HTI

Jejak Syariah

Maroko: Negeri Matan al-Ajurrumiyyah (Bagian 2 – selesai)


Seperti dijelaskan pada tulisan sebelumnya, Maroko adalah sebuah negeri yang terletak di Afrika Utara sudut barat, di sebelah Jabaltarik. Tanahnya subur, kaya akan baja dan besi, iklimnya menyenangkan, letaknya pun strategis dan memiliki bandar-bandar yang baik.

Menjelang lemahnya kendali Khilafah Turki Utsmani terhadap Maroko, kaum kapitalis berlomba-lomba untuk menanamkan modalnya di negeri tersebut. Agar target bisnis berjalan dengan optimal negara-negara Barat bersaing dalam menanamkan kekuasaannya di tampuk pemerintahan Maroko.

Namun, peta politik pengaruh Kapitalisme mulai berubah pada 1878 ketika Prancis mendirikan pangkalan militer di Fez. Langkah ini membuat negara-negara Barat lainnya khawatir bila akhirnya Prancis menguasai Maroko. Mereka kemudian menuntut adanya konvensi untuk menentukan nasib Maroko.

Pada 1880, 14 negara Eropa beserta Amerika berkumpul di Madrid melakukan konvensi, yang selanjutnya lebih dikenal dengan Konvensi Madrid. Hasilnya, status quo Sultan Maroko harus dipertahankan dan negeri itu harus menjalankan politik pintu terbuka.

Sejak itu makin banyaklah modal Barat yang masuk ke Maroko. Persaingan antarnegara makin hebat sehingga Maroko merupakan tempat yang berbahaya dalam gelanggang politik internasional.

Sesudah mengalami kekalahan dalam menghadapi krisis Fashoda1, Menlu Prancis, Delcasse, (1898-1905) berusaha menaikkan prestise negerinya dengan menumpahkan perhatiannya ke Maroko. Prancis menggunakan kesempatan yang baik itu sewaktu Inggris sedang sibuk dengan urusan Afrika Selatan. Selain memperkuat tentaranya, Prancis juga mengadakan perjanjian-perjanjian.

Pada 1903 Delcasse mengunjungi London. Berikutnya tercapailah suatu perjanjian antara Inggris dan Prancis yang terkenal dengan Morocco Egyptian Agreement atau Entente (persetujuan, red.). Inggris tidak keberatan jika Prancis menamkan kekuasaannya di Maroko. Semua pertentangan antara Inggris dan Prancis baik mengenai urusan ekonomi maupun koloni diakhiri. Kedua negeri tersebut akan saling bantu-membantu.

Sesudah mengadakan perjanjian, Delcasse mengumumkan bahwa telah tiba saatnya bagi Prancis untuk menjaga kepentingan Maroko. Prancis mulai melakukan “peacafulnetration” dengan cara mendapatkan konsesi-konsesi dari Sultan Abdul Aziz untuk kaum kapitalis Prancis. Tindakan semacam ini disebut “Tunification” terhadap Maroko. Sultan Abdul Azis (literatur lainnya menyebutkan Maulay Abdul Hafiz) yang naik tahta pada 1900 pada usia 16 tahun menghamburkan uang sehingga kas negara menjadi kosong. Untuk mengisi kas tersebut, ia memasukkan sistem pemungutan pajak yang berat dan mencari pinjaman ke Bank Prancis. Ketika ia tidak dapat membayar kembali, ia terpaksa menerima bantuan orang-orang Eropa untuk menjalankan sistem pengumpulan pajak juga aparatur polisi secara modern.

Delcasse mengirim M. Saint Rene Taliliandier ke Fez dengan membawa program “pembaruan” yang pelaksanaannya harus berada di bawah pengawasan Prancis. Polisi militer dibentuk di bawah opsir-opsir Prancis. Bank negara didirikan untuk memperbaiki keadaan keuangan dan berbagai bangunan didirikan dengan menggunakan modal Prancis.

Negara yang menentang Prancis adalah Jerman. Inggris, Spanyol dan Italia sudah terikat suatu perjanjian, sedangkan Rusia adalah sekutunya. Jerman menolak penentuan nasib Maroko melalui perjanjian-perjanjian tersebut di atas, dan meminta isi Konvesi Madrid (1880) tetap dihormati. Maroko harus tetap sebagai lapangan penanaman modal negara Eropa. Di daerah itu kepentingan Jerman harus sama dengan kepentingan Prancis ataupun Inggris. Intervensi Jerman terhadap Maroko ini disebabkan karena Jerman pada waktu itu sangat membutuhkan ekspansi kolonial bagi kepentingan modalnya. Walau penolakan Jerman kuat, rekayasa Prancis atas dukungan negara Eropa lainnya akhirnya menang sekaligus meneguhkan bahwa Prancislah yang menguasai Maroko.

Kemenangan Prancis tertuang dalam Konferensi yang dilangsungkan di Algeciras (Januari 1906). Dengan hasil konferensi ini, Prancis menjadi penguasa tunggal Maroko.

Munculnya protektorat Prancis atas Maroko adalah berdasarkan Perjanjian Fez yang ditandatangani oleh pemerintah Prancis dan Sultan Maroko (Maulay Abdul Hafiz) pada tahun 1912M. Isi perjanjian tersebut adalah tentang pemberian izin kepada Prancis untuk bertindak atas nama Maroko oleh Sultan. Dalam arti, apa pun yang dilakukan oleh Prancis adalah perbuatan Sultan. ‘Cek kosong’ yang diberikan oleh Sultan kepada Prancis ini ternyata membawa akibat yang dahsyat bagi masyarakat Maroko. ‘Cek kosong’ ini dipakai oleh Prancis untuk menindas dan mengeruk kekayaan Maroko yang memang sudah sejak dari dulu diincar. Dengan cek kosong tersebut, Prancis melenggang mudah menyingkirkan lawan-lawan politiknya dari Eropa dalam perebutan kekayaan alam Maroko.

Salah satu penindasan yang dilakukan Prancis adalah semua suku-suku berada di bawah kekuasan Prancis dan mereka diintimidasi secara militer. Lahan pertanian mereka dicaplok. Mereka diancam akan dibuat kelaparan selain dipaksa untuk membayar pajak.

Setelah itu pemerintah Prancis membangun pos-pos militer dan mengangkat petugas untuk mengumpulkan pajak serta mengorganisasi pasar. Selanjutnya mereka membangun sejumlah jalan, rumah sakit dan sekolah-sekolah. Untuk mewujudkan semua itu para petugas tidak terlibat langsung, tetapi mereka mengerahkan para qa’id yang bertugas untuk mengawasi lalu-lintas memberi izin bersenjata, menyelesaikan persengketaan dan menertibkan harga.

Kekuasaan Prancis atas Maroko tidak hanya terbatas terhadap para elit negara, tetapi juga para elit agama (Muslim). Menyikapi kebijakan Prancis ini banyak pemimpin gerakan sufi yang ‘terpaksa’ menerima otoritas Perancis dan juga membantu mereka dalam menundukkan wilayah-wilayah kesukuan selain menjaga perdamaian antara penduduk desa. Akibatnya, prestise politik sufi hilang karena fungsi politik mereka menurun dan posisi mereka digantikan oleh para birokrat Pemerintah.

Adapun terhadap orang Barbar, Prancis memandang mereka sebagai kelompok non-Arab yang dapat dipisahkan dari penduduk Maroko secara umum dan bersekutu dengan Prancis. Mereka dijauhkan dari pengaruh Arab dan Islam yang berakibat pada terbentuknya dua kelompok masyarakat yang menempati wilayah berbeda. Orang-orang Arab tinggal di perkotaan dan orang Barbar tinggal di pegunungan.

Prancis menjalankan politik pecah-belah dan adu-domba. Walhasil hanya untuk melawan penjajah yang sedang merajalela di tanah air saja susah diwujudkan.

Di sisi pendidikan, masyarakat Maroko masa jajahan Prancis tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan Prancis yang memang betul-betul ingin memisahkan masyarakat Arab dengan Barbar sebagai warga asli Maroko. Penguasa Prancis berusaha menciptakan elit Barbar yang terdidik budaya Prancis dan membatasi pengaruh Arab serta Islam. Namun, usaha mereka gagal untuk memecah-belah masyarakat Maroko, karena para pelajar elit Barbar yang hanya sekitar 6% setelah memperoleh ilmu pengetahuan menjadi oposisi/penentang terhadap kekuasaan Prancis. Sementara itu, pendidikan untuk masyarakat Muslim tetap terbuka, karena di Rabat dan Fez didirikan Perguruan Muslim, sejumlah sekolah dasar dan sekolah teknik.

Adapun pengaruh dalam bidang sosial-ekonomi Maroko, kekuasaan Prancis atas nama Sultan di Maroko telah menyebabkan kesengsaraan bagi masyarakat. Apalagi dengan dikuasainya jalan, sungai, pantai serta hutan secara kuat yang berakibat diperjualbelikannya property tersebut. Pada tahun 1914 M pertanahan Makhzan harus dijual kepada koloni Eropa dan sejumlah tanah yang diberikan kepada suku-suku sebagai imbalan atas pengabdian militer mereka dirampas. Semakin hari tanah yang dikuasai Eropa meningkat tajam, tercatat pada tahun 1913M terdapat sekitar 73 ribu hektar tanah yang dikelola oleh pertanian Eropa dan pada tahun 1953 M meningkat menjadi 1 juta. [Gus Uwik, dari berbagai sumber]

 

Catatan kaki:

1         Krisis Fashoda terjadi pada tahun 1898. Krisis ini merupakan klimaks dari sengketa wilayah antara Inggris dan Prancis di Afrika Timur dalam usahanya untuk mengembangkan daerah jajahannya. Prancis bercita-cita menggabungkan daerah kekuasaannya dari barat ke timur yang dikenal dengan istilah “dari samudera ke samudera”. Adapun Inggris juga ingin menyatukan wilayahnya yang disebuat dengan istilah “from Cape to Cairo”. Doktrin dua negara ini sama-sama memperebutkan wilayah yang sama yakni; Kongo, Sudan dan Ethiopia. Krisis ini membawa Inggris dan Prancis ke ambang perang, tetapi berakhir dalam kemenangan diplomatik untuk Inggris.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*