Assalâmu‘alaikum wa rahmatullâhi wa barakâtuh.
Pembaca yang budiman, demokrasi secara teoretik memang menempatkan rakyat sebagai pihak yang berdaulat. Karena itu demokrasi identik dengan kedaulatan rakyat. Artinya, rakyatlah yang memiliki kewenangan untuk membuat hukum untuk mengatur negaranya. Namun, karena rakyat secara keluruhan tidak mungkin berembuk membuat hukum, maka lewat mekanisme Pemilu, mereka memilih para wakil mereka untuk menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat (MPR/DPR).
Di atas kertas rakyat sepertinya bebas memilih wakil rakyat, termasuk memilih kepala negara dan kepala daerah. Namun secara faktual, pilihan mereka tetap dibatasi oleh kehendak partai yang sering ditentukan oleh elit partai. Karena itu, mau tidak mau, mereka harus memilih calon wakil rakyat, calon kepala negara atau calon kepala daerah yang telah ditentukan partai.
Faktanya, partai-partai yang ada—dengan beragam dalih—menetapkan syarat tertentu yang disebut “mahar” dalam rupa sejumlah uang bagi siapapun yang ingin dicalonkan oleh partai. Karena itu hanya orang-orang yang bermodal kuat atau disokong oleh para cukong yang bisa mencalonkan diri menjadi para caleg, capres/cawapres atau para calon kepala daerah dan wakilnya.
Tentu, keluarnya uang dari para calon atau para cukong yang mendukung calon tertentu yang berjumlah miliaran hingga triliunan rupiah (bagi capres/cawapres) tidaklah gratis. Prinsip untung-rugi berlaku di sini. Di sinilah celah bagi para cukong itu masuk untuk mengintervensi kekuasaan dan pemerintahan. Akibatnya, mudah diduga. Baik eksekutif maupun legislatif terpilih pada akhirnya mengeluarkan banyak UU, aturan dan kebijakan yang lebih mementingkan para cukong atau korporasinya yang telah menyokong mereka, ketimbang mementingkan rakyat kebanyakan. Alhasil, rezim demokrasi pada akhirnya sering tunduk pada korporasi atau para cukong, ketimbang pada kehendak rakyat.
Di seputar itulah tema utama al-waie kali ini, selain sejumlah tema menarik lainnya. Selamat membaca!
Wassalâmu‘alaikum wa rahmatullâhi wa barakâtuh.