Al-Adillah bentuk jamak dari ad-dalîl (dalil). Ad-Dalîl adalah bentukan dari dalla – yadullu – dal[an] wa dalâl[an] wa dalâlat[an]; artinya menunjukkan atau menuntun. Ad-Dalîl menggunakan pola (wazan) fa’îl yang bermakna fâ’il (pelaku).
Ad-Dalîl secara bahasa bermakna ad-dâlu (penunjuk) atau mâ yustadallu bihi (sesuatu yang dijadikan argumentasi atau menarik kesimpulan).1 Secara bahasa disebut dalil baik sesuatu itu menunjukkan pada yang inderawi maupun maknawi. Wahbah az-Zuhaili menyatakan, ad-dalîl secara bahasa maknanya al-hâdî ilâ syay‘[in] hissiy[in] aw ma’nawiy[in] (yang menunjukkan pada suatu yang inderawi atau yang maknawi).2
Menurut al-Jurjani, secara bahasa ad-dalîl juga bermakna al-mursyid wa mâ bihi irsyâd (yang menunjukkan dan apa yang dengan itu ada petunjuk).3 Jadi ad-dalîl itu, seperti yang dinyatakan oleh Imam al-Amidi dalam Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, digunakan untuk menyebut sesuatu yang di dalamnya terdapat dalâlah dan irsyâd, yakni petunjuk. Inilah yang disebut dalîl dalam pengertian para fuqaha baik mengantarkan pada al-‘ilmu (qath’i) ataupun zhann.
Imam al-Amidi menyatakan, menurut ushul para fuqaha ad-dalîl adalah al-ladzî yumkinu an yatawashala bishahîhi an-nazhari fîhi ilâ mathlûb[in] khabariyy[in] (yang dengan penelaahan yang benar padanya mungkin mengantarkan pada sesuatu yang dituju secara informatif).4 Ungkapan ini bermakna, ad-dalîl adalah mâ yalzamu min al-‘ilmi bihi al-‘ilmu bi syay`[in] âkhar[in] (sesuatu yang dengan mengetahuinya meniscayakan pengetahuan tentang sesuatu yang lain).5 Dalam pembahasan dalil syariah, al-mathlûb (yang dicari) dalam hal ini adalah hukum syariah. Artinya, dalil itu adalah sesuatu yang digunakan untuk mengetahui hukum syariah atau yang dijadikan dalil bahwa itu adalah hukum syariah. Karena itulah, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengartikan ad-dalîl sebagai: al-ladzî yuttakhadzu hujjat[an] ‘alâ anna al-mabhûts ‘anhu hukm[un] syar’iyy[un] (sesuatu yang dijadikan hujjah bahwa yang dibahas (oleh dalil) itu merupakan hukum syariah).6
Dengan demikian, dalil syariah itu adalah sesuatu yang digunakan untuk mengetahui hukum-hukum syariah tertentu untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia; yakni untuk mengetahui hukum-hukum yang berasal dari Asy-Syâri’ atau Pembuat hukum, yaitu Allah SWT.
Dalil syariah ada dua jenis. Pertama: yang merujuk pada lafal (redaksi) nas dan apa yang ditunjukkan oleh nas baik secara manthûq maupun mafhûm-nya. Kedua: yang merujuk pada rasionalitas nas (ma’qûl an-nâsh), yakni merujuk pada ‘illat syar’iyyah. Dalil yang merujuk pada lafal (redaksi) nas adalah al-Kitab, a-Sunnah dan Ijmak Sahabat. Ketiganya memerlukan pemahaman dan penelaahan untuk bisa berdalil dengannya. Adapun yang merujuk pada rasionalitas nas adalah qiyâs. Qiyâs ini memerlukan ‘illat syar’iyyah yang ditunjukkan oleh nas syariah.
Dalil syariah, agar bisa dianggap sebagai dalil syariah, harus dinyatakan dari Rasul saw., baik melalui nas atau nas yang menunjukkannya, dan ia pada saat yang sama kembai pada nas. Jika tidak demikian maka tidak bisa dianggap sebagai dalil syariah.
Yang dinyatakan dari Rasul saw melalui nas secara qath’i merupakan dalil. Dalam hal ini ada dua bentuk. Pertama: Dalam bentuk yang dibacakan (al-matluw), yakni yang diturunkan oleh wahyu baik makna dan lafal (redaksional)-nya, yaitu al-Quran. Kedua: Dalam bentuk tidak dibacakan, yaitu yang diturunkan oleh wahyu secara maknawi dan diungkapkan oleh Rasul saw. dengan lafal (redaksi) berasal dari beliau, atau melalui perbuatan atau persetujuan beliau. Dalil bentuk kedua ini adalah as-Sunnah.
Adapun yang ditunjukkan oleh nas, maka layak dinilai sebagai dalil jika dalâlah-nya kembali atau merujuk pada nas itu sendiri. Dalil yang ditunjukkan oleh nas ini adalah Ijmak Sahabat dan Qiyas. Ijmak Sahabat keberadaannya menyingkap bahwa di situ ada dalil dari nas. Hal itu membuat dalâlah-nya kembali atau merujuk pada nas itu sendiri. Nas-nas yang dinyatakan dari Rasul saw. juga menunjukkan bahwa Ijmak Sahabat layak dinilai sebagai dalil atau hujjah. Hal itu karena ayat-ayat al-Quran dan al-Hadis secara gamblang memuji para Sahabat secara keseluruhan dan menilai layak meneladani mereka. Selain itu, karena para Sahabat melihat Rasul saw. dalam kondisi ucapan, perbuatan ataupun persetujuan beliau. Karena itu ijmak (kesepakatan) mereka tentang suatu perkara menunjukkan bahwa mereka mengetahui dalilnya dan terkenal di antara mereka. Artinya, mereka sama-sama mengetahui dalil itu sehingga mereka langsung bersepakat atas suatu hukum tanpa mereka riwayatkan atau mereka sebutkan dalil tersebut. Dengan demikian Ijmak Sahabat layak dinilai sebagai dalil syariah dan hujjah yang layak dijadikan sandaran. Ini dilihat dari keberadaan Ijmak Sahabat itu telah ditunjukkan oleh nas syariah, juga dari keberadaan Ijmak Sahabat itu menyingkapkan bahwa di situ ada dalil. Jadi dalâlah Ijmak Sahabat itu kembali atau merujuk pada nas itu sendiri.
Adapun Qiyas layak dinilai sebagai dalil karena dalâlah-nya kembali pada nas itu sendiri. Sebab, nas itu ada kalanya mengandung ‘illat, dan ada kalanya tidak. Jika mengandung ‘illat, setiap kali ‘illat itu ada dan dilakukan Qiyas dengannya, maka Qiyas tersebut dinilai sebagai hujjah dan itulah Qiyas Syar’i. Jika tidak mengandung ‘illat maka tidak bisa dilakukan Qiyas. Selain itu, nas-nas dari Rasul saw. menunjukkan Qiyas sebagai hujjah. Rasul saw. pun menunjukkan pada Qiyas dan menyetujui Qiyas. Dengan demikian Qiyas merupakan dalil syariah dan hujjah yang dijadikan sandaran dari sisi keberadan ‘illat syar’i yang dengan itu dilakukan Qiyas, telah dikandung oleh nas. Dengan demikian dalâlah Qiyas itu pada dasarnya merujuk atau kembali pada nas itu sendiri. Selain itu nas itu sendiri telah menunjukkan Qiyas.
Harus Qath’i
Dalil-dalil syariah merupakan ushul syariah. Posisinya sama dengan ushuluddin, yakni seperti akidah. Ushul syariah baik ushuluddin atau ushûl ahkâm, yaitu dalil-dalil syariah, harus qath’i dan tidak boleh bersifat zhanni. Hal itu karena firman Allah SWT:
﴿وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا﴾
Kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangka-an itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran (QS Yunus [10]: 36).
Jumhur ulama telah menyatakan bahwa ushûl ahkâm wajib bersifat qath’i. Imam asy-Syathibi menyatakan, “Ushul fikih di dalam agama adalah qath’i tidak zhanni. Dalil hal itu, bahwa ushûl ahkâm itu kembali pada kulliyat syariah. Sesuatu yang demikian adalah qath’i.”7
Imam asy-Syathibi juga menyatakan, “Seandainya boleh menjadikan zhanni sebagai pokok dalam ushul fiqih, niscaya boleh menjadikannya sebagai pokok dalam ushuluddin, dan menurut kesepakatan tidaklah demikian. Karena itu demikian juga di sini, sebab penisbatan ushul fiqih termasuk bagian dari pokok syariah seperti penisbatan ushuluddin.”8
Lebih dari itu, ayat-ayat al-Quran secara gamblang melarang zhann dalam ushul, dan mencela orang yang mengikuti zhann. Itu merupakan nas bahwa ushul syariah secara mutlak baik ushuluddin atau ushûl ahkâm, wajib bersifat qath’i, dan tidak boleh bersifat zhanni. Karena itu di dalam ushul fikih sama sekali tidak ada yang tidak qath’i, karena adanya larangan yang gamblang tentang hal itu, tetapi semua ushul fikih harus qath’i.
Berdasarkan hal itu, dalil syar’i hingga dinilai sebagai hujjah harus dinyatakan ke-hujjah-annya oleh dalil qath’i. Selama tidak tegak dalil qath’i atas ke-hujjahan-nya maka tidak dinilai sebagai dalil syar’i. Dalil-dalil yang tegak dalil qath’i atas ke-hujjah-annya hanya ada empat, yaitu: al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas yang memiliki ‘illat yang ditunjukkan oleh nas syariah. Selain keempat dalil itu maka tidak bisa dinilai sebagai dalil syar’i, sebab tidak tegak dalil qath’i atas ke-hujjah-annya.
Keempat dalil inilah yang disepakati oleh seluruh ulama dan tidak ada ikhtilaf di dalamnya. Adapun selainnya maka tidak ada dalil qath’i yang menyatakan ke-hujjah-annya, melainkan hanya dinyatakan oleh dalil zhanni sehingga tidak bisa dinilai sebagai dalil syariah. Selain keempatnya—baik istihsân, al-mashâlih al-mursalah atau al-istishlâh, al-istishhâb, al-‘urf, madzhab ash-shahâbi, syar’u man qablanâ (syariah orang sebelum kita- dan adz-dzarâ`i’)—tidak dinilai sebagai dalil, namun disebut syubhat ad-dalîl.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]
Catatan Kaki:
1 Al-Jawhari, Ash-Shihâh fî al-Lughah; Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, xi/248-249.
2 Wahbah az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqhi al-Islâmî, hal. 417, Dar al-Fikr, 1986
3 Al-Jurjani, At-Ta’rifât, hlm. 140, Dar al-kitab al-‘Arabi.
4 Imam al-Amidi, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, i/27, Dar al-Kitab al-”Arabi. 1404.
5 Rawas Qal-ah Ji, Mu’jam Lughah al-Fuqahâ’, hal . 187; al-Jurjani, At-Ta’rifât.
6 Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah, iii/164, edisi muktamadah. 2005.
7 Imam asy-Syathibi, Al-Muwâfaqât, i/29, Dar al-Ma’rifah.
8 Imam asy-Syathibi, Al-Muwâfaqât, i/31, Dar al-Ma’rifah.