عَنِ ابْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ: «لاَ يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ»
Dari Ibnu al-Musayyib ra., dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda, “Tidak selayaknya seorang Mukmin dipatok ular dari lubang yang sama dua kali.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad).
Latar belakang adanya (sabab al-wurûd) hadis ini dinyatakan oleh Ibnu Hajar al-‘Ashqalani di dalam Fathu al-Bârî, Al-Minawi di dalam Faydh al-Qadîr dan al-‘Ayni di dalam ‘Umdah al-Qârî, bahwa pada saat Perang Badar Rasul menawan Abu ‘Uzzah al-Jumahi asy-Syâ’ir (Muhammad Syamsu al-Haqq al-‘Azhîm al-Abadi Abu ath-Thayyib di dalam ‘Awn al-Ma’bud menyebutkan Abu Ghurrah asy-Syâ’ir). Lalu ia mengatakan kemiskinan dan kefakirannya serta meminta kemurahan hati Rasul saw. Rasul saw. pun membebaskan dia tanpa tebusan, dengan janji ia tidak memprovokasi, memotivasi dan menggerakkan orang di Makkah berperang melawan Rasul saw. Dia pun berjanji demikian. Namun, pada saat Perang Uhud, dia kembali memprovokasi dan menggerakkan orang untuk berperang. Lalu dia pun tertawan kembali di medan Perang Uhud itu. Dia kembali menyebutkan kemiskinan dan kefakirannya serta meminta kemurahan hati Rasul saw. Rasul saw. bersabda ketika itu, “Tidak layak seorang Mukmin dipatok binatang berbisa dari lubang yang sama dua kali. Provokasimu tidak akan menyentuh Makkah dan engkau berkata, ‘Aku mengelabuhi Muhammad dua kali.’”
Kemudian Rasul memerintahkan agar dia dibunuh.
Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim menjelaskan hadis ini dengan mengutip ucapan al-Qadhi, “Lâ yuldaghu diriwayatkan dengan dua bentuk, yang satu dengan dhammah huruf ghin sebagai khabar (berita). Maknanya, seorang Mukmin yang dipuji itu, dia orang yang cerdas dan tegas, yang tidak mudah dipedaya sehingga tidak terpedaya berulang dan tidak menyadari untuk itu. Dikatakan, maksudnya adalah tipuan dalam urusan akhirat, bukan dunia. Sisi kedua, dengan kasrah (yaldaghi) sebagai larangan terpedaya karena kelengahan. Imam an-Nawawi juga menyatakan, di dalam hadis ini, orang yang terkena dharar dari satu sisi harus menjauhi dharar itu agar tidak terjatuh di dalamnya untuk kedua kalinya.
Al-Minawi di dalam Faydh al-Qadîr juga menjelaskan hal serupa. Kata lâ yuldaghu diriwayatkan dengan dua bentuk. Dengan dhammah pada huruf ghin sebagai penafian. Maknanya, seorang Mukmin yang sadar dan tegas tidak didatangi dari sisi kelengahan sehingga ia tertipu berulang-ulang. Lalu dengan kasrah pada huruf ghin sebagai larangan. Artinya, hendaknya Mukmin itu cerdas dan cerdik agar tidak jatuh dalam sesuatu yang tidak disukai setelah sebelumnya sudah terjatuh di dalamnya. Ini merupakan kalimat yang sangat sarat dengan makna yang diucapkan pertama kali oleh Nabi saw. dan belum ada yang mengucapkan hal itu sebelumnya. Beliau bermaksud memberikan peringatan kepada orang Mukmin agar tidak kembali ke tempat dia mendapat madarat sebelumnya. Ini dituntut dalam perkara dunia sebagaimana juga dituntut dalam perkara akhirat. Karena itu seorang Mukmin, jika ia melakukan dosa, hendaklah hatinya merasa sakit seperti orang yang digigit binatang berbisa dari sebuah lubang dan ia gemetar dan tidak kembali lagi.
Ibnu Hajar al-‘Ashqalani di dalam Fathu al-Bârî menjelaskan lafal lâ yuldaghu bahwa al-Khathabi mengatakan, “Ini lafalnya khabar (berita), tetapi maknanya perintah. Artinya, hendaklah seorang Mukmin itu tegas dan awas, tidak didatangi dari sisi kelengahan sehingga dia ditipu berulang-ulang. Hal itu bisa terjadi dalam perkara agama sebagaimana bisa terjadi dalam perkara dunia; dalam perkara agama lebih utama untuk hati-hati. Diriwayatkan dengan kasrah huruf ghin dalam asal sehingga terealisasi makna larangan.”
Dikatakan, lâ yuldaghu al-mu‘min min hujrin marratayn bermakna bahwa siapa yang melakukan dosa lalu dihukum di dunia, dia tidak dihukum lagi di akhirat. Aku (Ibnu Hajar) berkata, jika orang ingin berpendapat demikian maka keumuman berita itu mencakup ini jadi mungkin. Hanya saja, sebab hadis ini menolak hal itu. Itu dikuatkan oleh ucapan orang yang mengatakan, di dalam hadis ini ada peringatan dari kelengahan dan ada isyarat kepenggunaan kecerdasan.”
Abu Ubaid cenderung pada makna, bahwa tidak layak seorang Mukmin jika terkena musibah, ia kembali terkena musibah yang sama. Ini juga menjadi pemahaman banyak orang. Abu Dawud ath-Thayalisi menyatakan, “Tidaklah orang dihukum di dunia karena satu dosa, ia dihukum lagi di akhirat dengan dosa yang sama.”
Dikatakan, “Yang dimaksud dengan Mukmin dalam hadis ini adalah Mukmin yang sempurna, yang pengetahuannya membuat dirinya berhenti pada perkara-perkara yang ambigu sehingga ia berhati-hati dari apa yang akan terjadi. Adapun Mukmin yang bodoh bisa digigit berkali-kali dari lubang yang sama.
Dari hadis ini penting bagi seorang Mukmin berhati-hati dan waspada agar tidak terjebak dalam kesalahan yang sama secara berulang-ulang. Seorang Mukmin harus senantiasa membangun kesadaran agar tidak mengulangi kesalahan dua kali apalagi berkali-kali. Dengan kata lain, seorang Mukmin harus mengambil pelajaran dari apa yang dialami dan apa yang dilakukan agar tidak terjebak pada kesalahan yang sama.
Dalam hal ini penting menjadi orang yang cerdas. Dalam hadis disebutkan, orang yang cerdas yakni orang yang bisa mengambil pelajaran dari orang lain. Belajar dari sejarah orang lain itu penting agar kesalahan dan hal buruk yang terjadi pada orang lain itu bisa dihindari.
Sifat belajar dari sejarah ini penting dimiliki oleh umat Islam apalagi oleh para pemimpin umat Islam. Dengan begitu, umat Islam bisa terhindar dari keburukan dan musibah semaksimal mungkin.
Pengaitan sifat itu dengan kata Mukmin menunjukkan adanya pujian terhadap sifat itu. Itu artinya diperintahkan agar sifat itu dimiliki oleh seorang Mukmin dan umat Islam secara umum, terutama pemimpin umat Islam. Kepekaan untuk bisa belajar dari sejarah ini pada dasarnya merupakan bagian dari kepekaan politik yang selayaknya dimiliki oleh seorang Mukmin dan umat Islam, apalagi pemimpin umat.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]