kecil mencintai ilmu dan sering menghadiri majelis para ulama. Madinah pada zamannya adalah kota yang gemerlap dengan kebaikan dari ilmu para ulama, fuqaha dan orang-orang salih. Yang pertama kali ia pelajari dari para ulama adalah adab (Ibn Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, 12/679).
Ia hapal al-Quran sejak masih kecil. Al-Quran membimbing dirinya hingga menjadi orang bersih. Sungguh membekas semua pelajaran dalam al-Quran yang ia pelajari. Ia sangat takut jika mendengar kematian sehingga ia sering menangis (Ibn Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, 12/678).
Umar bin Abdil Aziz memiliki 33 guru. Delapan di antaranya adalah para Sahabat dan 25 lainnya dari kalangan Tâbi’în (Musnad Amîr al-Mu’minîn ‘Umar ibn ‘Abd al-Azîz, hlm. 33). Ia pernah duduk bersama Abu Hurairah ra. Karena itu ia banyak meriwayatkan hadis dari jalur Abu Hurairah ra. (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubalâ’, 4/47)
Tentang sosoknya yang agung ini, Al-Hafizh al-Imam adz-Dzahabi antara lain berkata, “Umar bin Abdul Aziz adalah al-Imam al-Hafidz al-‘Allamah al-Mujtahid az-Zahid al-Abid, as-Sayyid Amirul Mu’minin haqq[an].” (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubalâ’ 5/136, 120, 114, 144).
Umar bin Abdul Aziz adalah sosok yang berkepribadian kuat, bermental baja, mampu mencarikan solusi terbaik dari setiap problem yang ada dan memiliki analisis yang tajam. Di antara karakteristik yang ia milikinya antara lain: rasa takut yang tinggi kepada Allah SWT. Pernah seorang laki-laki mengunjungi Umar bin Abdul Aziz yang sedang memegang lentera. “Berilah aku petuah!” Umar membuka perbincangan. Laki-laki itu pun berujar, “Amirul Mukminin! Jika engkau masuk neraka, orang yang masuk surga tidaklah mungkin bisa memberi engkau manfaat… “ Serta-merta Umar bin Abdul Aziz pun menangis tersedu-sedu hingga lentera yang ada di genggamannya padam karena derasnya air mata yang membasahi (Ibn al-Jauzi, Sîrah wa Manâqib ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azîz, hlm. 164).
Umar bin Abdul Aziz adalah seorang yang wara’. Di antara sikap wara’-nya adalah keengganannya menggunakan fasilitas negara untuk keperluan pribadi meskipun sekadar mencium bau aroma minyak wangi. Hal itu pernah ditanyakan oleh pembantunya, “Wahai Khalifah! Bukankah itu sekadar aroma saja, tidak lebih?” Beliau menjawab, “Bukankah minyak wangi itu diambil manfaatnya karena aromanya?” (Ibn al-Jauzi, Sîrah wa Manâqib ‘Umar ibn Abdul ‘Azîz, hlm. 192).
Umar bin Abdul Aziz pun sangat amanah dalam menggunakan fasilitas dan uang negara serta harta kaum Muslim. Ia biasa menggunakan lampu negara saat mengurus urusan kaum Muslim. Setelah selesai, ia segera memadamkan lampu tersebut, lalu menggunakan lampu pribadi (Atsar al-Waradah fî Umar ibn ‘Abd al-‘Azîz fî al-‘‘Aqîdah 1/164).
Umar bin Abdul Aziz juga adalah orang yang sangat zuhud. Kezuhudannya justr mencapai level tertinggi saat ‘puncak dunia’ berada di genggamannya. Ia meninggalkan semua perkara yang tidak bermanfaat untuk akhiratnya (Atsar al-Waradah fî ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz fî al-‘Aqîdah, 1/146).
Imam Malik bin Dinar berkata, “Orang-orang berkomentar tentang aku, ‘Malik bin Dinar adalah orang zuhud.’ Padahal yang pantas dikatakan zuhud hanyalah Umar bin Abdul Aziz. Dunia mendatangi dirinya. Namun, dunia itu ia tinggalkan.” (Ibn Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, 12/699; Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubalâ’, 5/134).
Sebelum beliau berkuasa menjadi khalifah, beliau menjual kekayaannya. Lalu uangnya dimasukkan ke Kas Negara (Atsar al-Waradah fî ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz fî al-Aqîdah, 1/155).
Begitu sederhana dan zuhudnya, Umar bin Abdul Aziz pernah tidak mampu pergi berhaji gara-gara tak cukup memiliki biaya (Shalabi, Al-Khalîfah ar-Rasyîd wa al-Muslih al-Kabîr ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azîz, hlm. 70).
Umar bin Abdul Aziz pun memiliki akhlak yang luhur. Di antaranya adalah sikap tawaduk (rendah hati). Imam Ibnu Abdil Hakam berkata, “Di antara sifat tawaduknya adalah ia melarang orang-orang berdiri untuk sekadar menyambut kedatangannya.” (Ibn al-Hakam, Sîrah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azîz, hlm. 34-35).
Sebagai khalifah, Umar bin Abdul Aziz adalah pemimpin yang adil. Bahkan keadilannya adalah di antara sifat yang paling menonjol. Penduduk Himsh, misalnya, pernah mendatangi Khalifah Umar bin Abdul Aziz seraya mengadu, “Amirul Mukminin, saya ingin diberi keputusan sesuai dengan hukum Allah.” Ia bertanya, “Apa yang engkau maksud?” Orang itu berkata lagi, “Abbas bin Walid bin Abdul Malik telah merampas tanahku.” Saat itu Abbas sedang duduk di samping Umar bin Abdul Aziz. Khalifah Umar lalu bertanya kepada Abbas, “Apa komentarmu?” Abbas menjawab, “Aku terpaksa melakukan itu karena mendapat perintah langsung dari ayahku, Walid bin Abdul Malik.” Mendengar itu, serta-merta Khalifah Umar ra. berkata, “Hukum Allah lebih berhak untuk ditegakkan daripada hukum Walid bin Abdul Malik.” Ia lalu memerintahkan Abbas untuk mengembalikan tanah yang telah dia rampas (Shalabi ,Al-Khalîfah ar-Rasyîd wa al-Muslih al-Kabîr ‘Umar ibn ‘Abd al-Azîz, hlm. 78.).
Umar bin Abdul Aziz wafat pada Hari Jumat di penghujung bulan Rajab tahun 101 H pada usia 40 tahun. Ia wafat setelah memegang tampuk Kekhilafahan selama kurang lebih dua tahun (Ibn Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, 12/719; Ibn Hajar, Tahdzîb at Tahdzîb, VII/475).
Ia wafat dengan meninggalkan tiga orang istri, 14 anak laki-laki dan tiga anak perempuan (Ibn al-Jauzi, Sîrah wa Manâqib ‘Umar ibn ‘Abd al-Azîz, hlm. 314-315).
Ia wafat dengan meninggalkan warisan hanya 17 dinar (sekitar Rp 35 juta). Harta itu lalu digunakan untuk membiayai pengurusan dan penguburan jenazahnya sebesar 7 dinar (sekitar Rp 15 juta). Yang tersisa dibagikan kepada semua ahli warisnya. Masing-masing dari mereka ada yang hanya mendapat 19 dirham (sekitar Rp 1,2 juta) saja. Padahal saat itu Khalifah Umar sanggup menggaji seorang gubernur sebesar 3 ribu dinar (sekitar Rp 6 miliar).
Namun demikian, meski untuk keluarganya ia meninggalkan warisan yang sedikit, ia meninggalkan Kekhilafahan Islam yang seluruh warganya merasakan kekayaan, kemakmuran dan kesejahteraan luar biasa sehingga pada zamannya tak ada seorang pun yang mau menerima zakat!
Wa mâ tawfîqî illâ bilLâh. [Arief B. Iskandar]