Kaum musyrik melawan Mukmin secara total atau kaffah, termasuk dengan media massa, membeli ulama yang bisa dikooptasi, dan sebagainya. Oleh karena itu, kita harus total melawannya,” ungkap Mantan Ketua MPR Amien Rais (18/9/2016).
Pernyataan tersebut tidak berlebihan bila disebut sebagai ungkapan yang mewakili mayoritas umat Islam. Realitasnya memang demikian. Sekadar contoh, pada hari Ahad (4/9/2016) terdapat aksi massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bersama berbagai komponen umat Islam dengan tajuk “Haram Pemimpin Kafir”. Gambar-gambar yang dihasilkan lewat pemotretan drone dari udara menunjukkan membludaknya massa, tidak kurang dari 20.000 orang. Namun, tak ada media mainstream yang memberitakannya. Padahal dilihat dari sisi apapun peristiwa tersebut merupakan news yang layak disampaikan kepada publik.
Contoh lain, pada hari Ahad (18/9/2016) saya mendapatkan broadcast tentang pernyataan sikap Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta-BEM Seluruh Indonesia tentang Tolak Reklamasi. Menariknya, di akhir broadcast ditulis “Tolong bantu sebarkan karena yakin tidak ada berita di media massa…” Ini mengisyaratkan bahwa para mahasiswa paham betul, media massa tidak berpihak pada perjuangan menentang kezaliman tersebut.
Selain realitasnya demikian, saya menyampaikan kepada beberapa tokoh bahwa secara i’tiqadi memang hal tersebut benar. Di dalam al-Quran surat at-Taubah ayat 36 disebutkan (yang artinya): Perangilah kaum musyrikin itu secara totalitas (kâffah) sebagaimana mereka pun memerangi kamu secara totalitas (kâffah), dan ketahuilah bahwa Allah bersama dengan orang-orang yang bertakwa.
Ini menunjukkan bahwa mereka akan menggunakan berbagai strategi, cara, dan teknik untuk menundukkan umat Islam. Namun, ujung dari semua itu adalah kemenangan bagi orang-orang yang bertakwa. Oleh sebab itu, kuncinya adalah takwa, yakni berpegang teguh pada akidah dan taat penuh pada syariah Islam.
Alhamdulillah, setidaknya dalam kasus kepemimpinan non-Muslim di DKI Jakarta, hal ini tampak jelas. Dalam acara Silaturahmi Akbar di Masjid Istiqlal, Jakarta, Ketua Bamus Betawi Fahrurrozi, menegaskan, “Kalau kota kita ada yang ngambil, maka kita lawan. Mesti orang yang sejalan dengan Islam yang memimpin Jakarta. Islam harus memimpin Jakarta!”
Saat berbincang dengan Habib Muhammad Zaki, beliau menyampaikan kepada saya, “Ustadz, memang kita ini harus bersatu. Momentum ini adalah momentum persatuan agar Jakarta berada di tangan orang Islam.”
Saya menyampaikan kepada beliau, “Insya Allah. Muwafiq. Namun, ada yang kadang menjadi penghalang, di antaranya partai-partai ingin kadernya yang memimpin. Akhirnya, persatuan yang diharapkan tak kunjung datang. Kita perlu menghilangkan rasa egoisme alias ananiyah.”
Kesadaran pun merambah hingga tingkatan bawah. Seminggu lalu saya naik taksi di Jakarta. Sepanjang perjalanan saya berbincang dengan Pak Heri, sopir taksi. “Pak Heri, bagaimana situasi Jakarta sekarang?” saya membuka obrolan. Ia menjawab, “Payah, Pak. Sekarang rakyat kecil disingkirkan. Zalim. Main gusur,” ungkapnya semangat. “Tidak ada keadilan, Pak. Orang miskin seperti saya disuruh minggir. Tidak boleh hidup di Jakarta. Saya dulu di Jakarta, sekarang di pinggiran Bekasi. Padahal saya ini Betawi asli,” tambahnya mengenang kepedihan yang ia alami. “Itu karena pemimpinnya tidak takut pada Allah, Pak. Tidak takut neraka,” ujar saya. Dengan sigap sang sopir yang sudah setengah baya tersebut berkomentar, “Iya, Pak. Padahal dalam Islam, pemimpin kafir itu haram.”
Melihat realitas demikian, tidak mengherankan perlawanan terhadap kezaliman terjadi di mana-mana. Dalam hal sekecil apa pun, perlawanan terlihat. Salah satu wujud perlawanan itu adalah penolakan warga Luar Batang terhadap kiriman sapi kurban yang dikirim oleh Ahok, Gubernur DKI. “Kita punya ‘izzah. Bila ngasih kurban dalam kondisi penggusuran seperti ini, pasti ada maunya,” ungkap seorang warga Luar Batang.
Berbicara istilah ‘melawan’ menarik apa yang diungkapkan oleh Ustadz Zaitun. Menurut beliau, beda marah dengan melawan. “Marah itu biasanya cepat lelah. Sasarannya pun tidak terarah. Gampang dikalahkan, termasuk dengan sogokan,” ungkapnya. Ketua Wahdah Islamiyah ini meneruskan, “Adapun melawan itu akan terus-menerus karena lahir dari kesadaran. Sasarannya pun jelas, fokus. Tidak mungkin dapat dikalahkan dengan sogokan.”
Jadi, sikap tegas terhadap kemungkaran dalam segala bentuknya seperti kekufuran, kezaliman, ketidakadilan, dan sebagainya harus dipandang sebagai sikap perlawanan.
Ada perkara yang patut direnungkan terkait perlawanan ini. Allah SWT dalam al-Quran surat at-Taubah ayat 32 menyebutkan (yang artinya): Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, sementara Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.
Begitu juga dalam QS as-Shaf ayat 8 (yang artinya): Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipudaya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya walau orang-orang kafir membencinya.
Dalam kedua ayat tersebut dijelaskan, ada tiga hal yang merupakan pegangan umat Islam dalam menghadapi berbagai halangan. Pertama: Mereka akan terus berupaya memadamkan cahaya Islam. Oleh sebab itu, para pejuang Islam pun tidak boleh lengah. Kedua: Allah SWT justru akan mengokohkan cahaya Islam. Artinya, kemenangan ada di tangan kaum Mukmin. Tidak ada kata pesimis dalam perjuangan. Ketiga: Pasti orang kafir tidak akan suka. Dengan demikian, bila dalam perjuangan melawan kezaliman ini orang kafir tidak suka, menuduh macam-macam, memberi cap negatif seperti radikal, dan sebagainya itu wajar. Biarkan saja! Istilah anak mudanya: e-ge-pe, emang gua pikirin?!
Di tengah kondisi umat yang dipinggirkan dan Islam disingkirkan, perlawanan harus terus dilakukan. Neoliberalisme dan neoimperia-lisme yang makin menjajah harus dilawan. Benar kata Ustadz Fadlan Garamatan dari Papua, “Ulama menangis karena umat Islam saat ini menderita.” [Muhammad Rahmat Kurnia; DPP Hizbut Tahrir Indonesia]