HTI

Siyasah & Dakwah (Al Waie)

Indonesia Harus Keluar Dari G-20


Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 ke-11 tahun ini diadakan di Hangzhou, Zhejiang, Cina. Sesuai jadwal, KTT G-20 diadakan pada 5–6 September 2016.

G-20 dan Dominasi AS

G-20 tidak terlepas dari organisasi multilateral lain, seperti APEC, WTO, ASEAN, Trans Pacifik Partnership. Itu semua merupakan bagian yang integral dalam liberalisasi perdagangan. Itu dari sisi teknis pertemuan. Dari sisi cara dan filosofi pembentukannya, memang ini adalah konferensi negara-negara maju yang tergabung dalam G-7, G-8, kemudian memperluas dirinya menjadi G-20.

Harapan agar G-20 memiliki peran besar dalam mengatasi krisis global, menciptakan kesetaraan dan keadilan hanya pepesan kosong. Sebab, G-20 tidak menjawab persoalan krisis secara subtansial, melainkan lebih ke arah mempertahankan Kapitalisme baik ala Anglo-Saxon (AS dan Inggris) maupun ala Eropa Continental (Jerman dan Prancis). Justru G-20 menjadi sarana baru bagi Barat dalam mempertahankan eksistensi penjajahannya atas dunia.

Pelibatan negara-negara berkembang dalam G-20 dan penataan institusi keuangan global tidak serta-merta membuat posisi Dunia Ketiga terhadap negara-negara maju menjadi setara. Skenario ini malah makin menguras sumberdaya negara-negara berkembang untuk membiayai krisis AS dan Eropa. Di sisi lain, negara-negara berkembang didesain untuk meningkatkan ketergantungan pada utang melalui IMF dan Bank Dunia dengan dana yang diambil dari negara-negara berkembang yang kaya seperti Arab Saudi.

Dalam Forum G-20, AS berkepentingan mempertahankan hegemoninya. Karena itu arah strategi AS dalam penyelesaian krisis keuangan global tidak bertumpu pada perombakan sistem Kapitalisme. AS fokus pada pembiayaan dampak krisis keuangan yang AS alami dalam bentuk bailout dan stimulus, bukan merombak sistem keuangan. AS pun berupaya agar seluruh dunia terlibat dalam pendanaan dampak krisis sehingga partisipasi internasional dapat meringankan bebannya.

Tentu AS dan sekutunya tidak akan tinggal diam melihat mesin kapital rentenir mereka digembosi. Cara paling mudah mempertahankan keberadaan IMF dan World Bank adalah dengan menciptakan krisis, mulai dari embargo ekonomi, konflik politik dan perbatasan, perang skala terbatas, bahkan kalau perlu sulut Perang Dunia III. Semua itu dimaksudkan untuk menguras devisa seluruh negara yang terlibat. Kalau ini terjadi, ujung-ujungnya IMF dan World Bank lagi yang menjadi pahlawan.

Amerika akan mendiktekan keinginannya kepada negara-negara lainnya. Apalagi negara-negara besar di Uni Eropa tidak bisa menggantikan posisi Amerika.

 

Indonesia Terperangkap

Indonesia, dengan populasi penduduk sebanyak 250 juta jiwa, secara ekonomis jelas merupakan pangsa pasar besar. AS sengaja melibatkan Indonesia masuk sehingga menjadi G-20 (dengan memasukkan 12 negara berkembang, red.). Ini tidak terlepas dari krisis 2008 yang dialami G-8. Untuk mengatasi krisis tersebut, mereka membutuhkan keikutsertaan negara-negara berkembang. Dengan demikian negara-negara maju memiliki pasar bagi produk dan jasa yang mereka hasilkan. Karena pusat krisis itu ada di sektor keuangan maka negara maju dalam G-20 memiliki fokus untuk memperluas ekspansi keuangan.

G-20 sejatinya mewakili kepentingan negara-negara imperialis dan kepentingan perusahaan raksasa internasional, tidak ada kepentingan kita. Kepentingan Pemerintah hanyalah utang. Indonesia akan diutangi untuk proyek-proyek besar seperti infrastruktur dan lain-lain. Namun, penguasaan infrastruktur dan sumberdaya alam itu mutlak berada di tangan mereka. Ironis.

Sayang, rejim tidak memahami bahaya keterlibatan G-20. Cara menguasai semuanya itu termasuk juga menguasai seluruh proyek infrastruktur mereka menggaet Dunia Ketiga. Supaya Dunia Ketiga ini dapat membeli proyek-proyek mereka, mereka memberi utang kepada negara Dunia Ketiga.

Kita perlu sadar diri, sadar posisi, mengingat potensi sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan Indonesia menyumbangkan 14,43% PDB. Indonesia adalah negara kepulauan tropis yang selalu disinari matahari sepanjang tahun. Dengan tanahnya yang subur seharusnya sektor ini mampu menyumbangkan paling sedikit 20% PDB. Anehnya malah terbalik. Indonesia malah impor 29 komoditas pangan. Lebih aneh lagi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia sampai impor garam dari Australia, India, Selandia Baru, Jerman, Denmark.

Aneh tapi nyata. Inilah daftar produk impor, nilai, volume dan negara asal tahun 2013 lalu:

  1. Beras. Nilai impor sampai Agustus: US$ 156,332 juta. Volume impor sampai Agustus: 302,71 juta kg. Negara asal: Vietnam, Thailand, Pakistan, India, Myanmar, dan lainnya.
  2. Jagung. Nilai impor sampai Agustus: US$ 544,189 juta. Volume impor sampai Agustus: 1,80 miliar kg. Negara asal: India, Argentina, Brazil, Thailand, Paraguay dan lainnya.
  3. Kedelai. Nilai impor sampai Agustus: US$ 735,437 juta. Volume impor sampai Agustus: 1,19 miliar kg. Negara asal: Amerika Serikat, Argentina, Malaysia, Paraguay, Kanada dan lainnya.
  4. Biji Gandum. Nilai impor sampai Agustus: US$ 1,66 miliar. Volume impor sampai Agustus: 4,43 miliar kg. Negara asal: Australia, Kanada, India, Amerika Serikat, Singapura dan lainnya.
  5. Tepung Terigu. Nilai impor sampai Agustus: US$ 45,29 juta. Volume impor sampai Agustus: 104,21 juta kg. Negara asal: Srilanka, India, Turki, Ukraina, Jepang dan lainnya.
  6. Gula Pasir. Nilai impor sampai Agustus: US$ 31,11 juta. Volume impor sampai. Agustus: 52,45 juta kg. Negara asal: Thailand, Malaysia, Australia, Korea Selatan, Selandia Baru dan lainnya.
  7. Gula Tebu. Nilai impor sampai Agustus: US$ 1,16 miliar. Volume impor sampai Agustus: 2,21 miliar kg. Negara asal: Thailand, Brazil, Australia, El Savador, Afrika Selatan dan lainnya.
  8. Daging Sejenis Lembu. Nilai impor sampai Agustus: US$ 121,14 juta. Volume impor sampai Agustus: 25,21 juta kg. Negara asal: Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Singapura.
  9. Daging Jenis Lembu. Nilai impor sampai Agustus: US$ 192,56 juta. Volume impor sampai Agustus: 72,54 juta kg. Negara asal: Australia.
  10. Daging Ayam. Nilai impor sampai Agustus: US$ 30,26 ribu. Volume impor sampai Agustus: 10,83 ribu kg. Negara asal: Malaysia.
  11. Garam. Nilai impor sampai Agustus: US$ 59,51 juta. Volume impor sampai Agustus: 1,29 miliar kg. Negara asal: Australia, India, Selandia Baru, Jerman, Denmark, lainnya.
  12. Mentega. Nilai impor sampai Agustus: US$ 60,09 juta. Volume impor sampai Agustus: 13,51 juta kg. Negara asal: Selandia Baru, Belgia, Australia, Perancis, Belanda dan lainnya.
  13. Minyak Goreng. Nilai impor sampai Agustus: US$ 45,55 juta. Volume impor sampai Agustus: 48,01 juta kg. Negara asal: Malaysia, India, Vietnam, Thailand, dan lainnya.
  14. Susu. Nilai impor sampai Agustus: US$ 530,47 juta. Volume impor sampai Agustus: 139,68 juta kg. Negara asal: Selandia Baru, Amerika Serikat, Australia, Belgia, Jerman dan lainnya.
  15. Bawang Merah. Nilai impor sampai Agustus: US$ 32,00 juta. Volume impor sampai Agustus: 70,95 juta kg. Negara asal: India, Thailand, Vietnam, Filipina, Cina dan lainnya.
  16. Bawang Putih. Nilai impor sampai Agustus: US$ 272,47 juta. Volume impor sampai Agustus: 332,88 juta kg. Negara asal: Cina, India, Vietnam.
  17. Kelapa. Nilai impor sampai Agustus: US$ 698,49 ribu. Volume impor sampai Agustus: 672,70 ribu kg. Negara asal: Thailand, Filipina, Singapura, Vietnam.
  18. Kelapa Sawit. Nilai impor sampai Agustus: US$ 1,87 juta. Volume impor sampai Agustus: 3,25 juta kg. Negara asal: Malaysia, Papua Nugini, Virgin Island.
  19. Lada. Nilai impor sampai Agustus: US$ 2,38 juta. Volume impor sampai Agustus: 224,76 ribu kg. Negara asal: Vietnam, Malaysia, Belanda, Amerika Serikat dan lainnya.
  20. Teh. Nilai impor sampai Agustus: US$ 20,66 juta. Volume impor sampai Agustus: 14,58 juta kg. Negara asal: Vietnam, Kenya, India, Iran, Srilanka dan lainnya.
  21. Kopi. Nilai impor sampai Agustus: US$ 33,71 juta. Volume impor sampai Agustus: 14,03 juta kg. Negara asal: Vietnam, Brazil, Italia, Amerika Serikat dan lainnya.
  22. Cengkeh. Nilai impor sampai Agustus: US$ 2,79 juta. Volume impor sampai Agustus: 262,30 ribu kg. Negara asal: Madagaskar, Mauritius, Singapura, Brazil, Comoros.
  23. Kakao. Nilai impor sampai Agustus: US$ 48,52 juta. Volume impor sampai Agustus: 19,51 juta kg. Negara asal: Ghana, Pantai Gading, Papua Nugini, Kamerun, Ekuador dan lainnya.
  24. Cabai (segar). Nilai impor sampai Agustus : US$ 360,08 ribu. Volume impor sampai Agustus: 281,93 ribu kg. Negara asal : Vietnam, India.
  25. Cabai (kering-tumbuk). Nilai impor sampai Agustus: US$ 15,00 juta. Volume impor sampai Agustus: 12,26 juta kg. Negara asal: India, Cina, Jerman, Malaysia, Spanyol dan lainnya.
  26. Cabai (awet sementara). Nilai impor sampai Agustus: US$ 1,56 juta. Volume impor sampai Agustus: 1,64 juta kg. Negara asal: Thailand, Cina, Malaysia.
  27. Tembakau. Nilai impor sampai Agustus: US$ 371,09 juta. Volume impor sampai Agustus: 72,98 juta kg. Negara asal: Cina, Turki, Brazil, Amerika Serikat, Filipina dan lainnya.
  28. Ubi Kayu. Nilai impor sampai Agustus: US$ 38,38 ribu. Volume impor sampai Agustus: 100,80 ribu kg. Negara asal: Thailand.
  29. Kentang. Nilai impor sampai Agustus: US$ 18,18 juta. Volume impor sampai Agustus: 27,39 juta kg. Negara asal: Australia, Kanada, Mesir, Cina, Inggris.

 

Kaya tapi Miskin

Indonesia juga kaya akan sumberdaya alam mineral dan energi. Indonesia adalah pemasok sumberdaya alam terbesar dunia. Sektor ini masih menjadi penyumbang terbesar PDB, yakni 35%. Dengan kebijakan baru Pemerintah Indonesia yang melarang semua ekspor biji mineral mentah sebagai upaya meningkatkan dan mengembang-kan pengolahan domestik diharapkan mampu meningkatkan pendapatan negara jauh lebih besar lagi.

Kebijakan Pemerintah ini ternyata berdampak luar biasa terhadap industri dunia. Sebagai contoh, penghentian ekspor biji nikel mentah ternyata memicu guncangan besar dalam industri nikel global, terutama bagi pabrik-pabrik baja stainless yang membuat semua barang mulai dari peralatan dapur hingga mobil dan bangunan.

Bayangkan, kita masih kaya akan sumberdaya mineral lain seperti biji besi, emas, perak, mangan, bauksit, timah, tembaga, timbal, alumunium, seng, dan masih banyak lagi. Sayang, kebijakan Pemerintah tersebut tidak tegas. SBY saat itu masih melonggarkan kebijakan bagi Freeport-McMoRan dan Newmont Mining Corp dengan membolehkan ekspor tembaga, biji besi, timbal dan seng yang terkonsentrasi sampai 2017. Padahal keduanya memproduksi 97 persen tembaga Indonesia.

Laporan Badan Pusat Statisitik Indonesia (BPS) maupun prediksi lembaga-lembaga keuangan internasional mutakhir menyebutkan bahwa PDB Indonesia menembus lebih dari Rp 10.000 trilun. Artinya, Indonesia telah menjadi negara kaya dalam deretan 20 negara terkaya di dunia. Komposisi utang luar negeri Indonesia terakhir pun—baik Pemerintah maupun swasta yang berkisar Rp 2.000 triliun atau 20% dari PDB—masih aman dan wajar bila dibandingkan dengan negara lain seperti: Thailand (40%), Malaysia (50%), India (60%), Brazil (70%), Singapura (100%). Amerika Serikat (AS) memiliki utang Rp 170.000 triliun (100%) dan Jepang Rp 115.000 trilyun (200%) dari PDB. Sebagai catatan, AS adalah negara yang memiliki hutang terbesar di dunia.

Yang menjadi persoalan sekarang, apakah rakyat Indonesia tahu bahwa kita sudah menjadi negara kaya. Dengan kata lain, rakyat Indonesia sudah menjadi orang kaya dengan GDP perkapita US$ 4.000,- pertahun. Penulis yakin pasti sebagian besar rakyat Indonesia tidak tahu, bahkan termasuk wakil-wakil rakyat kita juga mungkin tidak tahu. Mengapa? Karena pendapatan negara memang hanya dinikmati oleh segelintir orang, yakni sekitar 43.000 orang kaya atau 0,02% populasi penduduk miskin yang setara dengan 25% PDB. Ditambah 40 orang Indonesia terkaya di dunia yang setara dengan 10% PDB. Jumlah mereka ini mewakili 35% PDB Indonesia atau setara dengan 87,5 juta kekayaan rakyat miskin Indonesia. Inilah paradoks Indonesia; negara kaya tapi rakyatnya miskin.

Pada G-20 negara-negara berkembang tetap menjadi subordinasi negara-negara maju. Mereka mengikuti apa saja yang diinginkan oleh Barat sebagaimana mereka dilarang melakukan proteksionisme dan harus meliberalisasi perekonomian domestik. Padahal negara-negara maju melakukan proteksionisme terselubung terhadap lembaga keuangan dan korporasi raksasa mereka dengan dana triliunan dolar.

Sekali lagi, skenario G-20 untuk Indonesia masih sama, negara dijebak hutang, rakyat diberi kredit konsumsi. Ini sama dengan menjerat kita pada sisi keuangan global, menyerahkan kekayaan alam kita pada pusat keuangan global, menyerahkan proyek-proyek infrastruktur yang menjadi jalur distribusi kebutuhan rakyat kepada pusat imperialisme keuangan. Jelas berbahaya.

 

Introspeksi

Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan kedudukan kepada umat ini dengan kedudukan yang agung, melalui penerapan syariah Islam yang agung ini. Dengan itu kita dulu pernah menjadi umat terbaik.

Persoalannya sekarang, kita harus mulai melangkah untuk memperbaiki yang mendasar dengan mengambil cara padang Islam. Ini karena Islam memiliki sistem ekonomi yang khas dan aplikatif dan hanya satu-satunya cara yang dapat dipilih. Indonesia patut menjadi pemimpin bagi Dunia Islam yang berani melepaskan keterikatan dengan ideologi Kapitalisme dan menghidupkan kembali sistem Khilafah yang pernah memimpin dunia. [Umar Syarifudin; Syabab HTI – Kediri]

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*