Polemik seputar keharaman kepemimpinan orang kafir atas kaum Muslim dan larangan ber-muwallah kepada orang kafir seharusnya tidak perlu terjadi dan berlarut-larut. Sebab, hukum dua perkara ini telah diketahui dan disepakati ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja), mengingat dalil yang mendasari dua perkara tersebut amat banyak dan dilâlah-nya qath’i.
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama Aswaja atas keharaman menyerahkan Imâmah (kepemimpinan) kepada orang kafir. Mereka juga bersepakat atas kewajiban memakzulkan penguasa yang jatuh pada kekufuran nyata. Imam Abu Zakaria an-Nawawi asy-Syafii, di dalam Kitab Syarh Shahîh Muslim, menyatakan:
Imam al-Qadhi ‘Iyadh menyatakan, “Para ulama sepakat bahwa kepemimpinan (Imâmah) tidak sah diberikan kepada orang kafir. Mereka juga sepakat, jika seorang penguasa jatuh ke dalam kekafiran, ia wajib dimakzulkan.” Ia juga berpendapat, “Demikian juga jika seorang penguasa meninggalkan penegakkan shalat dan seruan untuk shalat…” Imam al-Qadhi ’Iyadh berkata, “Seandainya seorang penguasa jatuh ke dalam kekufuran dan mengubah syariah, atau jatuh ke dalam bid’ah, maka hilanglah kewenangan berkuasa, terputuslah ketaatan kepada dia, serta wajib atas kaum Muslim untuk memerangi dan memakzulkan dia, sekaligus mengangkat seorang imam adil jika hal itu memungkinkan bagi mereka.”1(Imam Abu Zakaria an-Nawawi asy-Syafii, Syarh Shahîh Muslim, 8/35-36).
Para ulama Aswaja juga tidak berselisih pendapat atas keharaman seorang Muslim ber-muwallah kepada orang kafir, kecuali dalam keadaan darurat. Saat menjelaskan makna surat al-Maidah (5) ayat 51, di dalam tafsirnya Imam ath-Thabari menyatakan, “Ahli takwil berbeda pendapat dalam memaknai ayat ini walaupun hal itu (larangan ber-muwallah kepada orang kafir) diperintahkan kepada seluruh kaum Mukmin.”
Yang beliau maksud perbedaan pendapat di sini adalah terkait dengan orang-orang disasar oleh ayat, bukan dari sisi hukum larangannya. Artinya, seluruh ulama tidak berbeda pendapat mengenai larangan ber-muwallah kepada orang kafir. Namun, siapa pihak yang dimaksud di dalam ayat itu, para ulama berbeda pendapat akibat perbedaan riwayat yang menjelaskan asbâb an-nuzûl-nya.
Di dalam Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Imam Ibnu Katsir menyatakan, “Allah SWT melarang hamba-hamba-Nya yang Mukmin ber-muwallah kepada orang Yahudi dan Nasrani karena mereka adalah musuh-musuh Islam dan pemeluknya; Allah melaknat mereka.”
Keragaman makna “wali” yang disebut di dalam al-Quran dan sunnah sama sekali tidak menafikan hukum larangan menyerahkan kepemimpinan kepada orang kafir dan keharaman ber-muwallah kepada orang kafir. Pasalnya, para ulama yang memahami al-Quran dan as-Sunnah serta seluk-beluk gramatikal dan leksikal bahasa Arab telah berijmak atas keharaman menyerahkan kepemimpinan kepada orang kafir dan ber-muwallah dengan mereka.
Makna Wali
Menurut bahasa Arab, kata al-waliyyu (wali) merupakan lawan kata dari al-‘aduwwu (musuh). Dari kata al-waliyyu, diucapkan kalimat tawallâhu. Semua orang yang diserahi satu urusan adalah wali atas urusan tersebut. Adapun al-mawla maknanya al-mu’tiq (yang membebaskan), al-mu’taq (yang dibebaskan), ibn al-’am (anak paman), al-nâshir (penolong), al-jâr (tetangga), al-halîf (sekutu)…Muwâlah (saling menolong) adalah lawan kata mu’âdah (saling memusuhi) (Imam ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihah).
Bentuk jamak kata waliyy (wali) adalah awliyâ’ (Syaikh Saadi Abu Jayyib, Al-Qâmûs al-Fiqhi Lughat[an] wa Ishthilâh[an]).
Al-Hafizh al-Jurjani menyatakan, “Al-Waliyyu adalah setiap orang yang menguasai suatu perkara atau yang menegakkan perkara itu. Al-Waliyyu bermakna an-nashîr (penolong), as-sayyid (tuan), al-muhibb (pecinta), ash-shadîq (teman karib), al-muthî` (orang yang menaati), at-tâbi` (pengikut), asy-syarîk (sekutu), ibn al-’am (anak laki-laki paman), hâfizh an-nasab (penjaga garis keturunan), al-jâr (tetangga), al-mu’tiq (orang yang mengenal Allah, baik Asmâ maupun Shifat-Nya).” (Syaikh Saadi Abu Jayyib, Al-Qâmûs al-Fiqhi Lughat[an] wa Ishthilâh[an]).
Makna-makna di atas digunakan di dalam al-Quran maupun Sunnah Nabi saw. Makna mana yang dituju dikembalikan pada konteks kalimat dan qarînah-nya.
Kami hanya mengulas beberapa ayat yang relevan dengan topik larangan ber-muwallah dengan orang kafir, di antaranya firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali. Sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Siapa saja di antara kalian menjadikan mereka sebagai wali, sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim (QS al-Maidah (5): 51).
Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili menjelaskan:
Kandungan ayat adalah Allah SWT melarang hamba-hamba-Nya yang beriman ber-muwallah dengan orang Yahudi dan Nasrani, yang mereka itu merupakan musuh-musuh Islam dan pemeluknya. Lalu Allah SWT mengabarkan bahwa sebagian mereka merupakan wali sebagian yang lain. Allah mengancam dan memperingatkan dengan keras siapa saja yang ber-muwallah kepada mereka. Wahai orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, janganlah kalian ber-muwallah kepada orang Yahudi dan Nasrani, musuh-musuh Islam; yakni janganlah kalian menjadikan mereka sebagai penolong dan sekutu atas orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya; janganlah menceritakan rahasia-rahasia kalian kepada mereka; janganlah kalian merasa tenang atas pertemanan, kecintaan, dan kasih sayang mereka. Sebab, mereka tidak akan pernah ikhlas kepada kalian. Sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Maksudnya, orang Yahudi adalah penolong bagi orang Yahudi lain; orang Nasrani adalah penolong bagi orang Nasrani lain. Orang Yahudi telah mengkhianati perjanjian mereka. Semuanya (Yahudi dan Nasrani) sepakat untuk memusuhi kalian dan membuat marah kalian (Syaikh Wahbah az-Zuhaili, Tafsîr al-Wasîth).
Larangan ber-muwallah kepada orang kafir juga disebutkan dalam QS Ali Imran (3) ayat 28; QS an-Nisa’ (4) ayat 144; QS al-Mumtahanah (60) ayat 1, dan lain-lain. Al-Quran juga menjelaskan bahwa tanda kemunafikan adalah ber-muwallah kepada orang kafir (QS an-Nisa‘ [4]: 138-139).
Ber-muwallah kepada orang kafir adalah menjadikan mereka sebagai penolong, teman setia, sekutu, sahabat karib, orang yang diikuti dan ditaati, dan semua hal yang masuk dalam kategori muwallah kepada orang kafir. Jika ber-muwallah kepada orang kafir dalam pengertian seperti ini diharamkan, apalagi mendirikan komunitas “teman orang kafir” untuk mendukung dan membela mati-matian orang kafir menjadi pemimpin kaum Muslim. Pasalnya, menjadikan orang kafir sebagai pemimpin sama artinya dengan menghimpun makna “muwallah” yang dilarang di dalam al-Quran.
Syaikh Mahmud bin Said al-Qahthani menjelaskan mazhâhir (penampakan-penampakan) ber-muwallah kepada orang kafir, di antaranya adalah menolong dan membantu mereka dalam kezaliman-kezaliman mereka (Syaikh al-Qahthaniy, Al-Walâ‘ wa al-Barâ‘, hlm. 208).
Oleh karena itu, memberikan jalan dan mendukung orang kafir menjadi pemimpin kaum Muslim untuk melanggengkan sistem demokrasi-sekular-liberal jelas-jelas termasuk aktivitas ber-muwallah kepada orang kafir.
Larangan ber-muwallah kepada orang kafir dikecualikan dalam keadaan darurat, yakni ketika kaum Muslim berada di bawah kekuasaan orang kafir, dan ada bahaya jika mereka tidak menampakan kecintaan dan kedekatan kepada orang kafir (Lihat: QS Ali Imran [3]: 28)
Bantahan
Sebagian orang berpendapat bahwa menyerahkan kepemimpinan kepada orang kafir bukanlah perkara yang diharamkan. Mereka beralasan, kepemimpinan adalah tugas administratif yang bebas nilai. Siapa pun boleh mengurusnya asalkan ia memiliki kemampuan memadai.
Benar, di antara tugas kepemimpinan adalah tugas administratif. Namun, salah jika dinyatakan kepemimpinan hanya tugas administratif semata. Kepemimpinan adalah tugas politik (pengaturan urusan rakyat) yang mencakup tugas politis-strategis, peradilan dan administratif. Tugas politis-strategis dan peradilan tidak boleh diserahkan kepada orang kafir secara mutlak. Oleh karena itu orang kafir tidak boleh menjabat sebagai kepala negara (Khalifah), wali, amil, qâdhi, amirul jihad dan tugas-tugas politis-strategis lainnya. Adapun tugas administratif tidak serta-merta boleh dijabat oleh orang kafir secara mutlak; tetapi, harus dirinci berdasarkan fakta tugasnya. Jika penyerahan tugas membawa madarat bagi kaum Muslim, atau membuka ruang bagi orang kafir untuk menyebarkan agama dan keyakinan mereka yang batil, maka tugas itu tidak boleh diserahkan kepada mereka. Di luar batasan ini, orang kafir boleh diserahi jabatan, seperti menjadi guru, pegawai, dan lain sebagainya.
Karena itu opini kelompok sekularis yang mengatakan bahwa kepemimpinan harus netral dan tidak boleh berlandaskan agama tertentu adalah opini keliru; jelas-jelas bertentangan dengan akidah dan syariah Islam. Pasalnya, Islam tidak memisahkan negara dengan agama. Kepemimpinan merupakan bagian dari ajaran Islam yang berfungsi untuk menerapkan syariah Islam secara kâffah di dalam negeri, dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. Syariah Islam adalah satu-satunya hukum yang digunakan Daulah Islamiyah untuk mengatur seluruh interaksi masyarakat (Lihat: QS al-Maidah [5]: 48).
Adapun terkait dengan kontrol masyarakat, sesungguhnya setiap warga negara terikat sepenuhnya dengan syariah Islam. Syariah Islam diterapkan tidak hanya atas kaum Muslim semata, tetapi atas seluruh warga Negara Daulah Islamiyah tanpa memandang agama dan keyakinan mereka. Seluruh warga negara, baik Muslim maupun kafir, diperlakukan sama di depan hukum syariah, tanpa ada diskriminasi sedikitpun. Setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam batas-batas yang telah ditetapkan syariah Islam. Hukum syariah disosialisasikan melalui berbagai macam wasilah yang memungkinkan seluruh rakyat paham dan tanggap hukum. Kesadaran masyarakat terhadap hukum syariah semakin tinggi karena sosialisasi syariah merupakan bagian tak terpisahkan dari dakwah Islam. Ketika masyarakat paham dan sadar terhadap hukum, niscaya akan tercipta kontrol masyarakat yang amat kuat, baik dari sisi negara, masyarakat, dan individu; baik oleh Muslim maupun non-Muslim.
Telah terbukti bahwa kepemimpinan Islam (Khilafah) berhasil mengelola dan mengatur keragaman hingga perbedaan agama, ras, suku bangsa bisa berdampingan dengan rukun dan harmonis. Kepemimpinan yang tegak di atas syariah Islam juga berhasil mewujudkan masyarakat yang menjunjung tinggi keluhuran dan budi pekerti, sejahtera dan makmur. Sebaliknya, kepemimpinan yang tegak di atas paham demokrasi-sekular-liberal nyata-nyata menyengsarakan rakyat, menjauhkan masyarakat dari nilai-nilai luhur dan mulia, mencuatkan konflik, serta menumbuhsuburkan rasialisme meskipun para penjajanya berkoar-koar sebaliknya.
Khatimah
Setelah penjelasan ini, masihkah kita percaya dan mendukung kepemimpinan yang tegak di atas kekufuran?
WalLâhu al-Musta’ân wa Huwa Waliyyu at-Tawfîq. [Fathiy Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy]
Catatan Kaki:
1 Imam Muslim, Syarah Shahih Muslim, juz 8, hal. 35-36