Tanah air sebagaimana yang kita ketahui bersama adalah negeri tempat kelahiran. Al-Jurjani mendefiniskan hal ini dengan istilah al-wathan al-ashli yaitu tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya. Artinya, “Al-wathan al-ashli adalah tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya,” (Lihat Ali bin Muhammad bin Ali Al-Jurjani, At-Ta`rifat, Beirut, Darul Kitab Al-‘Arabi, cet ke-1, 1405 H, halaman 327).
Rasulullah saw. sendiri pernah mengekspresikan kecintaanya kepada Makkah sebagai tempat kelahirannya. “Alangkah baiknya engkau sebagai sebuah negeri, dan engkau merupakan negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku dari engkau, niscaya aku tidak tinggal di negeri selainmu,” (HR Ibnu Hibban).
Madinah adalah juga merupakan tanah air Rasulullah saw. Di situlah beliau menetap serta mengembangkan dakwah Islamnya setelah terusir dari Makkah. Di Madinah Rasulullah saw. berhasil dengan baik membentuk komunitas Madinah dengan ditandai lahirnya Watsiqah Madinah (Piagam Madinah).
Cinta tanah air—seperti halnya cinta kekuasaan, harta, anak dan klan—termasuk perkara naluriah (amr gharizi) yang ada pada setiap manusia, baik Mukmin maupun kafir. Islam tidak melarang atau berusaha memberangus naluri itu. Karena termasuk perkara naluriah, cinta tanah air tidak berhubungan samasekali dengan keimanan. Sebab, naluri ini ada pada setiap orang, baik Mukmin maupun kafir, shâlih maupun thâlih. Fakta menunjukkan; banyak orang cinta tanah airnya, bahkan rela mati untuk membelanya; namun ia tidak punya iman. Iman tidak ditentukan oleh sejauh mana kecintaan seseorang pada tanah airnya, tetapi ditentukan sejauh mana ia makrifat dan meyakini perkara-perkara keimanan. Barangkali yang dimaksud “cinta tanah air bagian dari iman” adalah mencintai negeri atau tempat yang menerapkan Islam, dan membelanya karena Islam. Pasalnya, seorang Muslim wajib berjihad melawan orang-orang kafir yang berusaha menguasai negerinya.
Ketika kita berbicara tentang Indonesia, kita tidak berbicara tentang bumi dan tanah Indonesia, yakni kita tidak berbicara tentang Indonesia dari sudut pandang nasionalisme. Sebab, nasionalisme itu konsep yang rendah dan murahan, yang tidak layak untuk mengikat antar manusia di saat manusia ingin berjalan di jalan kebangkitan. Kita juga tidak berbicara tentang Indonesia dari sebuah statemen “Hubbul wathan minal iman (Cinta tanah air sebagian dari iman).” Hadiz palsu ini oleh sebagian ia digunakan untuk mengelabui masyarakat dan berbohong terhadap Rasulullah saw., untuk menanamkan pemikiran nasionalisme dalam pikiran kaum Muslim. Nasionalisme adalah pemikiran yang tidak memiliki landasan dalil sama sekali. Ia adalah sebagian dari pemikiran yang dicekokkan kaum kafir penjajah ke dalam pikiran kaum Muslim, untuk menghancurkan persatuan mereka. Dengan begitu Muslim Indonesia menjadi ashabiyah (fanatik) dengan Indonesianya. Padahal fanatik terhadap bumi dan tanah itu adalah fanatik yang tercela dan dicela oleh Rasulullah saw., bahkan dinilai sebagai bagian dari seruan jahiliah. Kita justru diperintah untuk meninggalkan sikap ‘ashabiyah karena merupakan pemikiran busuk. [Nufus; Alumni PP. Putri Al. Mawaddah Ponorogo]