Peradilan Islam merupakan lembaga terhormat. Hukum yang ditetapkan oleh lembaga ini bersifat mengikat. Untuk itu diperlukan aturan yang ketat sehingga umat merasakan nyaman dan puas sebagai wujud ketaatannya terhadap syariat. Lalu, apa saja aturan yang ada dalam peradilan Islam?
Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam terkait beberapa pasal berikut:
Pasal 79: “Qâdhi, al-Muhtasib, dan Qâdhi Mazhâlim boleh diangkat dengan wewenang yang bersifat umum untuk memutuskan semua perkara, yakni untuk seluruh bentuk perkara dan di seluruh negeri. Boleh juga qâdhi diangkat dengan wewenang yang bersifat khusus untuk tempat dan perkara-perkara tertentu.”
Pasal 80: “Mahkamah hanya boleh dibentuk dari seorang qâdhi yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perkara peradilan. Boleh ada bersamanya seorang atau beberapa orang qâdhi yang lain. Akan tetapi, mereka tidak memiliki wewenang untuk memutuskan perkara. Mereka hanya memiliki wewenang untuk memberikan pendapat dan masukan. Pendapat dan masukan mereka tidak bersifat mengikat.”
Pasal 81: “Seorang qâdhi tidak boleh memutuskan perkara kecuali di Majelis al-Qadhâ’ (sidang pengadilan). Bukti dan sumpah juga tidak bisa diterima kecuali disampaikan di sidang pengadilan.”
Pasal 82: “Beragamnya tingkatan mahkamah peradilan dibolehkan sesuai dengan jenis perkaranya. Boleh juga mengkhususkan beberapa orang qâdhi untuk perkara-perkara tertentu, sedangkan perkara-perkara yang lain boleh diserahkan kepada mahkamah yang lain.” (Hizbut Tahrir, Masyrû’ Dustûr Dawlah al-Khilâfah, hlm. 22).
Pengangkatan dan Penempatan Qâdhî
Qâdhi biasa, qâdhi hisbah, dan qâdhi mazhâlim boleh diangkat dengan wewenang yang bersifat umum untuk memutuskan semua perkara, dan di seluruh negeri. Boleh juga mereka diangkat dengan wewenang yang bersifat khusus untuk tempat dan perkara-perkara tertentu.
Dalil dalam hal ini adalah perbuatan Rasulullah saw. Beliau pernah mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai qâdhi di Yaman. Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dengan sanad sahih dari Ali yang mengatakan, “Rasulullah saw. mengutus aku ke Yaman. Aku berkata, ’Wahai Rasulullah, Engkau mengutus aku kepada suatu kaum yang lebih berumur daripada aku, sedangkan aku masih muda dan belum berpengalaman dalam peradilan.’ Lalu beliau meletakkan tangannya di dadaku dan bersabda: “Ya Allah, teguhkanlah lisannya, dan bimbinglah hatinya. Wahai Ali, jika dua orang yang sedang bersengketa duduk di hadapan kamu, janganlah engkau memutuskan perkara keduanya, sebelum engkau mendengarkan dari pihak lain sebagaimana engkau telah mendengarkan dari pihak pertama. Jika Anda melakukan itu, maka jelaslah bagi kamu membuat keputusannya.’ Ali berkata, “Setelah itu tidak pernah terjadi perbedaan atas keputusanku, atau masalah dengan dengan keputusanku.”
Beliau mengangkat Muadz bin Jabal sebagai qâdhi untuk sebagian daerah Yaman. Abu Umar bin Abdul Barr dalam Al-Istî’âb menuturkan, berkata Ibnu Ishak: Rasulullah saw. mempersaudarakan antara Muadz bin Jabal dan Ja’far bin Abu Thalib. Keduanya menyaksikan peristiwa Aqabah dan Badar. Lalu Rasulullah saw mengirim Muadz ke al-Janad di Yaman untuk mengajari orang-orang al-Quran dan syariah Islam, serta memutuskan perkara di antara mereka; juga untuk mengumpulkan sedekah dari para amil…”
Beliau juga mengangkat Amr bin al-‘Ash untuk mengurusi peradilan dalam satu perkara tertentu. Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni mengatakan: Dari Uqbah bin Amir berkata: Dua orang yang bersengketa datang pada Rasulullah saw. Beliau bersabda, “Putuskan masalah di antara mereka berdua.” Aku berkata, “Dalam hal ini engkau lebih utama.” Beliau bersabda, “Jika ia mengapa?” Aku berkata: “Dengan dasar apa aku akan memutuskan?” Beliau bersabda, “Putuskan, jika benar kamu mendapatkan sepuluh pahala, dan jika salah kamu mendapatkan satu pahala.”
Ibnu Qudamah berkata: Said telah meriwayatkan dalam Sunan-nya. Al-Haitsami berkata dalam Majma’ al-Zawâ’id: Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanad para rawi sahih dari Uqbah bin Amir dari Nabi saw. yang bersabda, “Jika kamu berijtihad, lalu kamu benar dalam membuat keputusan, maka kamu mendapatkan sepuluh pahala, dan jika kamu berijtihad, lalu kamu salah dalam membuat keputusan, maka kamu mendapatkan satu pahala.” (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 248; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 113; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 187).
Dalam Setiap Mahkamah Hanya Ada Seorang Qâdhî
Dalam sistem peradilan Islam setiap Mahkamah dibentuk dari seorang qâdhî yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perkara peradilan. Meski bersama dia boleh ada qâdhi yang lain, qâdhî lian tersebut tidak memiliki wewenang untuk memutuskan perkara. Mereka hanya memiliki wewenang untuk memberikan pendapat dan masukan yang tidak bersifat mengikat.
Dalilnya adalah karena Rasulullah saw. tidak pernah menunjuk dua orang qâdhi untuk satu masalah. Beliau hanya menunjuk seorang qâdhi untuk satu masalah. Ini menunjukkan bahwa tidak boleh ada multi peradilan dalam satu masalah. Selain itu, peradilan adalah pemberitahuan hukum syariah yang bersifat mengikat, sementara hukum syariah bagi seorang Muslim hanya satu, itulah hukum Allah. Benar, kadang pemahaman hukum itu lebih dari satu. Namun, bagi seorang Muslim, dilihat dari sisi hukum yang menjadi landasan aktivitasnya, hanya ada satu pemahaman hukum, dan tidak berbilang sama sekali. Apa yang dia pahami, itulah hukum Allah bagi dia. Yang selain itu bagi dia bukanlah hukum Allah meski ia tetap menganggap itu sebagai hukum syariah.
Seorang qâdhî, ketika memberitahukan hukum syariah yang bersifat mengikat dalam satu perkara, wajib hanya memberitahukan satu hukum. Sebab, pada hakikatnya hal itu merupakan pelaksanaan atas hukum Allah. Hukum Allah, dalam praktik pelaksanaannya, tidaklah berbilang, meski pemahamannya bisa berbilang. Dengan demikian qâdhî tidak boleh lebih dari satu orang untuk satu perkara. Artinya, satu qâdhî hanya untuk satu mahkamah.
Adapun keberadaan dua qâdhî yang memberikan keputusan dalam seluruh perkara dalam satu negara, tetapi dalam dua mahkamah yang terpisah untuk satu tempat, maka hukumnya adalah boleh, karena al-qâdhâ’ adalah perwakilan dari Khalifah. Ketentuannya sama dengan ketentuan wakâlah (akad perwakilan) lainnya yang boleh diwakilkan kepada banyak orang. Artinya, dalam masalah peradilan boleh adanya banyak qâdhî di satu tempat. Pada saat terjadi tarik-menarik perkara di antara dua qâdhi di satu tempat, maka yang dimenangkan adalah pihak penuntut sehingga wewenang memeriksa dan memutuskan perkara diberikan kepada qâdhî yang diminta. Sebab, penuntut itu adalah orang yang menuntut haknya dan ia lebih dikuatkan daripada orang yang dituntut (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 249; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 114-115; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 188).
Tidak Ada Peradilan Tanpa Sidang Pengadilan
Seorang qâdhî tidak boleh memutuskan perkara kecuali di Majelis al-Qadhâ’ (sidang pengadilan). Bukti dan sumpah juga tidak bisa diterima kecuali disampaikan di sidang pengadilan. Abdulalh bin Zubair yang mengatakan:
قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وآله وسلم أَنَّ الْخَصْمَيْنِ يَقْعُدَانِ بَيْنَ يَدَيِ الْحَكَمِ
Rasulullah saw. memutuskan bahwa dua orang yang bersengketa (harus) didudukkan di hadapan hakim (HR Ahmad dan Abu Dawud).
Hadis ini menjelaskan proses peradilan (al-qadhâ’). Dua pihak yang bersengketa didudukkan di hadapan hakim. Begitulah proses sidang pengadilan itu. Keberadaan sidang pengadilan ini merupakan syarat sahnya peradilan sehingga sah disebut peradilan (al-qadhâ’). Artinya, hendaknya dua pihak yang bersengketa didudukkan di hadapan hakim. Ketentuan ini diperkuat oleh hadits ketika Rasulullah saw. bersabda kepada Ali bin Abi Thalib, “Wahai Ali, jika dua orang yang sedang bersengketa duduk di hadapan kamu, janganlah engkau memutuskan perkara keduanya sebelum engkau mendengarkan dari pihak lain sebagaimana engkau telah mendengarkan dari pihak pertama.” (HR Ahmad).
Hadis ini juga menjelaskan proses tertentu melalui sabdanya, “Jika dua orang yang sedang bersengketa duduk di hadapanmu.” Dengan demikian adanya Majelis al-Qadhâ’ (sidang pengadilan) merupakan syarat sahnya peradilan, juga menjadi syarat sumpah diterima. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw., “Ssumpah itu wajib atas terdakwa (tergugat).” (HR al-Bukhari dari Ibn Abbas).
Sungguh, tidak terdapat pada diri seseorang sifat sebagai terdakwa kecuali di sidang pengadilan. Demikian juga bukti, ia tidak memiliki nilai apa pun kecuali di sidang pengadilan. Rasulullah saw. bersabda, “Pembuktian itu wajib atas penuntut (penggugat).” (HR al-Baihaqi).
Sifat sebagai penuntut itu juga tidak ada kecuali di sidang pengadilan (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 250; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 116; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 189).
Boleh Adanya Tingkatan Mahkamah Peradilan Sesuai Jenis Masalahnya
Adanya tingkatan-tingkatan mahkamah peradilan dibolehkan sesuai dengan jenis perkaranya. Boleh juga mengkhususkan beberapa orang qâdhi untuk perkara-perkara tertentu, sedangkan perkara-perkara yang lain boleh diserahkan kepada mahkamah yang lain.
Dalilnya adalah karena Lembaga Peradilan merupakan lembaga yang mewakili Khalifah. Keberadaannya sama persis seperti wakâlah (akad perwakilan) yang lainnya, yang boleh bersifat umum dan boleh juga bersifat khusus. Dengan demikian, seorang qâdhî boleh diangkat untuk menangani perkara-perkara tertentu dan tidak boleh menangani perkara-perkara lainnya; boleh juga qâdhî lain yang diangkat untuk menangani perkara yang lain, termasuk dalam perkara yang menjadikan ia diangkat meskipun di satu tempat. Dari sini maka dibolehkan adanya tingkatan-tingkatan mahkamah. Praktik seperti itu sudah ada di tengah-tengah kaum Muslim pada masa-masa awal. Imam al-Mawardi mengatakan di dalam kitabnya, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, Abu Abdillah az-Zubairi mengatakan: “Tidak pernah ada satu masa pun kecuali amir kami di Bashrah selalu mengangkat qâdhî untuk menjadi qâdhî di masjid Jami‘. Mereka menyebutnya qâdhî masjid. Mereka memutuskan perkara dalam kasus 200 dirham atau 20 dinar atau kurang dari itu, selain juga menetapkan berbagai pengeluaran. Ia tidak akan menyimpang dari kedudukannya dan dari hal-hal yang telah ditetapkan baginya.”
Rasulullah saw. pernah menunjuk wakil beliau dalam memutuskan satu perkara saja seperti ketika beliau mengangkat Amru bin al-‘Ash. Beliau juga mengangkat wakil dalam memutuskan semua perkara di satu wilayah, seperti ketika mengangkat Ali bin Abi Thalib menjadi wakil beliau untuk memutuskan semua perkara di Yaman. Dengan demikian, semua ini menunjukkan kebolehan memberi lembaga peradilan wewenang yang bersifat khusus sebagaimana boleh memberinya wewenang yang bersifat umum (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 251; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 117; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 190).
WalLâhu a’lam bish-shawâb. [Muhammad Bajuri]
Daftar Bacaan
Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fî al-Hukm wa al-Idârah, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
Hizbut Tahrir, Masyrû’ Dustûr Dawlah al-Khilâfah, edisi Mu’tamadah, (versi terbaru tanggal 03/06/2014), http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_28722.
Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddin, an-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2004.
Zallum, Asy-Syaikh Abdul Qadim, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2002.