Seorang qâdhi adalah manusia biasa. Tidak menutup kemungkinan adanya pihak yang tidak puas dengan keputusannya. Pertanyannya, adakah dalam Islam pengadilan banding dan kasasi untuk mewadahi pihak-pihak yang tidak puas dengan putusan seorang qâdhi?
Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam Pasal 83 yang berbunyi: “Tidak ada pengadilan banding tingkat pertama maupun mahkamah banding tingkat kedua (kasasi). Seluruh bentuk pengadilan—dalam hal memutuskan satu perselisihan—kedudukannya sama. Apabila seorang qâdhi memutuskan suatu perkara, keputusannya sah/berlaku. Qâdhi lainnya tidak dapat membatalkan keputusannya, kecuali putusannya tidak berdasarkan (sistem hukum) Islam, atau bertentangan dengan nash yang qath’i (pasti) dari Al-Kitab, As-Sunnah, Ijmak Sahabat, atau vonisnya bertentangan dengan hakikat permasalahannya.” (Hizbut Tahrir, Masyrû’ Dustûr Dawlah al-Khilâfah, hlm. 22).
Tak Ada Pengadilan Banding dan Kasasi
Mengingat keputusan qâdhi (hakim) tidak bisa dibatalkan baik oleh qâdhi itu sendiri maupun oleh qâdhi yang lain, maka di dalam peradilan Islam tidak ada yang namanya pengadilan banding dan kasasi. Dalilnya adalah Ijmak Sahabat. Ketika Abu Bakar menjadi khalifah, banyak masalah yang beliau putuskan menurut ijtihadnya. Ketika Umar menjadi khalifah, beliau memutuskan perkara yang berbeda dengan keputusan Abu Bakar, dan Umar tidak membatalkan keputusan Abu Bakar. Ketika Ali menjadi khalifah, beliau memutuskan perkara yang berbeda dengan ijtihad Umar, dan Ali tidak membatalkan keputusan Umar. Ali juga memutuskan perkara yang berbeda dengan keputusan Abu Bakar dan Umar, dan Ali tidak membatalkan keputusan keduanya. Ibn Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf meriwayatkan dari Salim yang mengatakan: Orang-orang Najran datang kepada Ali. Lalu mereka berkata, “Amirul Mukminin, keputusan di tangan Anda, dan pengampunan ada di lidah Anda, Umar telah membuat kami terusir dari daerah kami, dan kami ingin kembali ke dareah kami.” Ali lalu berkata kepada mereka, “Celakalah kalian, Umar mendapat petunjuk dengan keputusannya dan saya tidak akan mengubah keputusan Umar.” (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 252; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 191).
Diriwayatkan, Umar pernah menggugurkan warisan dari saudara kandung dalam kasus al-musyarrakah (saudara kandung bersekutu dengan saudara seibu dalam menerima warisan). Kemudian pada lain waktu Umar menggabungkan antara saudara seibu dan saudara kandung. Dalam hal ini Umar berkata, “Itu adalah keputusan yang telah kami tetapkan (pada saat itu), dan ini adalah keputusan yang kami tetapkan (saat ini).”
Kedua hukum ini dijalankan meski keduanya bertentangan. Hal ini disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, dan Baihaqi dari al-Hakam bin Mas’ud Al-Tsaqafi. Umar juga memutuskan beberapa kasus yang berbeda terkait kakek, dan Umar tidak pernah menarik apa yang telah diputuskan sebelumnya, seperti yang disebutkan oleh Baihaqi dalam As-Sunan al-Kubra (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 252; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 191).
Memang, ada riwayat bahwa Syuraih pernah memutuskan kasus waris antara dua saudara sepupu dari paman, dan salah satunya saudara seibu, lalu harta diberikan pada saudara seibu. Kemudian hal itu dilaporkan kepada Ali ra. Ali saat itu berkata, “Bawa Syuarih ke saya.” Ketika Syuraih telah datang, Ali bertanya, “Di dalam Kitab Allah yang mana kamu mendapatkan keputusan seperti itu?” Syuraih menjawab, “Allah SWT telah berfirman: Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah (TQS Al-Anfâl [8] : 75).” Ali berkata kepada Syuraih, “Allah SWT pun telah berfirman: Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta (TQS An-Nisa’ [4] : 12).” Lalu Ali membatalkan keputusan Syuraih, sebagaimana hal ini telah disebutkan dalam beberapa riwayat.
Terkait hal ini, Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni pada bab peradilan (al-qadhâ’) menjelaskan, “Dalam pandangan kami, riwayat Ali membatalkan keputusan Syuraih dalilnya tidak kuat. Seandainya kuat, tentu apa yang dilakukan Ali itu adalah karena Ali yakin bahwa keputusan itu menyalahi dalil al-Quran—sebagaimana ayat yang telah disebutkan—sehingga Ali membatalkan keputusan Syuraih tersebut. Banyak hadis sahih yang menyebutkan bahwa para Sahabat telah memutuskan berbagai persoalan dengan ijtihadnya. Bahkan ijtihad mereka berbeda dengan ijtihad Khalifah di era Abu Bakar, Umar dan Ali; namun satu sama lain tidak saling membatalkan. Justru dalil yang sahih menyatakan bahwa Umar pernah membuat keputusan yang berbeda dalam kasus yang sama dan semua keputusan itu beliau jalankan semua. Dalam hal ini Umar berkata, “Itu adalah keputusan yang telah kami tetapkan (pada saat itu), dan ini adalah keputusan yang kami tetapkan (saat ini).” Demikian sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, juga oleh Baihaqi dari al-Hakam bin Mas’ud Al-Tsaqafi. Semua ini menunjukkan bahwa tidak boleh membatalkan keputusan para qâdhi. Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni mengatakan, “Jika ijtihadnya berubah tanpa menyalahi nash (dalil yang sahih), dan tidak pula ijmak, meski ijtihadnya itu berbeda dengan ijtihad sebelumnya, maka itu tidak membatalkannya sekalipun keputusannya berbeda. Sebab, para Sahabat telah berijmak atas hal ini (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 253; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 192).
Ada juga riwayat terkait surat Umar bin al-Khattab ra. kepada Abu Musa yang isinya, “Janganlah keputusan yang telah kamu putuskan kemarin, lalu kamu koreksi dan kamu telah diberikan petunjuk pada kesadaranmu, hal itu mencegah kamu untuk kembali pada kebenaran. Ingat, kebenaran itu abadi. Kembali pada kebenaran itu lebih baik daripada terus menerus di dalam kebatilan.”
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam AS-Sunan dari Said bin Abi Burda, al-Khatib al-Baghdadi dalam At-Târîkh dari Said bin Abihi, dan ad-Daruqutni dari Abi Mulih al-Hudzli. Makna pesan dari surat tersebut adalah, bahwa hukum yang telah diputuskan kemarin, jika kemudian jelas bagi kamu kesalahannya, maka kamu harus menarik darinya untuk kejadian lain, dan memutuskan dengan putusan yang berbeda. Artinya, bukan membatalkan putusan kemarin, karena itu Umar berkata, “Hendaklah kembali pada kebenaran,” bukan “Hendaklah kembali pada keputusanmu.” Kembali pada kebenaran adalah meninggalkan pendapat yang salah dan kembali pada yang benar. Sejauh ini, tidak ada dalil tentang kebolehan membatalkan hukum selama hukum itu berdasarkan syariah. Oleh karena itu, di dalam Islam tidak ada yang disebut dengan yurisprudensi (as-sawâbiq al-qadhâ’iyah). Artinya, kasus sebelumnya dihukum begini, bahkan jika suatu kasus divonis dengan hukum tertentu, maka hukum ini tidak mengharuskan seseorang berjalan di atas hukum itu. Dengan demikian boleh memvonis dengan hukum yang lain untuk kasus serupa jika qâdhi memiliki dugaan kuat bahwa yang benar adalah hukum yang baru. Adapun kasus yang sama yang telah divonis sebelumnya tidak boleh dicabnbut oleh qâdhi dan tidak boleh diubah (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 253; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 193).
Jadi, dalam sistem peradilan Islam tidak terdapat mahkamah-mahkamah banding maupun mahkamah-mahkamah kasasi. Pasalnya, peradilan, dilihat dari sisi pembuatan keputusan dalam suatu perkara, kedudukannya adalah sama. Jika seorang qâdhi telah mengeluarkan keputusan hukum, maka keputusannya itu harus segera dilaksanakan. Keputusan itu tidak bisa dibatalkan oleh qâdhi yang lain. Kaidah syariah mengatakan:
الإِجْتِهَادُ لاَ يُنْقَضُّ بِمِثْلِهِ
Suatu ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad yang semisalnya.
Dengan demikian, seorang mujtahid tidak bisa membatalkan argumentasi mujtahid lain. Karena itu tidak sah adanya mahkamah yang membatalkan keputusan-keputusan hukum mahkamah-mahkamah yang lain (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 253; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 193).
Kapan Keputusan Qâdhi Bisa Dibatalkan?
Namun demikian, jika qâdhi meninggalkan hukum syariah Islam dan memutuskan hukum menggunakan selain syariah Islam, atau jika qâdhi memutuskan hukum yang menyalahi nas yang qath‘i (bersifat pasti) (baik dari al-Kitab, as-Sunnah ataupun Ijmak Sahabat), atau qâdhi memutuskan hukum yang bertentangan dengan hakikat fakta (seperti memutuskan bahwa seseorang dihukum qishâsh karena melakukan pembunuhan yang disengaja, kemudian muncul pembunuh yang sebenarnya), maka dalam kondisi-kondisi ini dan yang semisalnya keputusan qâdhi itu bisa dibatalkan. Hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah saw.:
«مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ»
Siapa saja yang membuat-buat perkara di dalam urusan agama kami yang bukan berasal darinya maka ia tertolak (HR al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah).
Ketetapan di atas juga sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah: Sesungguhnya pernah ada seorang laki-laki berzina dengan seorang wanita. Lalu Rasulullah saw. memberikan keputusan dalam masalah ini hingga si laki-laki itu dihukum cambuk. Kemudian Rasulullah saw. diberitahu bahwa laki-laki itu muhshan (sudah pernah menikah) sehingga beliau pun mengeluarkan perintahnya sehingga laki-laki itu dirajam (HR Abu Dawud).
Selain itu, juga karena Malik bin Anas pernah menuturkan riwayat yang mengatakan: Pernah sampai kepadaku bahwa kepada Utsman pernah didatangkan seorang wanita yang melahirkan dalam enam bulan (setelah pernikahannya) sehingga ia memerintahkan agar wanita itu dirajam. Lalu Ali bin Abi Thalib berkata kepadanya, “Tidak boleh dijatuhkan hukuman rajam kepada wanita itu karena Allah SWT telah berfirman: Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan” (TQS Al-Ahqâf [46] : 15). Allah juga telah berfirman: Hendaklah para ibu menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan anaknya (TQS al-Baqarah [2] : 233).”
Jadi, mengandung itu minimal enam bulan. Karena itu tidak bisa dijatuhkan hukuman rajam kepada wanita itu. Lalu Ustman pun memerintahkan untuk membebaskan wanita tersebut.
Abdur Razaq juga menyampaikan kabar dari Imam ats-Tsauri yang mengatakan, “Jika seorang qâdhi memutuskan perkara yang menyalahi Kitabullah atau Sunnah Rasulullah saw. atau sesuatu yang telah menjadi Ijmak Sahabat maka qâdhi setelah dia harus membatalkan keputusan tersebut.”
Pihak yang berwewenang membatalkan keputusan-keputusan hukum itu adalah Qâdhi Mazhâlim (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 254; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 118; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 194).
WalLâhu a’lam bish-shawâb. [Muhammad Bajuri]
Daftar Bacaan
Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fî al-Hukm wa al-Idârah, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
Hizbut Tahrir, Masyrû’ Dustûr Dawlah al-Khilâfah, edisi Mu’tamadah, (versi terbaru tanggal 03/06/2014), http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_28722.
Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddin, an-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2004.
Zallum, Asy-Syaikh Abdul Qadim, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2002.