(Tafsir QS ‘an-Nazi’at [79]: 1-5)
وَالنَّازِعَاتِ غَرْقًا * وَالنَّاشِطَاتِ نَشْطًا * وَالسَّابِحَاتِ سَبْحًا * فَالسَّابِقَاتِ سَبْقًا * فَالْمُدَبِّرَاتِ أَمْرًا *
Demi para malaikat yang mencabut (nyawa) dengan keras; demi para malaikat yang mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut; demi para malaikat yang turun dari langit dengan cepat; demi para malaikat yang mendahului dengan kencang; dan demi para malaikat yang mengatur urusan (dunia). (QS ‘an-Nazi’at [79 ]: 1-5).
Surat ini dinamakan an-Nazi’at. Nama tersebut diambil dari salah satu kata pada ayat pertama. Selain ini juga dinamakan dengan surat as-Sâhirah.1 Nama lainnya adalah surat ath-Thâmmah.2 Surat yang terdiri dari empat puluh enam ayat ini termasuk Makkiyyah.3
Dalam surat sebelumnya, yakni surat an-Naba’ diberitakan tentang Hari Kiamat, termasuk balasan yang bakal diterima manusia ketika. Orang-orang kafir dimasukkan ke dalam neraka. Orang-orang yang bertakwa ditempatkan di dalam surga. Dalam ayat terakhirnya diberitakan tentang penyesalan orang kafir dan membayangkan seandainya dulu dia adalah debu.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Wa an-nâzi’ât gharq[an] (Demi para malaikat yang mencabut [nyawa] dengan keras). Ayat ini diawali dengan huruf wâwu al-qasam. Dengan huruf tersebut, Allah SWT bersumpah dengan menyebut an-nâzi’at sebagai al-muqsam bih. Selain an-nâzi’at, ada empat kata benda lain yang berkedudukan serupa. Menurut Imam al-Qurthubi, sumpah dengan menyebut kelima kata benda tersebut untuk menegaskan bahwa Hari Kiamat merupakan sebuah kebenaran.4
Kata an-nâzi’at merupakan bentuk ism fâ’il dari kata naza’a. Kalimat naza’a asy-syay‘a berarti jadzabahu min maqarrihi (menarik atau mencabut sesuatu dari tempat menetapnya), seperti menarik busur panah dari tempatnya.5 Adapun gharq[an], menurut ar-Raghib, berarti ar-rusûb fî al-mâ‘ wa al-balâ‘ (tenggelam dalam air dan malapetaka).6
Sebagai sebuah kata sifat, kata tersebut menyifati suatu benda. Dalam konteks ayat ini, terdapat perbedaan pendapat tentang benda yang disifati. Menurut sebagian ulama, an-nâzi’at adalah malaikat, yakni malaikat yang mencabut nyawa orang-orang kafir.7
Adapun kata gharq[am] dalam ayat ini bermakna ighrâq[an] fî al-naz’ (mendalam dalam mencabutnya), yakni mencabut hingga ujung jasadnya, dari ujung jari-jari dan kuku-kukunya.8 Menurut az-Zuhaili, malaikat tersebut mencabut nyawa dengan sangat keras dan menyakitkan.9 Ibnu Mas’ud berkata, “Malaikat mencabut nyawa orang-orang kafir dari jasadnya, dari bawah setiap rambutnya, dari bawah kuku, dan pangkal kedua kakinya, kemudian dibenamkan ke dalam tubuhnya, kemudian dicabut sehingga tiap kali akan keluar dikembalikan lagi ke jasadnya. Demikian dilakukan berulang-ulang. Inilah yang dilakukan terhadap orang-orang kafir.”10
Ada pula sebagian ulama yang menafsirkan kata tersebut sebagai sifat terhadap benda lainnya. Menurut as-Sudi, an-nâzi’ât adalah nyawa yang dibenamkan di dalam dada. Mujahid berkata, “Adalah kematian yang mencabut nyawa.”
Qatadah berkata, “Bintang-bintang yang ditarik (pindah) dari ufuk ke ufuk lainnya.”11
Akan tetapi, menurut pendapat jumhur sahabat, tâbi’in, para ulama sesudah mereka kata an-nâzi’at dalam ayat ini merupakan sifat malaikat. Demikian pula dengan kata an-nâsyithât, as-sâbihât, as-sâbiaât, dan al-mudabbirât. Semuanya merupakan sifat bagi malaikat.12
Kemudian Allah SWT berfirman: Wa an-Nâsyithât nasyth[an] (demi para malaikat yang mencabut [nyawa] dengan lemah-lembut). Kata an-nâsyithât merupakan bentuk ism al-fâ’il dari kata an-nasyth. Menurut al-Alusi, kata tersebut berarti mengeluarkan dengan lembut dan mudah. Dalam ayat ini, kata itu dinisbahkan kepada orang-orang Mukmin.13 Menurut al-Alusi, demikian pula as-sabh, yang tampak dalam gerakan yang lembut dan halus; juga dinisbahkan kepada orang-orang Mukmin.14
Menurut sebagian besar mufassir, sifat ini masih melekat pada malaikat. Ibnu Abbas berkata, “Mereka adalah para malaikat yang mencabut nyawa orang Mukmin; yang mencabut nyawa seperti halnya mencabut ikatan dari kaki unta, yakni ketika melepaskan tali darinya.”15
Kata an-nâsithâth juga disifatkan pada nyawa orang Mukmin. Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan an-nâsithât adalah nyawa orang Mukmin ketika meninggal, terlepas untuk keluar. Hal itu disebabkan karena tidak ada seorang Mukmin pun ketika menjumpai kematian kecuali diperlihatkan kepada dia surga sebelum kematian. Lalu dia melihat apa yang dijanjikan Allah SWT kepada dirinya berupa istri dari bidadari yang bermata jeli. Mereka memanggil dirinya untuk segera masuk sehingga jiwanya merasa lega untuk keluar mendatangi mereka.16
Menurut sebagian besar para ulama, an-nâsyithât juga adalah sifat bagi malaikat. Oleh karena itu, dua ayat ini menyebut tentang dua malaikat dengan sifat-sifat tersebut. An-Nâzi’ât adalah malaikat yang mencabut nyawa orang kafir dengan sangat keras dan menyakitkan, sementara an-nâsyithât adalah malaikat yang mencabut nyawa orang Mukmin dengan mudah dan lembut. Menurut al-Alusi, jika an-nâzi’at merupakan malaikat azab, maka an-nâsyithât adalah malaikat rahmah.17
Kemudian Allah SWT berfirman: Wa as-sâbihât sabh[an] (demi para malaikat yang turun dari langit dengan cepat). Kata as-sâbihât merupakan bentuk ism al-fâ’il dari kata as-sabh. Secara bahasa, kata tersebut bermakna al-murr as-sarî’ fî al-mâ‘ wa al-hawâ‘ (berlalu dengan cepat di air atau di udara).18
Menurut sebagian besar ulama, kata tersebut juga sifat bagi malaikat. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Mas’ud, Ali, Mujahid, Said bin Jubair dan Abi Shalih.19 Meskipun begitu, terdapat perbedaan mengenai malaikat yang dimaksud.
Ali ra. berkata, “Mereka adalah malaikat yang membawa ruh orang-orang Mukmin.” Al-Kalbi berkata, “Mereka adalah malaikat yang mencabut nyawa orang-orang Mukmin, seperti orang yang berenang dalam air; kadang-kadang tenggelam, dan kadang-kadang mengapung. Mereka menariknya dengan lemah lembut, perlahan dan mudah. Kemudian membiarkannya beristirahat.”20
Mujahid dan Abu Shalih berkata, “Maksudnya adalah para malaikat yang turun dari langit dengan cepat karena perintah Allah SWT, sebagaimana kuda yang gagah disebut sâbih ketika kuda tersebut berlari kencang.”21 Mujahid juga berkata, “Mereka adalah malaikat yang cepat saat naik dan turunnya.”22
Ada pula yang menafsirkan kata itu sebagai sifat selain malaikat. Mujahid dalam riwayat lainnya juga berkata, “Kematian yang cepat pada jiwa Bani Adam.”23
Kemudian Allah SWT berfirman: Fa as-sâbiqât sabq[an] (demi para malaikat yang mendahului dengan kencang). Kata as-sâbiqât juga merupakan ism al-fâ’il dari kata as-sabq. Kata tersebut berarti at-taqaddum fî as-sayr (mendahului dalam perjalanan).24
Dalam konteks ayat ini, kata tersebut merupakan sifat bagi malaikat. Demikian pendapat Ali, Masruq, Abi Shalih dan Hasan al-Bahsri.25 Ali berkata, “Mereka adalah malaikat yang mendahului setan dengan menyampaikan wahyu kepada para nabi as.”
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Mujahid dan Masruq.26 Mujahid dan Abu Ruq berkata, “Malaikat yang mendahului Bani Adam dengan kebaikan dan amal salih.”27
Kemudian Allah SWT berfirman: Fa al-mudabbirât amr[an] (dan demi para malaikat yang mengatur urusan [dunia]). Ini merupakan benda terakhir yang dijadikan sebagai al-muqsam bih. Kata al-mudabbirât merupakan bentuk ism al-fâ’il dari kata at-tadbîr. Menurut al-Asfahani, pengertian at-tadbîr adalah at-tafakkur fî dubur al-umûr (merenungkan kesudahan urusan).28
Dalam konteks ayat ini, sifat tersebut dilekatkan kepada malaikat. Menurut al-Qusyairi bahwa para ulama sepakat bahwa yang dimaksud ayat ini adalah malaikat.29 Menurut Ibnu Katsir, dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahli tafsir kecuali Ibnu Jarir yang tidak memastikannya. Ibnu Jarir hanya meriwayatkan pendapat para ahli tafsir yang menafsirkanya sebagai malaikat, namun tidak menetapkan dan tidak menafikan.30
Dalam tafsirnya, Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Maksudnya adalah para malaikat yang mengatur apa yang diperintahkan Allah SWT.” Ini juga merupakan pendapat para ahli tafsir, seperti Qatadah. 31
Sifat dan Tugas Beberapa Malaikat
Memang terdapat perbedaan di kalangan para ahli tafsir tentang benda yang dilekati oleh semua kata sifat tersebut. Namun, menurut jumhur ulama, kelima kata sifat tersebut melekat kepada malaikat.
Terkait semua sifat malaikat tersebut, ada beberapa catatan tambahan. Pertama: Malaikat yang mencabut nyawa dengan keras dan menyakitkan. Ini ditunjukkan oleh kata an-nâzi’ât. Tindakan keras dan kasar itu diperlakukan kepada orang-orang kafir dan jahat. Tentang orang kafir yang dicabut nyawa dengan keras dan menyakitkan juga diberitakan dalam beberapa ayat lain (Lihat: QS al-An’am [6]: 93; QS Muhammad [47]: 27).
Rasulullah saw. juga memberitakan pencabutan nyawa orang-orang kafir atau orang-orang jahat yang dicabut nyawanya oleh malaikat maut. Malaikat tersebut berkata, “Wahai jiwa yang buruk, cepatlah engkau keluar dari ragamu menuju kepada kebencian dan kemurkaan Allah.” Lalu ruh orang jahat itu menyebar ke seluruh raganya. Tanpa menunda-nunda malaikat maut segera mencabut ruhnya dengan kasar, bagaikan mencabut kawat bergerigi dari bulu domba yang basah (HR Ahmad).
Kedua: Malaikat yang mencabut nyawa manusia dengan lembut dan perlahan. Ini ditunjukkan oleh an-nâsyithât. Yang diperlakukan demikian adalah orang-orang yang beriman dan beramal salih. Di dalam ayat lain juga digambarkan bahwa malaikat yang mencabut nyawa orang-orang yang beriman dan beramal salih ini berlaku ramah, bahkan mengucapkan salam (Lihat: QS al-Nahl [16]: 32).
Rasulullah saw. juga memberitakan ketika malaikat maut akan mencabut nyawa orang Mukmin, dia berkata, “Wahai jiwa yang baik, cepatlah keluar dari ragamu menuju kepada ampunan dan keridhaan Allah.” Segera ruh orang Mukmin itu keluar dengan begitu mudah bagaikan air yang mengalir dari mulut kendi. Begitu ruhnya telah keluar, segera Malaikat maut menyambut dia (HR Ahmad).
Ketiga: Malaikat yang memiliki kecepatan yang amat tinggi dalam bergerak. Ini ditunjukkan pada kata as-sâbihât dan as-sâbiqât. Selain ayat ini, kecepatan para malaikat dalam bergerak juga diberitakan dalam firman Allah yang lain (Lihat: QS al-Ma’arij [70]: 4).
Keempat: Adanya para malaikat diberi tugas oleh Allah SWT untuk mengatur berbagai urusan. Ini ditunjukkan oleh frasa: al-mudabbirât amr[an]. Sebagian urusan yang ditugaskan kepada mereka telah diberitakan dalam ayat-ayat sebelumnya, yakni mencabut nyawa manusia. Berbagai urusan lainnya juga diserahkan kepada malaikat untuk mengurusnya. Seperti Malaikat Jibril yang diberikan tugas untuk menyampaikan wahyu kepada para nabi dan rasul-Nya. Malaikat Mikail atau bertugas menurunkan hujan dan memberikan kehidupan di muka bumi. Ada juga yang ditugaskan meniupkan ash-shûr sebagai tanda bahwa Hari Kiamat telah tiba (lihat QS al-Kahfi [18]: 99); menjadi penjaga pintu surga (lihat QS Al-Zumar [39]: 73]; menjadi penjaga neraka (lihat az-Zukhruf [43]: 77), memberikan azab dan siksaan pada para penduduk neraka (lihat QS al-Muddatstsir [74]: 26-30); memikul Arsy (lihat QS Ghafir [40]: 7); mencatat amal manusia (lihat QS al-Infithar [82]: 11-12); menjaga seorang hamba saat bangun, tidur dan di setiap keadaannya (lihat QS Ar-Ra’d [13]: 11), dan lain-lain. Jumlahnya amat banyak. Tidak ada yang mengetahui jumlah mereka kecuali Allah SWT (lihat QS al-Muddatstsir [74]: 31).
Demikianlah.Setiap manusia wajib mengimani keberadaan para malaikat. Keberadaannya memang tak dapat diindera dan dijangkau oleh akal manusia, tetapi bisa dipastikan. Hal ini dikabarkan oleh dalil yang qath’i. Karena itu siapa pun yang mengingkarinya berarti telah terjatuh dalam kekufuran dan kesesatan yang nyata.
Wal-Lâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar al-Kutub al-Thayyib, 1994), 449.
2 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 223.
3 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1987), 692.
4 Lihat: Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 211Ò
5 Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 798.
6 Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân, 608.
7 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 190.
8 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 692.
9 Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 33.
10 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 224.
11 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 190.
12 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 449.
13 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 224.
14 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 224.
15 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 191.
16 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 191.
17 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 224
18 Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân, 392.
19 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 312.
20 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 193.
21 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 193.
22 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 193.
23 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 193.
24 Al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân, 395.
25 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 312.
26 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 193.
27 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 193.
28 Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân, 303.
29 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 194.
30 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 313.
31 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 190.