HTI

Afkar (Al Waie)

Akankah Prancis Mengikuti Kegagalan Pendahulunya?

Tak diragukan, Revolusi Suriah adalah revolusi yang diberkahi. Ia telah berhasil melemahkan kekuatan AS, negara nomor satu dunia saat ini. Pada 4 Agustus 2016, Presiden Barack Ombama mengaku, betapa Revolusi Suriah telah membuat ubannya memutih lebih cepat. Hal senada disampaikan Jhon Kery, 9 September 2016, Revolusi Suriah telah membuat AS marah bercampur frustasi. Pasalnya, revolusi itu tak henti-hentinya menyerukan slogan “Kami takkan pernah rukuk kepada selain Allah SWT”. Selain itu, Allah SWT benar-benar telah memilih Muslim Suriah sebagai hamba-hamba-Nya yang terbaik.

Saat mengetahui kelemahan AS yang selama ini telah menyingkirkan Prancis dan negera-negera Eropa lainya dalam menyelesaikan persoalan Suriah, Prancis mulai bergerak. Hal itu terlihat dalam pernyaataan juru bicara Pemerintah Prancis, Le Foll, 5 Oktober 2016, “Pemerintah Prancis akan mengusulkan sebuah resolusi kepada DK PBB yang telah disusun berkenaan dengan situasi di Aleppo-Suriah.”

Le Foll menambahkan, “Pemerintah Prancis memprotes keras apa yang terjadi di Suriah, sebab itu tidak bisa diterima, Prancis mengutuk keras kejahatan yang terjadi di sana, berupa tidakan brutal yang dilakukan oleh Pemerintah Suriah yang didukung oleh kekuatan pesawat-pesawat Rusia.”

Lobi-lobi serupa dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Marc Ayrault, dengan AS dan Rusia untuk mendiskusian krisis Suriah serta kebijakan negara tersebut terkait Aleppo.

Pernyataan-pernyataan di atas menunjukan bahwa Prancis menolak kebijakan AS yang selalu berusaha menjauhkan Prancis dari persoalan Suriah. Sebaliknya, Prancis berusaha mencari pembenaran dan jalan suapaya bisa terlibat di Suriah. Prancis memulai intervensinya pada 8 September 2016 dengan mengirimkan pesawat-pesawatnya untuk melakukan investigasi, dilanjutkan dengan sejumlah serangan dengan dalih memerangi ISIS. Namun, AS terus berusaha menyingkirkan Prancis dari krisis Suriah agar tetap berada dalam kendalinya bersama Rusia. Prancis kemudian berusaha membuat kekacauan dan terus mencari peluang agar ia dilibatkan dalam konflik tersebut.

Pada 15 Sepetember 2016, melalui Menteri Luar Negerinya, Prancis menuntut AS untuk mengungkap secara terbuka kepada sekutu-sekutunya atas kesepakatan-kesepakatan yang telah AS setujui bersama Rusia berkaitan dengan gencatan senjata di Suriah.

Hal itu tentu menyulitkan Rusia dan AS. Karena itu tak aneh jika Rusia kemudian memperlihatkan seolah-olah ia menyambut baik gagasan dan inisiatif Prancis. Dalam percakapannya bersama Jean-Marc Ayrault, 6 Oktober 2016, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menyatakan, “Kami sedang menyiapkan kunjungan Presiden Putin ke Prancis pada 19 Oktober mendatang. Kami yakin, kunjungan ini akan membuahkan banyak hal penting, membuka peluang kerjasama dua negara, dan mengawali perbincangan politik khususnya menyangkut krisis Suriah dan Ukraina. Moskow sangat terbuka untuk mengkaji gagasan dan pandangan Prancis sebagaimana telah diusulkan menjadi Resolusi Dewan Keamanan PBB terkait kemelut yang terjadi Aleppo. Kami pun begitu resah dengan apa yang terjadi di Suriah saat ini. Oleh karena itu, kami sedang mencurahkan seluruh upaya guna normalisasi situasi di sana dalam waktu yang secepat-cepatnya.”

Pernyataan itu menunjukkan bahwa Rusia merespon baik inisiatif Prancis. Bahkan Rusia mengakui dalam keadaan begitu resah akibat terseret dalam kemelut tak berujung, padahal Rusia ingin segera keluar darinya. Oleh sebab itulah, Putin akan segera berkunjug ke Prancis. Hanya saja, Rusia juga tentu memiliki proposal tersendiri yang diajukan kepada Dewan Keamanan PBB, yang bertolak belakang dengan keinginan Prancis. Oleh sebab itu, PBB segera menggelar rapat darurat untuk mengkaji dua proposal tersebut pada 8 Oktober 2016.

Proposal Prancis menyerukan gencatan senjata di Aleppo, penyudahan aksi pesawat-pesawat tempur yang terus berputar-putar di atas udara Aleppo, penggunaan instrumen-instrumen pengawas perdamaian dunia internasiol, dan pelaksanaan solusi damai atas Suriah. Dengan kata lain, yang terpenting bagi Prancis adalah bagaimana ia memiki peran daam kancah politik internasional sebagai simbol kebesaran dan pengaruh negara tersebut. Adapun pokok kepentingan Rusia adalah persoalan Ukraina. Dengan kata lain, bagaimana Rusia memanfaatkan tuntutan-tuntutan Prancis tersebut dalam kepentinggannya menyangkut problem Ukraina.

Rusia mengajukan proposal yang bertolak belakang dengan usulan Prancis. Proposal tersebut menegaskan bahwa Rusia masih sejalan dengan AS dalam hal platform yang telah mereka berdua sepakati berkenaan dengan krisis Suriah. Proposal Rusia juga menunjukan bahwa Rusia bermaksud menghalau Prancis yang telah merepotkan Rusia dan AS dalam hal persekongkolan mereka, yakni persekongkolan mereka untuk membumihanguskan Aleppo dan penduduknya, bila mereka menolak keluar dari wilayah mereka itu, sebagaimana ditegaskan De Mistura.

Rusia segera menggunakan hak vetonya untuk mencekal proposal Prancis hingga ditolak oleh DK PBB. Sekilas, rekomendasi proposal Rusia dan Prancis memang tak jauh berbeda, yaitu berupa seruan untuk gencatan senjata. Sementara itu, proposal Rusia pun akhirnya ditolak. Namun, Rusia tampak tidak begitu ngotot, sebab memang proposalnya itu tidak diajukan agar berhasil diadopsi oleh DK PBB, melainkan sekadar jalan untuk menghalau solusi dan usulan Prancis, agar Rusia dan AS tetap legal menggempur Aleppo.

Oleh sebab itu, tampak jelas bahwa setiap kubu berkospirasi untuk melumpuhkan revolusi. Perdebatan mereka tak lain hanyalah aktualisasi dari kepentingan masing-masing dan pengukuhan kedudukan mereka dalam konstelasi politik internasional.

Prancis bermimpi bisa memadamkan api perjuangan umat. Dengan begitu angan-angannya untuk menaikkan kedudukannya di pentas politik internasional bisa terwujud. Saat ini memang geliat Prancis di PBB dan aksi-aksinya dalam berbagai persoalan Dunia mulai terlihat kembali. Hal itu dimaksudkan untuk menonjolkan peran Eropa, khususnya pasca keluarnya Inggris dari keanggotaan Uni Eropa. Dengan begitu mimpi-mimpi Eropa bisa terrealisasi.

Dalam hal ini, Prancis menempuh beberapa langkah politik dengan bertumpu pada kekuatan Prancis sendiri, dukungan Eropa, pendekaan dengan Rusia, serta upaya mengangkangi AS agar Prancis bisa terlibat dalam beragai problem Dunia, termasuk pada krisis Suriah. Prancis telah berhasil meraih dukungan Eropa dalam melawan koalisi AS-Rusia yang terus mendukung rezim Assad dalam meluluhlantakkan Aleppo.   Maka dari itu, Inggris dan Spanyol menunjukan sikapnya di DK PBB dalam menolak pengeboman Aleppo. Hal yang sama ditunjukan Jerman yang meminta penghentikan tindakan brutal itu.

Selain di Suriah, pergerakan Prancis juga terlihat di Irak. Menteri Pertahanan Prancis, Le Drian, menegaskan niat Prancis untuk menghabisi ISIS sebelum dilangsungkan pertempuran Mosul. Dengan kata lain, Prancis bermaksud melibatkan dirinya dalam konflik Irak dan menolak monopoli AS di sana. Hal ini sebenarnya terlihat sejak penentangannya atas serangan AS ke Irak pada tahun 2003 silam dan terus berlangsung hingga sekarang. Pada tanggal 12 September 2016, Presiden Prancis, Francois Hollande, menyatakan bahwa aksi-akis AS      pasca serangan 11 September, termasuk agresi terhadap Irak, alih-alih menyelesaikan masalah, justru meningkatkan ancaman terorisme dan menimbulkan kekacauan.

Di Libia, Prancis sedang berusaha mencari-cari pijakan. Prancis mencoba bermain di dua kaki. Kadang-kadang mencari simpati AS dengan mendukung Khalifa Haftar, namun kadang-kadang mencari simpati Inggris degan mendukung agennya Siroj.

Sesungguhnya, Prancis tak ada bedanya dengan AS, Rusia dan Inggris dalam berbagai kejahatan yang mereka lakukan. Suara lantang Prancis menyangkut tindakan kejam di Aleppo sesunggunya bukanlah penolakan atas kejahtan itu. Sebab, Prancis sendiri gemar melakukan hal serupa di wilayah yang ia duduki, baik yang ia lakukan di Aljazair dan Mali dalam penjajahan lamanya maupun yang dilakukan Prancis Afrika Tengah saat ini.

Sugguh, tangan Prancis berlumur darah sepanjang sejarah kelam negara tersebut. Sekali lagi, Prancis tak ada bedanya dengan negara-negara penjajah lainnya kecuali dalam beberapa langkah politik demi memuluskan kepentingan dan mengokohkan cengkeramannya. Dengan begitu Prancis bermimpi bisa mengembalikan kebesaran masa lalunya.

Oleh karena itu, kepada warga Suriah secara khusus dan masyarakat di kawasan pada umumnya, hendaklah senantisa menjauhkan tangan mereka dari intervensi para penjajah. Mereka tidak boleh bersandar sedikitpun pada belas kasihan penjajah dan agen-agennya. Sebab, semua itu adalah keburukan. Sebaliknya, mereka wajib bertumpu pada diri dan umat mereka, khususnya orang-orang dan kelompok yang ikhlas, seraya memohon pertolongan kepada Allah SWT dan hanya bergantung kepada-Nya. Sesungguhnya musuh-musuh kini sedang menghadapi guncangan. Mereka berharap bisa keluar dari situasi sulit menghadapi kekuatan kalian. Tekanan demi tekanan mereka lakukan tak lain agar kalian menyerah. Pada saat yang sama sesungguhnya mereka telah dihinggapi rasa frustasi.

Katakanlah, “Tak ada kata menyerah. Tak ada kata berunding. Sebalikya, revolusi hingga tumbangnya rezim dan tegaknya sistem Islam.”

وَلاَ تَهِنُوا فِي ابْتِغَآءِ الْقَوْمِ إِن تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللهِ مَالاَيَرْجُونَ وَكَانَ اللهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

Janganlah kalian berhati lemah dalam mengejar mereka (musuh kalian). Jika kalian menderita kesakitan, sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kalian derita, sedangkan kalian mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan. Allah Mahatahu lagi Maha-bijaksana (QS an-Nisa’ [4]: 104). []

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*