Azîmah berasal dari ‘azama – ya’zimu – ‘azman wa ‘azîmat[an]. Imam al-Amidi di dalam Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm menyebutkan, al-‘azîmah secara bahasa berarti ar-ruqyah (mantera) atau keinginan kuat yang diambil dari ketetapan hati atas suatu perkara; al-‘azîmah secara bahasa adalah maksud yang kuat. Dari situ jika orang ‘azima ‘alâ fi’li asy-syay`i, yakni jika ia ingin melakukan sesuatu dan memastikan keinginan itu atau bersungguh-sungguh dalam urusan tersebut. Makna itu juga dipakai di dalam al-Quran. Al-Jauhari dan Fairuz Abadi menyatakan, Allah SWT berfirman:
مَا لَمْ يَأْمُرُوكَ بِإِثْمٍ بَوَاحاً
“… maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat (QS Thaha [20]: 115).
Maknanya, qashd[an] muakkad[an] (maksud/niyat yang kuat). Adapun dalam istilah ushul, Imam al-Amidi menyatakan, al-‘azîmah secara syar’i adalah ungkapan tentang apa yang diharuskan pada hamba dengan pengharusan dari Allah SWT seperti shalat lima waktu dan semacamnya. Imam asy-Syathibi di dalam Al-Muwâfaqât menyatakan, al-‘azîmah adalah hukum-hukum kulliyah yang disyariatkan sejak awal (ibtidâ`[an]). Makna kulliyah itu berararti, hukum tersebut tidak dikhususkan atas sebagian mukallaf tanpa sebagian yang lain dari sisi mereka sebagai mukallaf; juga tidak dikhususkan atas sebagian kondisi tanpa kondisi lainnya. Shalat, misalnya, shalat disyariatkan secara mutlak dan umum pada setiap orang dan setiap kondisi. Demikian juga puasa, haji, jihad, dan seluruh syiar Islam secara umum.
Dari penjelasan di atas, al-‘azîmah bermakna: hukum-hukum yang disyariatkan secara umum. Seorang hamba diharuskan oleh Allah SWT untuk mengamalkan hukum-hukum tersebut. Dalam hal ini Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyah Juz III, Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di dalam Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr, juga Haytsam Hilal di dalam Mu’jam Mushthalah al-Ushûl (hlm. 205) mendefinisikan al-‘azîmah adalah: mâ syuri’a min al-ahkâm tasyrî’an ‘âman wa ulzima al-‘ibâd bi al-‘amali bihi (hukum-hukum yang disyariatkan dalam bentuk tasyrî’ secara umum dan hamba diharuskan mengamalkan hukum-hukum tersebut).
Adapun ar-rukhshah secara bahasa berasal dari rakhusha – yarkhushu – rakhsh[an] wa rukhshat[an]. Imam al-Amidi di dalam Al-Ihkâm menjelaskan, ar-rukhshah secara bahasa artinya at-taysîr wa at-tashîl (keringanan dan kemudahan). Al-Jauhari menyatakan, ar-rukhshah fî al-amri khilâf at-tasydîd fîhi (rukhshah dalam satu perkara adalah lawan dari pengetatan (tasydîd) dalam perkara itu).
Wahbah az-Zuhaili menyatakan bahwa menurut para ulama ushul, ar-rukhshah adalah hukum-hukum yag disyariatkan Allah berdasarkan udzur-udzur hamba, sebagai pemeliharaan terhadap kebutuhan mereka disertai bertahannya sebab yang mewajibkan hukum asli. Asy-Syathibi di dalam Al-Muwâfaqât mengartikan, ar-rukhshah adalah apa yang disyariatkan karena udzur yang berat sebagai pengecualian dari asal yang kulli yang mengharuskan larangan, disertai pembatasan pada masalah-masalah kebutuhan di dalamnya. Al-Isnawi dari kalangan Syafi’iyah di dalam At-Tamhîd fî Takhrîj al-Furû’ ‘alâ al-Ushûl menjelaskan, ar-rukhshah adalah hukum yang ditetapkan menyalahi dalil karena udzur yaitu masaqqah (kesulitan) dan haraj (kesempitan/kesukaran).
Dari penjelasan para ulama ushul jelas bahwa rukhshah merupakan hukum syariah. Rukhshah disyariatkan karena udzur sebagai keringanan dan kemudahan bagi hamba. Keringanan itu adalah keringanan terhadap hukum ‘azîmah dalam masalah yang sama. Namun, dengan adanya rukhshah itu, hukum ‘azîmah atau hukum aslinya tetap ada dan tidak hilang. Jadi rukhshah itu berbeda dengan naskh, sebab naskh menghilangkan hukum awalnya. Sebagai keringanan, seorang hamba tidak diharuskan untuk mengamalkan rukhshah. Dengan begitu, seperti yang disampaikan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyah Juz III, Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di dalam Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr dan Haytsam Hilal di dalam Mu’jam Mushthalah al-Ushûl (hlm. 155-156), ar-rukhshah adalah hukum-hukum yang disyariatkan sebagai keringanan untuk ‘azîmah karena adanya udzur, dan seorang hamba tidak diharuskan mengamalkannya, disertai tetap bertahan atau tetap adanya hukum ‘azîmah itu.
Contoh ‘azîmah dan rukhshah: berpuasa adalah ‘azîmah, sedangkan berbuka (tidak berpuasa) bagi orang yang sakit, musafir, wanita hamil atau menyusui adalah rukhshah. Membasuh anggota wudhu adalah ‘azîmah, sedangkan mengusap organ yang terluka adalah rukhshah. Berwudhu dengan air adalah ‘azîmah, sedangkan tayamum saat tidak ada air adalah rukhshah. Shalat dengan berdiri adalah ‘azîmah, sedangkan shalat sambil duduk atau berbaring bagi orang yang tidak mampu adalah rukhshah.
Jadi al-‘azîmah itu adalah hukum yang pen-tasyrî’-annya bersifat umum, dan tidak dikhususkan pada sebagian mukallaf saja. Seorang hamba tidak diberi pilihan. Ia harus mengamalkan hukum-hukum yang termasuk ‘azîmah tersebut.
Adapun rukhshah adalah hukum yang disyariatkan yang keluar dari ‘azîmah karena adanya udzur. Jadi hukum rukhshah itu berlaku selama ada udzur itu dan tidak berlaku ketika udzurnya tidak ada. Itu artinya, rukhshah hanya berlaku untuk orang yang memiliki udzur saja, tidak belaku umum untuk semua orang. Atas dasar itu, hukum-hukum yang dikecualikan dari keumuman nas bukanlah rukhshah. Misal: jual-beli salam, istishna’, musaqah, ‘araya, dan semacamnya bukanlah rukhshah; tetapi merupakan ‘azîmah. Sebab, hukum-hukum itu dikecualikan dari keumuman nas bukan karena udzur, dan berlaku untuk semua mukallaf.
Begitu juga hukum yang dikhususkan untuk sebagian keadaan bukan merupakan rukhshah, tetapi merupakan ‘azimah. Sebab, itu merupakan keadaan dan bukan udzur. Contoh: masa ‘iddah untuk wanita yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari. Adapun masa ‘iddah wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah sampai dia melahirkan. Hukum yang kedua ini dikecualikan dari hukum pertama untuk keadaan tertentu sehingga bukan merupakan rukhshah.
Demikian juga semua kemubahan, meski itu merupakan kemudahan bagi hamba, merupakan ‘azîmah dan bukan rukhshah. Sebab, berbagai kemubahan itu disyariatkan sebagai hukum asal sejak awal, dan tidak disyariatkan karena udzur.
Suatu hukum sehingga menjadi rukhshah harus ada dalil yang menunjukkan bahwa hukum itu merupakan rukhshah, yakni dikecualikan dari hukum ‘azîmah-nya karena adanya udzur. Jadi udzur yang menjadi dasar hukum rukhshah itu harus dinyatakan oleh nas. Contoh: sakit, safar, hamil, menyusui dalam hal puasa; tidak mampu berdiri dalam hal shalat; kondisi darurat dalam hal kebolehan makan sesuatu yang haram; ikrâh (dipaksa), karena keliru atau lupa, dalam hal terjatuhnya seseorang dalam keharaman; dan sebagainya.
Ini dari sisi hakikat ‘azimah dan rukhshah. Adapun hukum mengambil ‘azîmah atau rukhshah saat keduanya bertemu adalah mubah, yakni boleh mengamalkan ‘azîmah atau rukhshah, mana saja yang diinginkan. Rasul saw. bersabda:
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى عَزَائِمُهُ
Sesungguhnya Allah ‘Azza wa jalla suka diambil rukhshah-rukhshah-Nya, sebagai-mana Allah suka diambil ‘azimah-‘azimah-Nya (HR Ibnu Hibban, al-Baihaqi dan ath-Thabarani).
Adapun jika ada nas yang menyatakan keutamaan salah satunya atas yang lain, maka lebih utama mengambil yang diutamakan itu. Misalnya, dalam konteks berpuasa dan berbuka bagi musafir. Allah SWT berfirman:
… فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Siapa saja di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah atas dia berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Wajib bagi orang-orang yang berat menjalankan puasa (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa saja yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itulah yang lebih baik bagi dia. Berpuasa itu lebih baik bagi kalian jika kalian tahu (QS al-Baqarah [2]: 184).
Rasul saw. pernah melihat kerumunan orang yang mengerumuni orang yang kepayahan. Saat Rasul saw. bertanya tentang orang itu, orang-orang berkata, “Dia sedang berpuasa.” Rasul saw. lalu bersabda:
لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِى السَّفَرِ
Bukan termasuk kebaikan, berpuasa di dalam safar (HR al-Bukhari, Abu Dawud, an-Nasai dan Ibnu Majah).
Dari ayat di atas bisa dipahami bahwa jika musafir itu bisa berpuasa tanpa masaqqah (kesulitan/memberatkannya) maka berpuasa dalam kondisi itu lebih afdhal. Artinya, dalam kondisi ini, mengambil ‘azîmah lebih afdhal. Sebaliknya, dari hadis ini bisa dipahami jika seorang musafir berpuasa disertai kesulitan maka berbuka lebih afdhal bagi dia. Artinya, dalam kondisi demikian, mengambil rukhshah lebih afdhal.
Adapun jika tidak ada nas khusus yang menyatakan keutamaan mengambil ‘azîmah atau rukhshah, maka mengambil salah satunya adalah sama-sama mubah.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]