Kebobobrokan sistem Kapitalisme semakin nyata. Pelan tapi pasti sistem ekonomi kapitalis sedang menuju kehancurannnya. Saat ini dunia sedang menuju ke jurang krisis yang kemungkian lebih buruk dari “Great Depression” pada era tahun 1930-an. Angka kemiskinan penduduk dunia terus bertambah. Di Indonesia berdasarkan data Biro Pusat Statistik Pada Maret 2016, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran perkapita perbulan di bawah Garis Kemiskinan) mencapai 28,01 juta orang (10,86 persen). Namun, kalau berdasarkan data penerimaan bantuan iuran BPJS atau Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi peserta miskin Penerima Bantuan Iuran (PBI) tahun 2016 meningkat dari 86,4 juta jiwa menjadi 92,4 juta jiwa.
Kegagalan Kapitalisme dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat sebenarnya wajar karena kesalahan bukan hanya terkait dengan problem cabangnya, tetapi dari kesalahan yang bersifat radikal atau fundamental. Di bawah ini adalah kekeliruan-kekeliruan mendasar sistem ekonomi kapitalis.
- Memandang kelangkaan sebagai persoalan utama ekonomi.
Berpangkal dari pandangan bahwa problem dasar ekonomi adalah kelangkaan, maka Kapitalisme menjadikan pertumbuhan ekonomi atau produksi kekayaan sebagai fokus perhatian. Atas dasar inilah, sistem ekonomi kapitalis hanya mengarah pada satu tujuan, yaitu meningkatkan kekayaan negara secara total.
Melimpahnya produksi dan stok barang tidak lagi menjadi alat untuk mencapai tujuan ekonomi yang lebih luhur, yaitu kesejahteraan individu rakyat, tetapi hanya wujud dari keserakahan para kapitalis dalam mengumpulkan atau menumpuk-numpuk harta kekayaan. Akibatnya, terjadi ketimpangan yang luar biasa di tengah-tengah masyarakat. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik, Produk Domestik Bruto Indonesia tahun 2015 adalah sebesar Rp 11.540,80 triliun. Jika dibagi dengan jumlah penduduk maka dihasilkan angka PDB perkapita sebesar Rp 45, 2 juta. Artinya, pendapatan perorang penduduk Indonesia sebesar Rp 45, 2 juta. Karena itu dari sisi PDB Indonesia masuk di peringkat 10 sebagai produsen barang dan jasa terbesar di dunia.
Apakah besarnya PDB suatu negara mencerminkan tingkat kesejahteraan rakyatnya? Tentu tidak, karena Produk Domestik Bruto hanya menggambarkan pendapatan yang bersifat rata-rata. PDB hanya menghitung nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara dalam satu periode dan bukan mengukur tingkat kesejahteraannya. Indikator tersebut tidak ‘peduli’ siapa yang menghasilkan nilai tersebut, apakah segelintir pengusaha raksasa atau jutaan rakyat jelata. Indikator itu juga tidak menjelaskan bagaimana distribusi dari hasil kekayaan tersebut di antara penduduk. Ia juga tidak mempersoalkan bagaimana cara dan dampak dari proses produksi kekayaan tersebut, apakah dengan menjarah hutan dan mencemari lingkungan atau berbagai perdagangan minuman keras atau transaksi finansial yang spekulatif.
Karena itu problem ekonomi yang sebenarnya bukanlah kelangkaan atau pertumbuhan ekonomi. Dalam pandangan Islam, problem utama ekonomi adalah bagaimana setiap individu bisa memenuhi kebutuhan pokok barang (sandang, pangan dan papan) maupun kebutuhan pokok jasa (pendidikan, kesehatan dan keamanan). Problem ini hanya bisa diselesaikan dengan distribusi sumberdaya alam secara adil dan merata.
- Menolak peran negara.
Sistem ekonomi kapitalis menolak peran negara dalam perekonomian. Prinsip ini lahir dari konsep laizes faire, yang artinya: biarkan semuanya berjalan sendiri tanpa ada campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Pengagas teori ini, yaitu Adam Smith, berpendapat perlunya pasar bergerak sendiri melalui mekanisme harga. Tanpa peran negara akan muncul secara otomatis peranan “si tangan gaib” dalam menyelesaikan problem ekonomi atau yang dikenal dengan teori “invisible hand”. Teori ini, dalam perkembangannya, menjadi kerangka dasar atas terciptanya mekanisme sistem pasar bebas.
Namun, pada awal kemunculannya, teori invisible hand atau teori mekanisme pasar tidak dapat memecahkan problem ekonomi terutama masalah keadilan dalam distribusi. Faktanya, hanya sebagian kecil orang yang dapat mempengaruhi dan menikmati barang/jasa serta sumber-sumber ekonomi, sedangkan sebagian besar orang lainya tidak dapat.
Penerapan teori tersebut di negara-negara Eropa dan Amerika serta negara-negara berkembang telah menyebabkan kesenjangan luar biasa. Prinsip mekanisme pasar ini telah menyebabkan monopoli sumberdaya alam sehingga swasta atau sebagian kecil “para kapitalis” menguasai perekonomian suatu negara. Penguasaan swasta atas sumberdaya alam melahirkan pasar monopoli yang berorientasi laba sehingga menyebabkan harga-harga menjadi tinggi dan hasilnya hanya dinikmati oleh para kapitalis.
Padahal dalam prinsip ekonomi ada barang-barang tertentu yang masuk kategori barang “inelastis sempurna” yang harganya tidak berpengaruh terhadap permintaan seperti energi, bahan pokok, kesehatan dan lain-lain. Artinya, berapapun harganya akan dibeli selama masyarakat mampu. Kalau ‘barang inelastis sempurna “ ini diserahkan kepada mekanisme pasar atau diserahkan penguasaannya kepada individu atau swasta, mereka dengan prinsip profit orientied-nya akan menetapkan harga yang setinggi-tingginya. Inilah yang terjadi saat ini, yaitu ketika BBM, biaya pendidikan dan kesehatan diserahkan kepada swasta. Akibatnya, masyarakat harus membeli semua itu dengan harga tinggi.
Karena itulah dalam Islam negara wajib berperan langsung dalam kegiatan ekonomi dengan mengelola harta milik negera seperti fa’i, ghanîmah, kharaj, seperlima rikaz, 10% dari tanah ‘usyriyah, jizyah, waris yang tidak habis dibagi dan harta orang murtad ataupun harta milik umum atau publik yang wajib dikelola oleh negara seperti: air, barang tambang (migas, batubara, emas dan perak), hutan, hasil laut dan lain-lain. Semua kebijakan ekonomi yang menyangkut penerimaan dari berbagai sumber tersebut dan pengeluarannya untuk kemaslahatan rakyat diperankan secara terpusat oleh lembaga negara yang dikenal dengan sebutan Baitul Mal.
- Melakukan swastanisasi atau privatisasi milik publik.
Konsekuensi berikutnya dari prinsip menolak peran negara secara langsung dalam perekonomian adalah negara harus menyerahkan pengelolaan sumberdaya alam milik publik atau pelayanan kebutuhan publik seperti kesehatan, pendidikan dan transportasi kepada swasta; artinya pengelolaan berbasis swasta (corporate based management).
Kebijakan swastanisai atau privatisasi pengelolaan sumberdaya alam dan pelayanan kebutuhan publik berbasis swasta sangat membahayakan kepentingan rakyat dan negara. Dalam konteks Indonesia, di antara bahayanya: Pertama, industri pertambangan dikuasai asing, antara lain minyak bumi sebesar 85 persen, gas alam 85 persen, batubara 85 persen, emas 90 persen, tembaga 80 persen, nikel 79 persen, timah 75 persen dan mutiara 90 persen. Di sektor perkebunan, asing kopra 80 persen, ikan 75 persen, kakao 68 persen, garam 60 persen, dan kelapa sawit 55 persen.
Kedua, turunnya penerimaan negara dari pengelolaan SDA sehingga pendapatan negara bertumpu pada pajak. Tahun 1988/1989 ketika liberalisasi sumberdaya alam masih dibatasi, pemasukan negara yang bersumber dari SDA atau non pajak masih sekitar 50%. Namun, sejak adanya liberalisasi SDA, mulai tahun 2002 sampai sekarang rata-rata pendapatan negara dari nonpajak sekitar 20%. Sisanya, yaitu 80% pendapatan negara didapatkan dari pajak dan utang.
Ketiga, dampak berikutnya yang harus ditanggung oleh rakyat adalah mahalnya BBM, biaya pendidikan, dan biaya kesehatan; sementara pengangguran makin tinggi sehingga angka kemiskinan juga makin meningkat.
Karena itulah dalam pandangan Islam barang yang secara ekonomi masuk kategori inelastis sempurna atau masuk kategori harta milik umum seperti air, energi dan barang tambang, pengelolaannya harus menggunakan paradigma pengelolaan sumberdaya alam berbasis negara atau (state based management); haram diserahkan kepada swasta, apalagi asing.
- Menghalalkan segala cara dalam pengembangan harta.
Sistem ekonomi kapitalis, dalam pengembangan kekayaan, tidak pernah memperhatikan halal-haram. Seorang yang berpikiran kapitalis dengan mudahnya mengembangan harta melalui perjudian, suap-menyuap, menipu dan menimbun harta utnuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Dari aspek lain, akibat mementingkan produksi atas segala-galanya itu, Kapitalisme merusak ekologi yang seharusnya dilestarikan. Polusi udara, kebakaran hutan, polusi sungai dan lautan, sesungguhnya berasal dari semangat Kapitalisme yang bernafsu menjalankan produksi tanpa batas.
- Menjadikan ekonomi non-riil, bunga, pajak dan utang sebagai pilar-pilar ekonomi.
Dalam sistem ekonomi kapitalis sektor ekonomi tidak hanya terbatas pada sektor riil, tetapi juga sektor ekonomi non-riil. Perkembangan sektor non-riil ini merupakan pelebaran fungsi uang yang tadinya hanya sebagai alat tukar melebar menjadi komoditas yang diperdagangakan. Sektor non-riil ini dikembang oleh negara-negara kapitalis untuk melakukan investasi secara tidak langsung, yaitu melalui pasar modal, dengan membeli saham-saham yang ada di pasar modal. Tujuan utama mereka sebenarnya bukan untuk memiliki atau mengelola perusahaan atau untuk memperoleh laba melalui deviden, tetapi kebanyakan adalah untuk memperoleh laba dalam bentuk capital gain yang besar secara cepat karena ada lonjakan harga saham yang telah mereka beli.
Adapun suku bunga bagaikan nyawa yang tidak bisa dilepaskan dari tubuh ekonomi kapitalis. Karena itu dalam pandangan kaum kapitalis, aneh dan mustahil kalau ekonomi berjalan tanpa bunga.
Padahal bunga bank (riba) dan berkembangnya sektor non-riil, yaitu bursa efek dan perangkat pendukungnya, adalah sebab utama munculnya krisis finansial. Pasalnya, bunga mengakibatkan keputusan investasi tidak terkait langsung dengan sektor riil, baik barang maupun jasa, sehingga mengakibatkan pertumbuhan uang lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan sektor rill. Pertumbuhan jumlah uang yang melebihi pertumbuhan sektor riil inilah yang meyebabkan terjadinya inflasi karena mengakibatkan daya beli uang selalu menurun.
Pilar lainnya dalam sistem ekonomi kapitalis adalah pajak dan utang. Dalam sistem ekonomi kapitalis pajak memiliki fungsi budgeter, yaitu sumber pendapatan utama negara. Dalam APBN 2016 negeri ini, sekitar 80 % pendapatan negara bersumber dari pajak. Pajak juga memiliki fungsi regulator, yaitu untuk mengatur pelaksanaan kebijakan di bidang ekonomi dan sosial. Untuk mengoptimalikan penerimaan pajak, saat ini Pemerintah terus menambah obyek pajak maupun subyek pajak. Saat ini menurut survey Bank Dunia ada 52 jenis pajak yang ditetapkan di Indonesia. Anehnya, untuk mereka yang masih mengemplang pajak, terutama para pengusaha, Pemerintah mengeluarkan kebijakan tax amnesty atau pengampunan pajak.
Dalam Islam pajak termasuk juga tax amnesty yang sekarang sedang digugat di Mahkamah Konstitusi merupakan bentuk kezaliman Pemerintah. Pasalnya, dalam Islam haram pemerintah menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan APBN sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah saw., “Tidak akan masuk surga para penarik cukai/pajak.”
Adapun utang digunakan oleh negara-negara kapitalis sebagai alat penjajahan dengan kedok membantu dan membangun perekonomian negara-negara bekas jajahannya. Utang Indonesia saat ini sudah masuk pada jeratan utang atau debt traft. Akibatnya, Pemerintah saat ini menambah utang untuk membayar utang, bahkan bunga saja alokasi pada APBN 2016 sebesar Rp 180 trilun dan naik menjadi Rp 210 triliun pada RAPBN 2017. Inilah sebenarnya yang membebani APBN Indonesia bukan subsidi yang selama ini sering digembar-gemborkan. [MAN/LM]