Karena Menganjurkan Khilafah, Dr. Iftikhar Disiksa Rezim Pakistan
Sudah hampir empat bulan sejak Dr. Iftikhar diculik rezim Pakistan, istri sang dokter pun menulis surat terbuka. “Saya memulai surat ini dengan menyampaikan salam terhangat dan tulus kepada Anda yang telah meluangkan waktu dan melakukan segala upaya untuk mengangkat kasus suami saya, Dr. Iftikhar. Semoga Allah SWT membalas kebaikan Anda semua dan semoga semua orang yang telah menolak penindasan ini, terus melanjutkan dan meningkatkan upayanya untuk melakukan hal ini,” ungkapnya. Senin (5/9/2016).
Iftikhar adalah seorang dokter yang bekerja baik sebagai pencatat obat-obatan orang dewasa maupun sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi fakultas kedokteran. “Dia adalah orang yang memiliki jiwa yang lembut dan tidak suka berdebat atau bersengketa, hingga dia tidak menaikkan suaranya bahkan dalam adu argumentasi yang memanas,” ungkap sang istri.
Ketiga anaknya terpengaruh secara kejiwaan sejak dia dipenjara. Anaknya yang tertua, seorang laki-laki, bernama Muaaz, sering terbangun di malam hari, dan memanggil ayahnya. Putrinya sering berhenti makan dan saat ini menangis terus-menerus selama tiga hari, dan meminta untuk mengunjungi ayahnya. “Anak bungsu kami yang lahir setelah suami saya ditahan belum begitu merasakan cinta dan kasih sayang seorang ayah. Anak-anak terus bertanya kapan ayah mereka bisa pulang ke rumah,” beber sang istri.
Pada tanggal 26 Mei 2015, para preman rezim menangkap Iftikhar di luar Rumah Sakit Ghurki di Lahore saat dia sedang berobat untuk penyakit ususnya yang kronis, kolitis ulserativa. Mereka menangkap Iftikhar meskipun penyakitnya membuat tubuhnya sangat lemah hingga dia merasakan rasa sakit hingga ke tulang.
Mereka menangkap, menginterogasi dan mengancam dan kemudian memindahkan dia ke penjara. Padahal dia sedang dalam kondisi kesehatan yang buruk. Mereka kemudian membuat dia terkapar hingga tidak mendapatkan makanan dan obat-obatan yang diperlukan. Ini merupakan tindakan yang tidak berperasaan, dengan mengabaikan hak-haknya sebagai manusia yang Allah SWT telah berikan.
Kondisi Iftikhar telihat memburuk hingga tidak ada pilihan lain kecuali dilakukan operasi dan pengadilan memutuskan untuk memindahkan dia ke rumah sakit. Meskipun hal ini telah menjadi hal yang mendesak, rezim melarang dan menunda-nunda masalah ini.
Penolakan selama berbulan-bulan untuk mendapatkan operasi memaksa dia untuk menggunakan steroid hingga melemahkan tulang-tulangnya dan menyebabkan katarak mata hingga dia hanya dapat menggunakan 20% penglihatannya. Bahkan setelah operasi berlangsung, Iftikhar tetap tidak sadar di Unit Perawatan Intensif. Para penindas berhati batu itu tetap bersikeras untuk memborgol dia secepat mungkin! Para preman rezim itu tetap menghalang-halangi ketika saatnya bagi Dr. Iftikar untuk mendapatkan pengobatan hingga saat ini.
Setelah dioperasi dia mendapatkan pendarahan dalam dan kemudian mengalami luka karena infeksi. Sekarang, dia merasakan demam yang terus-menerus dan merasa mual hingga dia tidak bisa menelan makanan hingga perlu dikeluarkan nanah dari dalam tubuhnya.
Tidak ada keraguan atas permusuhan rezim terhadap Islam, yang terwujud pada perlakuan kejam terhadap seorang pria yang telah mengorbankan semua yang dia miliki demi Tuhan-Nya, dengan meninggikan kata-kata kebenaran untuk mengembalikan Islam dalam kekuasaan dan sebagai sebuah negara. Hal ini karena Dr. Iftikhar adalah seorang penganjur Khilafah hingga tidak ada pengadilan yang memberikan bantuan apapun kepada dia. “Saya berdoa kepada Allah SWT semoga Dr. Iftikhar dibebaskan dari penindasan dan semoga dia bisa berdiri pada Hari Kiamat dan Tuhan-Nya merasa ridha kepada dia. Aamin,” pungkas sang istri.
Presiden Kirgistan Lecehkan Busana Muslimah
Seperti dikutip BBC pada 13 Agustus 2016, Presiden Kirgistan Almazbek Atambayev mengatakan, “Kaum perempuan yang memakai rok mini tidak menjadi pelaku bom bunuh diri! Teroris adalah orang-orang gila. Pakaian kadang juga dapat mengubah pikiran seseorang.”
Menurut Divisi Muslimah Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir, komentarnya yang arogan adalah serangannya yang terbaru dalam sebuah debat nasional tentang identitas budaya. Dia mengatakan bahwa pakaian Muslimah bertentangan dengan budaya nasional Kirgistan.
Pernyataannya itu juga menyusul kampanye dengan spanduk di jalan-jalan yang disponsori pemerintah selama beberapa pekan yang menghina pakaian Muslimah termasuk hijab dan niqab. Poster-poster menyerang yang menunjukkan kaum perempuan Kirgistan berpakaian nasional di satu sisi dan kaum perempuan dalam pakaian muslim pada sisi yang lain plus tulisan di bawahnya, “Kasihan orang-orang ini! Mau kemana kita?”
“Kami mengatakan kepada Atambayev, Bukan pakaian Muslimah yang bertentangan dengan identitas Kirgistan yang rakyatnya 80 persen Muslim, yang keyakinan, budaya, dan warisannya berasal dari Islam. Namun, pemimpin yang sekular seperti Anda dan nilai-nilai sekuler luar negeri yang terinspirasi Baratlah yang Anda paksakan kepada penduduk yang bertentangan dengan Islam – bahkan jika perlu dengan melakukan penyiksaan dan eksekusi!” tegas Divisi Muslimah Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir.
Hizbut Tahrir juga menyatakan, bukanlah pakaian Muslimah yang menimbulkan ancaman bagi keamanan dalam negeri dan internasional, melainkan pemerintahan penjajah yang mengenakan ‘pakaian demokrasi’ yang menyerbu, menjarah dan mengebom negeri-negeri Islam dan membantai ratusan ribu orang tidak berdosa untuk kepentingan nasional yang egois; “dan yang mendukung para diktator seperti Anda yang melakukan penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan sesuka hati terhadap siapa saja yang menentang aturan otoriter Anda yang menindas.”
Inilah Jatidiri Karimov, Sang Menjagal Andijan
Setelah terserang penyakit stroke, Presiden Uzbekistan Islam Karimov (78 tahun) tewas pada hari Jumat 2 September 2016. Keesokan harinya dia dikuburkan di Samarkand, kota kelahirannya. Dalam lembaran hidupnya, Karimov berlumuran ribuan kejahatan terhadap Islam dan kaum Muslim. “Seperti pembunuhan, pemerkosaan, pemenjaraan, penyiksaan, penggusuran dan pengusiran, penyerangan terhadap agama Islam, serta penindasan atas negara dan rakyat,” ungkap aktivis Hizbut Tahrir, Abdullah Mahmud, seperti dilansir situs Hizb-ut-tahrir.info, Ahad (4/9/2016).
Islam Abduganiyevich Karimov atau Yitzhak Mirzakandov dilahirkan pada bulan Januari 1938 di Samarkand. Ia diadopsi oleh panti asuhan pemerintah di kota Samarkand.
Utsman Haq Nazerov, salah seorang penulis Uzbekistan mengatakan: Islam Karimov dilahirkan ketika Abdulgani menghabiskan tahun ketiga di penjara. Ia menambahkan bahwa semua penduduk Yahudi pinggiran Kota Samarkand tahu bahwa anak terakhir dalam keluarga Karimov adalah putra Yitzhak Mirzakandov, salah satu intelektual Yahudi terbesar di Samarkand pada saat itu.
Nama aslinya (informal) adalah Yitzhak, bukan Islam. Hubungannya dengan Yahudi tidak berhenti pada asal-usulnya saja. Bahkan istri keduanya, Tatyana Akbarovna Karimova, yang dia nikahi pada tahun 1966, ayahnya adalah seorang Tajik dan ibunya Yahudi Tajikistan. Tatyana telah membantu Karimov melalui keluarga Yahudinya di Komite Sentral Partai Komunis di Uni Soviet pada tahun 1989 hingga ia diangkat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis di Republik Uzbekistan, yang berafiliasi dengan Uni Soviet pada saat itu.
Tahun-tahun awal ia memerintah Uzbekistan, semua kader di sekelilingnya murni orang-orang Yahudi (sumber laporan yang dibuat oleh Jaringan dan Forum Kritikus Media, 10/05/ 2015).
Steve Swerdlow, seorang peneliti di Departemen Asia Tengah pada Human Rights Watch mengatakan: “Islam Karimov meninggalkan warisan penindasan brutal dari seperempat abad berkuasa. Karimov memerintah dengan teror dan mendirikan sistem yang identik dengan pelanggaran terburuk terhadap Hak Asasi Manusia: penyiksaan, penghilangan, kerja paksa dan menghancurkan secara sistematis adanya oposisi (perbedaan pendapat). Dengan satu insiden saja dalam 27 tahun terakhir, Karimov disebut penjagal Andijan.”
Karimov telah tewas, sementara ia telah membunuh banyak kaum Muslim dan aktivis Hizbut Tahrir yang tak terhitung jumlahnya.
Kudeta Terbesar itu Terjadi pada 3 Maret 1924
Terkait isu kudeta di Turki, Aktivis Hizbut Tahrir Turki Mahmud Kar menyatakan kudeta terbesar terjadi pada 3 Maret 1924. “Ya, bahkan kudeta ini bukan hanya terbesar di Turki, namun juga di seluruh dunia Islam,” ungkapnya dalam wawancara eksklusif dengan media massa Turki Islah Haber, Selasa (2/8/2016).
Mahmud mengungkapkan, Inggris yang berada di balik kudeta itu, dan Inggris berhasil menghancurkan Khilafah setelah Konferensi Lausanne. Sama seperti yang dilakukan kelompok kecil junta militer sekular Kemalis pada 15 Juli, sekelompok kecil diam-diam melakukan kudeta dengan senjata, tekanan dan tipuan terhadap umat, serta menghancurkan Khilafah. Sejumlah reformasi yang diperkenalkan oleh Partai Republik tidak diterapkan dengan persetujuan dari umat Islam, melainkan dengan kekuatan. “Sejak hari itu sampai sekarang, kita dapat mengatakan bahwa mereka yang berada di balik kudeta adalah kekuatan imperialis,” pungkasnya.
HT Belanda Ingatkan Wilders Jangan Mimpi Kalahkan al-Quran
Partai Kebebasan (PVV) yang dipimpin oleh Geert Wilders mempublikasikan sebuah dokumen yang berisi “Draft Program Partai Untuk Pemilihan 2017-2021”. Dokumen tersebut di antaranya mengumumkan usahanya untuk mencegah masuknya para pengungsi dari negara-negara Muslim, melarang jilbab di kantor publik, menutup semua masjid dan sekolah Islam, dan melarang al-Quran.
Terkait hal itu, Hizbut Tahrir Belanda Ingatkan Wilders dan partainya, “Jangan bermimpi kalahkan al-Quran, belajarlah dari pengalaman Prancis,” ungkap Hizbut Tahrir Belanda seperti diberitakan Hizb-ut-tahrir.info, Sabtu (27/8/2016).
Sejarah membuktikan, imperialis Prancis—saat menduduki Aljazair—melakukan percobaan operasi dalam rangka penghapusan al-Quran dari hati para pemuda Aljazair. Untuk itu, Prancis mengambil sepuluh gadis Muslim Aljazair. Lalu Pemerintah Prancis memasukkan mereka ke sekolah Prancis, memakaikan mereka pakaian Prancis, serta mengajari mereka budaya dan bahasa Prancis, sehingga membuat mereka sama persis seperti orang Perancis asli.
Setelah sepuluh tahun upaya tersebut, Pemerintah Prancis menyiapkan pesta kelulusan mereka dengan meriah dan indah. Para menteri, kaum intelektual dan wartawan turut diundang untuk hadir. Ketika pesta dimulai, semua orang terkejut melihat para gadis Aljazair yang memasuki pesta dengan pakaian Islam mereka. Hal itu memicu pertanyaan sinis dari para wartawan Prancis: “Jadi apa yang telah dilakukan Prancis di Aljazair setelah 128 tahun berlalu!?”
Robert Lacoste, Menteri imperialis Prancis pada waktu itu menjawab, “Apa yang bisa saya lakukan jika al-Quran jauh lebih kuat daripada Prancis?”
Untuk itu, hari ini Hizbut Tahrir Belanda katakana, “Al-Quran jauh lebih kuat dari Wilders, partainya dan orang yang terbius pemikiran gilanya.” [Riza Aulia/Joy]