Dakwah adalah kewajiban yang telah Allah SWT (QS an-Nahl [16]: 125; QS at-Taubah [9]: 71). Dakwah adalah menyampaikan ajaran (Islam) yang berisi perintah dan larangan Allah SWT.
Rasulullah saw. juga memerintahkan amar makruf nahi mungkar, “Demi Zat Yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya kalian memiliki dua pilihan: benar-benar melakukan amar makruf nahi mungkar; atau Allah akan mendatangkan siksa dari sisi-Nya yang akan menimpa kalian, kemudian kalian berdoa, tetapi tidak dikabulkan.” (HR at-Tirmidzi dan Ahmad).
Sebagian nas di atas cukup menunjukkan bahwa dakwah dan amar makruf nahi mungkar adalah perintah dari Allah SWT dan Rasul-Nya yang bersifat wajib karena adanya indikasi (qarînah) berupa pujian dan balasan baik bagi orang yang melaksanakannya serta sanksi (‘iqâb) serta celaan (akibat buruk) bagi yang meninggalkannya.
Pelaksanaan kewajiban dakwah dan amar makruf nahi mungkar ini, sesungguhnya tidak ada toleransi atau keringanan untuk ditinggalkan dengan alasan ketidakmampuan karena Rasulullah saw. telah bersabda, “Siapa saja di antara kalian yang melihat kemunkaran, hendaklah mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mengubah dengan lisannya. Jika tidak mampu hendaklah mengubah dengan hatinya, Sesungguhnya hal itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim, Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah).
Betapa pentingnya dakwah dan amar makruf nahi munkar di dalam sebuah masyarakat digambarkan dalam hadis Rasulullah saw., “Perumpamaan orang yang menjaga dan menerapkan batas (peraturan) Allah adalah laksana kelompok penumpang kapal yang mengundi tempat duduk mereka. Sebagian mereka mendapat tempat duduk di bagian atas dan sebagian lagi di bagian bawah. Jika mereka (yang berada di bagian atas) membutuhkan air, mereka harus melewati bagian atas kapal. Mereka berujar, ‘Bagaimana jika kami melubangi saja bagian bawah kapal ini (untuk mendapatkan air) agar kami tidak perlu mengganggu orang yang berada di bagian atas.’ Jika kalian membiarkan mereka berbuat menuruti keinginan mereka itu, maka binasalah mereka, dan seluruh penumpang kapal itu. Namun jika kalian mencegah mereka, selamatlah mereka dan seluruh penumpang yang lain.” (HR al-Bukhari).
Demikian pentingnya kewajiban berdakwah dan amar makruf nahi mungkar ini, selayaknya kewajiban dakwah ini diposisikan sama dengan kewajiban lain seperti shalat, shaum Ramadhan, zakat, haji, dsb. Kewajiban dakwah harus melekat pada diri seorang muslim dalam kehidupan kesehariannya. Setiap Muslim, selama masih memiliki lisan, tak ada uzur bagi dia untuk meninggalkan kewajiban ini, meski hanya mampu menyampaikan satu ayat, sebagaimana hadis Rasulullah saw. “Sampaikan dariku walaupun satu ayat.” (HR al-Bukhari).
Seorang Muslim, dengan dorongan keimanan dan cintanya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, tentu dengan senang hati melakukan kewajiban dakwah. Dakwah akan menjadi darah dan dagingnya. Dakwah hanya akan terhenti tatkala tak ada lagi denyut jantung dan jiwanya.
Kecintaan pada dakwah tentu akan berakar kuat tatkala dakwah tertanam sejak dini, sejak masa kanak-kanak; lalu akan semakin subur tatkala terus disirami dengan tsaqâfah yang memadai disertai bimbingan langsung pada obyek dakwah yang sesuai dengan tingkat usia dan lingkungannya. Karena itu orangtua, khususnya ibu, sangat berperan dalam menanamkan pemahaman dan mengkondisi-kan anak agar mencintai dakwah serta mendampingi anak hingga dewasa (akil balig). Pada saat itulah seorang anak akan bertanggung jawab langsung atas kewajiban ini serta bisa berkontribusi bagi kebaikan masyarakatnya.
Langkah Praktis
Berikut langkah praktis yang bisa dilakukan orangtua, khususnya ibu, dalam mendidik putra-putrinya agar mencintai kewajiban dakwah.
Pertama: Tanamkan akidah (keyakinan) yang kuat terhadap Allah SWT, Rasul-Nya dan al-Quran yang didasari oleh proses berpikir dan naluri yang lurus. Dengan itu akan muncul sikap penghambaan terhadap sang Pencipta dan ketundukan pada syariah-Nya. Sejak kecil anak-anak harus dibiasakan untuk mengikatkan setiap perbuatannya dengan perintah dan larangan Allah SWT, dengan hati yang ringan dan bahagia, karena kebahagiaan sesungguhnya adalah ketika Allah SWT ridha kepada hamba-Nya.
Kedua: Mulai menamamkan kebiasaan pada anak untuk terikat dengan syariah yang terkait langsung dengan mereka dan pembiasaan akhlak islami dalam keseharian, seperti shalat, shaum, berkata jujur, berbakti kepada ayah-ibu, menghormati orang yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda, dsb.
Ketiga: Ajaklah anak untuk peka terhadap lingkungan di sekitarnya, terhadap kesulitan hidup, kejadian yang kurang baik (kemungkaran) dalam batas yang bisa dia jangkau dan banyaklah bercerita tentang sebab-akibat dari setiap peristiwa yang ada. Semua disampaikan dalam nuansa keimanan, dengan selalu mengaitkannya dengan peristiwa pada zaman Rasulullah saw. Bagaimana sikap dan karakter para Sahabat beliau ketika menghadapi hal yang sama, meski pada zaman yang berbeda. Harapannya agar anak mencintai Rasul saw. dan para Sahabatnya, mengidolakan dan mencontoh mereka dalam menyikapi peristiwa yang dihadapi anak saat ini.
Keempat: Sering berkomunikasi dengan anak; bercerita tentang apa yang kita alami selama mengenal Islam lebih dalam; mengerti bahwa Islam tidak sekadar agama ritual, tetapi sebagai solusi problem bagi siapa saja, bagi individu, masyarakat atau bahkan bagi problem yang dihadapi negara. Berceritalah dengan penuh semangat dan penjiwaan, khususnya pada momen saat anak ingin ditemani, dalam suasana santai, seperti menjelang tidur. Bagi seorang anak, sesungguhnya apa yang keluar dari lisan ibunya adalah hal yang sangat berkesan, apalagi jika terbawa tidur dan mimpi. Dalam keadaan seperti inilah sejatinya terjadi transfer jiwa, semangat, militansi dari seorang ibu kepada anaknya. Jembatan antara idealisme dan realita ini penting. Idealisme dibangun dengan membangun idola pada figur Rasulullah saw. dan para Sahabat, namun realita semestinya dibangun melalui figur ayah dan ibunya dalam tantangan dakwah kekinian.
Kelima: Selain membangun konsep, cara berpikir pada anak, tak kalah penting adalah melibatkan anak dalam aktivitas dakwah keseharian dari orangtuanya. Anak dapat merasakan langsung suka-dukanya berdakwah. Apalagi bagi anak yang kritis, sesungguhnya menyimak diskusi dan pemaparan materi dari ibunya adalah sebuah petualangan intelektual yang menantang dan berkesan seumur hidupnya. Dalam aspek inilah terbangun idealisme dan cita-cita dalam hidup seorang anak, yang terwujud dari figure orang tuanya.
Keenam: Pembinaan nafsiyah juga penting karena hal inilah yang bisa menstabilkan semangat. Pembiasaan dalam ber-taqarrub kepada Allah SWT melalui pelaksanaan ibadah sunnah, menghapal dan men-tadabburi al-Quran, miksalnya, akan menjadikan anak dekat dengan Allah SWT dan memiliki emosional yang stabil.
Ketujuh: Praktik dan pembiasaan menyampaikan adalah langkah pamungkas yang harus terus dilatih agar anak menjadi piawai. Latihan berpidato dengan membuat naskah sendiri sudah bisa dilakukan pada anak sekitar kelas lima SD. Selain itu, keberanian untuk menyampaikan kritik dan nasihat dengan cara yang makruf juga harus ditumbuhkan. Saat anak memasuki usia sekitar SMP, dibiasakan untuk melakukan kontak dan pendekatan yang lebih terarah, dengan target tertentu kepada sasaran dakwahnya. Dengan begitu pembekalan cara berkomunikasi dan mengenal psikologis dan seluk-beluk obyek dakwahnya juga mulai diperkenalkan.
Khatimah
Demikian hal yang bisa dilakukan oleh orangtua, khususnya para ibu, dalam mendidik buah hatinya agar mencintai dakwah dan menjadi seorang pejuang agama Allah SWT. Bila semua didasari oleh keimanan dan semata mengharapkan balasan di sisi Allah SWT, niscaya akan menjadi aktivitas yang menyenangkan dan membanggakan. YassarâlLâhu umûranâ. [Reta Fajriah, DPP MHTI]