Berikut beberapa hadis yang meriwayatkan kisah Umar bin Abdul Aziz dengan putranya Abdul Malik:
Dinyatakan dalam Hilyah al-Awliyâ’ wa Thabaqât al-Ashfiyâ’ karya Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah bin Ahmad bin Ishaq bin Musa bin Mahran al-Ashbahani (w 430 H): Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Ja’far, telah menceritakan kepada kami Ahmad bin al-Husain al-Hadza’, telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Manshur, telah menceritakan kepada kami Syu’aib, telah menceritakan hadis kepada kami muhaddits bahwa Abdul Malik bin Umar bin Abdul Aziz masuk menemu Umar lalu ia berkata, “Amirul Mukminin, sesungguhnya aku punya keperluan dengan Anda. Jadi, beri aku kesempatan berdua dengan Anda.” Bersama Umar ada Maslamah bin Abdul Malik. Umar berkata kepada Abdul Malik, “Apakah rahasia sehingga tidak tanpa pamanmu?” Abdul Malik berkata, “Iya”. Maslamah lalu berdiri dan keluar. Abdul Malik duduk di depan Umar, lalu berkata, “Amirul Mukminin, apa yang Anda katakan kepada Tuhanmu esok jika menanyai kamu? Tuhanmu bertanya, ‘Engkau melihat bid’ah tetapi tidak engkau matikan dan engkau melihat sunnah tetapi tidak engkau hidupkan?’” Umar berkata kepada Abdul Malik, “Putraku, apakah ada sesuatu dari rakyat yang membawa kamu kepadaku ataukah itu adalah pendapat dari dirimu sendiri?” Abdul Malik berkata, “Tidak, demi Allah ini adalah pendapatku sendiri dan aku tahu bahwa engkau pasti dimintai pertanggungjawaban, lalu apa yang engkau katakan?” Ayahnya berkata kepada dia, “Semoga Allah merahmati kamu dan memberi balasan kepadamu anak yang baik. Demi Allah, sungguh aku berharap engkau menjadi penolong di atas kebaikan, wahai putraku. Sungguh kaummu telah biasa dengan perkara ini dalam beberapa dekade. Namun, saya tidak ingin malawan mereka, mencabut apa yang ada di tangan mereka…Demi Allah hilangnya dunia lebih ringan bagiku daripada tertumpahnya darah sedikitpun karena aku. Tidakkah engkau ridha bahwa tidak datang kepada ayahmu satu hari dunia kecuali ia mematikan bid’ah dan menghidupkan sunnah sampai Allah memutuskan kita dengan kaum kita dengan kebenaran dan Dia adalah sebaik-baik Hakim?”
Dalam kitab Al-Amru bi al-Ma’rûf wa an-Nahhyu ‘an al-Munkar li al-Khalâl karya Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Harun bin Yazid al-Khalal al-Baghdadi al-Hanbali (w. 311 H) dinyatakan:
Telah memberitahuku Abdul Malik al-Maymuni, telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepadaku Mu’tamir bin Sulaiman; dari Furat bin Sulaiman, dari Maimun bin Mihran, dari Abdul Malik bin Umar bin Abdul Aziz yang berkata kepada ayahnya, “Ayah, apa yang menghalangi engkau melaksanakan keadilan yang engkau inginkan? Demi Allah, aku tidak peduli remahan menjadi mahal bagi aku dan engkau dalam hal itu.” Umar berkata, “Putraku, aku tidak lain melatih orang-orang dengan latihan yang sulit. Sungguh aku ingin menghidupkan perkara dari keadilan tersebut, lalu aku tunda hal itu sampai aku keluarkan bersamanya orang yang berambisi dengan ambisi dunia. Lalu sesudah itu mereka pun berlari dari ini, dan merasa tenang untuk ini.”
Jelas dari hadis-hadis ini bahwa perkara tersebut tidak berkaitan dengan penerapan Islam atas masyarakat secara tadarruj. Itu hanya berkaitan dengan pengembalian hak kepada pemiliknya dan menghilangkan kezaliman yang telah terjadi pada masa para Khalifah sebelum Umar bin Abdul Aziz. Alhasil, gugurlah istidlâl dengan kisah Umar bin Abdul Aziz dan putranya dalam topik tadarruj.
- Hadis-hadis Nabi saw. Seputar utusan Tsaqif.
Utsman bin Abi al-‘Ash menyatakan: Delegasi Tsaqif ketika datang menemui Rasulullah saw., beliau menempatkan mereka di masjid agar melembutkan hati mereka. Lalu mereka mensyaratkan agar mereka tidak disuruh berjihad, tidak dipungut usyur dan tidak disuruh shalat. Rasulullah saw. lalu bersabda, “Untuk kalian, kalian tidak disuruh berjihad, tidak dipungut ‘usyur; tidak ada kebaikan dalam agama yang di dalamnya tidak ada rukuk (shalat).” (Lafal ini menurut Abu Dawud).
Di dalam riwayat Abu Dawud lainnya dari Wahab, ia berkata: Aku bertanya kepada Jabir tentang urusan Tsaqif ketika berbaiat. Jabir berkata, “Tsaqif mensyaratkan kepada Nabi saw. agar tidak diwajibkan pada mereka zakat dan jihad.” Jabir mendengar Nabi saw bersabda, “Mereka akan menunaikan zakat dan berjihad jika mereka masuk Islam”.
Hadis pertama dari Utsman bin Abi al-‘Ash diambil meskipun al-Mundziri mengatakan, “Dikatakan bahwa al-Hasan al-Bashri tidak mendengar dari Utsman bin Abi al-‘Ash).” Akan tetapi, ucapan al-Mundziri ini menggunakan redaksi pasif (majhûl). Oleh karena itu mungkin untuk ber-hujjah dengan hadis ini.
Adapun hadis kedua dari Wahab adalah hadis sahih.
Tidak benar dipahami dari kedua hadis tersebut kebolehan tadarruj dengan menerapkan sebagian hukum dan meninggalkan sebagian lainnya. Sebab, dalil-dalil qath’i telah tegas menyatakan pengharaman tadarruj dalam penerapan syariah Islam.
Dengan begitu, kedua hadis tersebut harus dipahami dengan pemahaman yang tidak bertentangan dengan dalil-dalil qath’I, yakni diamalkan dua dalil: qath’i dan dalil zhanni; atau diamalkan dalil yang qath’i dan ditolak yang zhanni jika kedua dalil itu tidak mungkin diamalkan. Artinya, dilakukan kompromi (al-jam’u) di antara dalil-dalil jika mungkin atau dilakukan tarjîh. Sudah diketahui bahwa dalil qath’i mengalahkan dalil zhanni.
Dalam hadis Utsman bin Abi al-‘Ash, Rasulullah saw. menerima dari delegasi Tsaqif bahwa mereka tidak disuruh berjihad, tidak dipungut usyur dan tidak diangkat atas mereka selain dari mereka. Akan tetapi, beliau tidak menerima dari mereka jika shalat ditinggalkan. Adapun tidak diangkat pemimpin atas mereka dari selain mereka, yakni agar wali atas wilayah mereka berasal dari penduduk wilayah itu, maka tidak ada masalah di dalamnya. Ini adalah boleh jika ada orang yang mampu di antara mereka. Akan tetapi, apa makna (lâ tuhsyarû wa lâ tu’syarû?). Ibnu Manzhur berkata di Lisân al-‘Arab tentang makna lâ yuhsyarûn: (yakni mereka tidak disuruh berperang dan tidak di wajibkan atas mereka misi…dan dikatakan lâ yuhsyarûn (tidak diutus) amil zakat untuk mengambil zakat harta mereka). Di dalam Lisân al-‘Arab juga dikatakan tentang makna lâ yu’syarûn: (yakni tidak diambil ‘usyur harta mereka, dan dikatakan yang mereka inginkan adalah zakat yang wajib). Oleh karena itu mungkin hadis ini dipahami bahwa diambil makna an lâ yuhsyarû, yakni mereka tidak disuruh pergi ke amil zakat lalu mereka membayar zakat mereka kepadanya, tetapi di tempat mereka. Artinya, amil itulah yang datang kepada mereka di tempat mereka dan mengambil zakat mereka. Ini adalah salah satu dari dua makna yuhsyarûn. Diambil makna an lâ yu’syaru, yakni tidak diambil ‘usyur dari harta mereka. Makna ini adalah salah satu makna yu’syarû.
Begitulah, apa yang mereka syaratkan disetujui oleh Rasulullah saw., yaitu agar mereka membayar zakat harta mereka di tempat mereka, dan tidak diambil dari mereka ‘usyur, tetapi zakat saja. Boleh bagi orang yang menginginkan Islam untuk mensyaratkan pembayaran zakatnya di tempat mereka, dan bahwa tidak diambil darinya ‘usyur, tetapi zakat saja. Ini adalah boleh, tidak ada sesuatu di dalamnya. Dengan begitu, kompromi bisa dilakukan diantara hadis-hadis dan dalil-dalil qath’i.
Hanya saja, riwayat Abu Dawud yang kedua dari jalur Wahab me-râjih-kan (menguatkan) makna lâ yuhsyarûn, yakni mereka tidak disuruh ke perang, yaitu mereka tidak berjihad. Makna lâ yu’syarûn, yakni mereka tidak membayar zakat. Dalam kondisi ini, hadis ini adalah khusus untuk delegasi Tsaqif, dan bahwa penerimaan tidak adanya jihad mereka dan tidak ada zakat mereka adalah nas khusus tentang mereka dan tidak berlaku untuk selain mereka. Sebab, hukum khusus tidak melebihi pihak yang dikenai hukum itu. Hukum khusus memerlukan qarînah yang menyatakan kekhususannya sehingga tidak berlaku untuk yang lain. Qarînah di sini adalah berita dari Rasul saw. bahwa mereka jika masuk Islam akan membayar zakat dan berjihad. Jadi syarat mereka tidak ada faktanya. Pengetahuan atas hal gaib tidak dipunyai untuk selain Rasul saw. Itu adalah qârinah bahwa ini adalah hukum khusus.
Kesimpulan
Diharamkan tadarruj dengan menerapkan sebagian hukum dan meninggalkan yang lain karena dalil-dalil qath’i dalam hal itu.
Dalam hadis Aisyah tidak ada tentang tadarruj dalam penerapan hukum syariah. Hadis ini hanya berbicara bahwa akidah mendahului hukum-hukum dalam suat-surat al-Quran yang diturunkan.
Umar bin al-Khathab tidak menangguhkan had pencurian dan tidak melakukan tadarruj dalam penerapannya. Beliau beramal sesuai hukum syariah dengan tidak menjatuhkan had pencurian atas orang yang mencuri pada masa paceklik.
Umar bin Abdul Aziz juga tidak melakukan tadarruj dalam penerapan hukum syariah. Sebabnya, yang diterapkan dalam Daulah Umayyah hanya syariah saja, tidak ada hukum lainnya selain Islam. Apa yang diriwayatkan darinya hanya berkaitan dengan penghilangan kezaliman dan pengembalian hak kepada pemiliknya.
Hadis Abu Dawud dengan dua riwayatnya yang menyatakan Rasul saw. tidak menyetujui mereka untuk meninggalkan shalat, tetapi menerima syarat mereka untuk tidak berjihad dan membayar zakat. Itu adalah hukum khusus untuk delegasi Tsaqif. Sebab, Rasul saw. mengetahui dengan wahyu bahwa syarat mereka tidak ada faktanya. Mereka, ketika masuk Islam, akan berjihad dan membayar zakat. Artinya, kedua hadis itu tidak ditolak, tetapi dikompromikan dengan dalil-dalil qath’i yang menunjukkan atas pengharaman tadarruj dalam menerapkan syariah Islam. [Selesai]
[Dinukil dan diadaptasi dari Soal-Jawab Amir HT, Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah (19 Ramadhan 1437 H/24 Juni 2016 M). Sumber: http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/37995.html#sthash.AfGfcUxn.dpuf; https://www.facebook.com/AmeerhtAtabinKhalil/photos/a.122855544578192.1073741828.122848424578904/489959114534498/?type=3&theater]