HTI

Hadis Pilihan (Al Waie)

Menyikapi Penguasa Durhaka

عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ». قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ «لاَ مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلاَةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ»

Dari Auf bin Malik, dari Rasulullah saw., “Sebaik-baik imam (pemimpin) kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, yang kalian doakan dan mereka mendoakan kalian. Sebaliknya seburuk-buruk imam (pemimpin) kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian, yang kalian laknat dan mereka melaknat kalian,” Dikatakan, “Ya Rasulullah, tidakkah kita perangi mereka dengan pedang?” Rasul bersabda, “Tidak, selama mereka menegakkan shalat di tengah kalian. Jika kalian melihat dari para wali kalian sesuatu yang kalian benci maka bencilah perbuatannya dan jangan kalian lepaskan tangan dari ketaatan.” (HR Muslim).

Sabda Rasul saw, “tuhibbûnahum wa yuhibbûnakum” seperti dijelaskan oleh al-Minawi di dalam Faydh al-Qadîr adalah karena mereka adil. “Wa tushallûna ‘alayhim wa yushallûna ‘alaykum” yakni mereka mendoakan kalian dan kalian mendoakan mereka. Artinya, kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian ketika hidup; lalu jika datang maut, mereka akan saling memohonkan rahmat satu sama lain dan mengenang kebaikan. Kecintaan itu adalah kecintaan religius karena pemimpin dan rakyat mengikuti kebenaran.

Al-Mawardi berkata, “Seorang pemimpin, jika ia memiliki kebaikan, ia mencintai dan dicintai oleh rakyat. Sebaliknya, jika buruk/jahat, ia membenci dan dibenci oleh rakyat. Rasa takut kepada Allah akan mendorong untuk taat kepada-Nya dalam memperlakukan makhluk-Nya. Ketaatan kepada Allah akan mendorong untuk mencintainya. Dengan demikian kecintaan itu merupakan bukti atas kebaikan imam. Sebaliknya, kebencian rakyat kepada pemimpin adalah bukti keburukannya dan minimnya perhatian dia kepada rakyat.

Asy-Syaukani di dalam Nayl al-Awthâr menjelaskan, pemimpin yang mencintai dan dicintai rakyat, mendoakan dan didoakan oleh rakyat, adalah sebaik-baik pemimpin. Sebaliknya, pemimpin yang membenci dan dibenci rakyat, melaknat dan dilaknat oleh rakyat, termasuk seburuk-buruk pemimpin. Sebab, jika pemimpin berlaku adil di tengah rakyat, berkata baik kepada rakyat, maka rakyat akan menaati, mematuhi dan memuji dia. Ketika keadilan dan kebaikan perkataannya menyebabkan kecintaan, ketaatan dan pujian rakyat kepadanya maka dia adalah sebaik-baik pemimpin.

Sebaliknya tatkala kezaliman dan caciannya kepada rakyat menyebabkan rakyat menyalahi dia dan berkata buruk tentang dia, maka ia termasuk seburuk-buruk pemimpin.

Manthûq hadis ini menjelaskan tidak boleh memerangi pemimpin (imam)—dalam pemerintahan Islam—dan mencabut kekuasaannya selama ia masih menegakkan shalat di tengah kaum Muslim. Adapun mafhûm hadis ini menyatakan keboleha memerangi imam jika sudah tidak menegakkan shalat di tengah kaum Muslim. Frase “selama mereka menegakkan shalat di tengah kalian” maksudnya bukan selama imam menjalankan shalat. Sebab, Rasul saw tidak bersabda: mâ aqâmû ash-shalâta (selama mereka menjalankan shalat). Frase “mâ aqâmû fîkum ash-shalâh (selama mereka menegakkan shalat di tengah kalian) itu merupakan majaz (kiasan) dengan menggunakan uslûb: ithlâq al-juz’i wa irâdah al-kulli (menyebut sebagian sedangkan yang dimaksud adalah keseluruhan). Maksudnya adalah selama masih menegakkan Islam, yakni selama masih menerapkan syariah Islam. Shalat merupakan tiang/pilar Islam. Jadi makna menegakkan shalat, yakni menegakkan Islam, yaitu menerapkan syariah Islam. Sebab, Islam itu tegak ketika hukum-hukum dan sistemnya tegak dan diimplementasikan.

Dalam Islam wali yang wewenangnya mencakup masalah hukum dan pemerintahan disebut wâliy ash-shalâh. Itu artinya, kata shalah bisa bermakna hukum dan pemerintahan.

Hadis ini menegaskan, selama imam menerapkan Islam, meskipun dia melakukan kezaliman, maka haram keluar menentang dia secara fisik atau mencabut kekuasaannya. Ini berbeda seperti dalam riwayat Ubadah bin ash-Shamit ra. saat Rasul saw bersabda: “illâ an taraw kufran bawâhan (kecuali kalian melihat kekufuran yang terang-terangan),” misal menjadi kafir atau menerapkan hukum kufur. Qadhi ‘Iyadh seperti dikutip oleh an-Nawawi dalam Syarh Shahîh Muslim mengatakan, para ulama sepakat bahwa Imamah (Khilafah) tidak terakadkan untuk orang kafir, dan andai terjadi kekufuran pada Imam (Khalifah) maka ia dipecat. Qadhi Iyadh berkata, “Demikian juga andai Imam (Khalifah) meninggalkan penegakan shalat dan seruan pada shalat.”

Jika Imam (Khalifah) melakukan kemaksiatan atau perbuatan yang dibenci rakyat maka rakyat tetap wajib menaati dia selama bukan dalam hal kemaksiatan. Hal itu ditegaskan dalam riwayat dari jalur Ubadah bin ash-Shamit, Rasul bersabda kepada dia:

اِسْمَعْ وَأَطِعْ فِيْ عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ وَمَكْرَهِكَ وَأَثَرَةٍ عَلَيْكَ وَإِنْ أَكَلُوْا مَالَكَ وَضَرَبُوْا ظَهْرَكَ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ مَعْصِيَةٌ لِلَّهِ بَوَاحًا

Dengar dan taatlah dalam kemudahanmu, kesulitanmu, apa yang tidak engkau sukai dan atas dia lebih mengutamakan dirinya darimu, serta jika mereka memakan hartamu dan memukul punggungmu kecuali kemaksiatan kepada Allah secara terang-terangan (HR Ibnu Hibban).

 

Dalam riwayat Ahmad dinyatakan dengan lafal: …selama tidak memerintahkan kamu dengan dosa secara terang-terangan.

Dalam hadis Ibnu Umar, wajib taat itu “mâ lam yu`mar bi ma’siyatin… (selama tidak diperintah untuk bermaksiat). Dalam hadis Ali bin Abi Thalib ra. Dinyatakan, “Lâ thâ’ata fi ma’shiyatillâh (Tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah).” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud).

Tentu hal itu harus dibarengi dengan menasihati penguasa, amar makruf nahi mungkar terhadap penguasa dan mengoreksi penguasa yang juga diwajibkan oleh syariah.

Jadi taat kepada pemimpin itu bukanlah taat secara buta, tetapi taat dengan kesadaran, kekritisan, disertai spirit saling menasihati dan ta’âwun dalam kebenaran.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*