Sebelum membahas ada-tidaknya gubenur kafir di era Khilafah, ada baiknya kita pahami bagaimana kedudukan orang kafir di dalam negara Khilafah, dalam status mereka sebagai warga negara. Orang kafir yang hidup di dalam Negara Khilafah berstatus sebagai Ahli Dzimmah karena mereka melakukan akad dzimmah dengan negara, bukan akad baiat.
Akad dzimmah didefinisikan oleh para fuqaha’ sebagai keterikatan seorang Imam (Khalifah) atau wakilnya untuk membenarkan sebagian kaum kafir menetap di wilayah Islam, dengan syarat mereka membayar jizyah dan terikat dengan hukum-hukum Islam yang terkait dengan mereka.1 Akad dzimmah yang diajukan oleh orang kafir agar dibenarkan menetap di wilayah Islam hanya dibolehkan dengan dua syarat: kewajiban membayar jizyah serta ketundukan dan keterikatan pada hukum Islam secara umum.2
Dari sini bisa dipahami, bahwa orang kafir yang menjadi Ahli Dzimmah mempunyai kewajiban yang wajib mereka tunaikan, juga hak yang mereka dapatkan dari negara. Kewajiban itu antara lain: (1) membayar jizyah; (2) membayara kharaj; (3) membayar ‘usyur; (4) terikat dengan hukum Islam; (5) terikat dengan syarat yang mereka sepakati degan negara. Adapun haknya antara lain: (1) agama—termasuk apa saja yang dibenarkan oleh agama mereka seperti makan, minum, pakaian, nikah dan cerai—akan dilindungi; (2) darah, harta dan kehormatan mereka dijaga; (3) jaminan pendidikan, kesehatan dan keamanan; (4) jaminan pemenuhan kebutuhan pokok seperti sandang, papan dan pangan.3
Jabatan Pemerintahan
Pemerintahan di sini sering diistilahkan oleh para fuqaha’ dengan istilah al-hukm. Orang atau pemangkunya disebut al-hâkim. Bentuk jamaknya adalah al-hukkâm. Dia adalah orang yang menjalankan hukum kepada rakyat.4 Istilah al-hâkim di sini bukan al-hâkim dengan konotasi pembuat hukum, sebagaimana yang dimaksud oleh para ulama ushul fiqih;5 juga bukan hakim, dengan konotasi al-qâdhi, yang memutuskan perkara di pengadilan.
Mengenai jabatan pemerintahan [al-hukm] dan pemangkunya [al-hâkim] seperti kepala negara [Khalîfah], wakil kepala negara [Wazîr Tafwîdh], kepala daerah tingkat I [Wali], kepala daerah tingkat II [‘Amil], dan kepala desa [ra’is baladiyyah] telah ditetapkan sebagai hak kaum Muslim. Dalam hal ini, dengan tegas Allah SWT menyatakan, “Wa lan yaj’ala-Llâhu li al-kâfirîn ‘ala al-Mu’minîn sabîla (Allah sekali-kali tidak akan memberi orang kafir jalan untuk berkuasa atas kaum Muslim).” (QS an-Nisa’ [4]: 141).
Dalam kitab Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, Imam al-Mawardi, menyatakan bahwa syarat Wali sama dengan Wazîr Tafwîdh dan Wazîr Tafwîdh sama dengan Khalifah, kecuali soal nasab, yang tidak disyaratkan harus Quraisy. Dengan tegas, al-Mawardi membedakan Wazîr Tafwîdh dengan Wazîr Tanfîdz. Wazîr Tafwîdh seperti Khalifah; bedanya dia diangkat oleh Khalifah dengan akad niyâbah (sebagai wakil Khalifah). Karena itu Khalifah bisa membatalkan keputusan Wazîr Tafwîdh, tetapi tidak sebaliknya.6
Adapun Wazîr Tanfîdz tugasnya bersifat administratif dan teknis, yaitu melaksanakan keputusan yang berasal dari Khalifah kepada yang lain, dan menghubungkan pihak lain dengan Khalifah. Karena faktanya seperti itu, menurut al-Mawardi, orang kafir yang menjadi Ahli Dzimmah boleh menjadi Wazîr Tanfîdz.7 Namun, pendapat ini dilemahkan oleh al-‘Allamah Imam al-Haramain al-Juwaini dan al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani.8 Alasannya, meski Wazîr Tanfîdz bukanlah al-hakim, ia tetap berhubungan erat dengan pemerintahan [al-hukm], dan memegang rahasia pemangku pemerintahan [al-hâkim]. Karena itu orang kafir tetap tidak boleh menjabat jabatan Wazîr Tanfîdz. Dasarnya firman Allah SWT, “Ya Ayyuha al-ladzîna âmanû lâ tattakhidzûna bithânat[an] min dûnikum (Wahai orang-orang beriman, janganlah kalian menjadikan orang lain, di luar kalian (orang kafir) sebagai teman kepercayaan kalian.” (QS Ali Imran [3]: 118).
Jabatan Administratif
Jabatan administratif adalah jabatan non-pemerintahan [ghayr al-hukm], tepatnya administrasi [al-idârah]. Jabatan administratif ini tidak membuat keputusan dan menjalankan hukum, tetapi benar-benar hanya menjalankan keputusan pemerintah, dan lebih bersifat teknis; seperti kepala departemen, bidang, biro, sekretaris dan sebagainya. Dalam konteks ini, sebenarnya Wazîr Tanfîdz di satu sisi merupakan jabatan administratif. Namun, karena menjadi penghubung Khalifah dengan yang lain, maka dia terkait erat dengan pemerintahan. Karena itu orang kafir tetap tidak dibolehkan menjabat jabatan ini.
Namun, tidak ada larangan bagi orang kafir menjadi kepala departemen, bidang, biro, sekretaris dan sebagainya. Hanya saja, ada beberapa jabatan yang tidak termasuk jabatan pemerintahan seperti peradilan [al-qadhâ’], ketentaraan [jaisy], kepolisian [syurthah], termasuk lembaga perwakilan rakyat [majlis ummah] yang tetap tidak boleh dijabat oleh orang kafir.
Dalam hal ini, orang kafir tidak dibenarkan menjadi hakim [qâdhi]. Ini adalah pendapat jumhur ahli fikih, kecuali Abu Hanifah, yang membolehkan orang kafir menjadi hakim, namun hanya khusus untuk mengadili kasus orang yang seagama, jika kasusnya terkait dengan agamanya, seperti pernikahan dan perceraiaan di antara sesama mereka.9
Adapun panglima tentara [Amîr Jihâd], kepala polisi [Ra’îs Syurthah], Ketua Majelis Umat [Ra’îs Majlis al-Ummah] tidak boleh dijabat oleh orang kafir. Meski demikian, mereka boleh menjadi tentara, polisi dan anggota Majelis Umat.
Jabatan Non-Pemerintahan dan Administratif
Meski dalam sistem Khilafah tidak mengenal istilah oposisi, partai politik posisinya tetap di luar pemerintahan. Begitu juga sebaliknya. Meski pemerintah ketika berkuasa di antarkan oleh partai politik, tidak ada istilah the rulling party (partai berkuasa). Tugas partai politik di sini jelas untuk melakukan edukasi terhadap umat serta mengontrol dan mengoreksi penguasa jika melakukan pelanggaran.
Karena itu tidak ada satu pun partai politik, bahkan badan perkumpulan, yang dibentuk dengan dasar selain Islam. Dengan kata lain, semua partai politik dan badan perkumpulan dasar dan garis perjuangannya adalah Islam, bukan yang lain. Dengan begitu, orang kafir pun tidak bisa menjabat sebagai ketua partai politik, atau membentuk partai politik dan badan perkumpulan berdasarkan agama mereka.
Selain itu, tugas yang diemban dan dijalankan oleh partai politik ini juga berhubungan dengan urusan pemerintahan. Tugas seperti ini juga tidak boleh diemban dan dijalankan oleh orang kafir. Tugas mengontrol dan mengoreksi juga bukan merupakan kewajiban orang kafir. Bahkan di sini mereka pun tidak diberi hak untuk melakukan itu.
Karena itu, meski menjadi ketua partai politik bukan jabatan pemerintahan atau administratif, sebaliknya ini adalah jabatan di luar pemerintahan, tetap saja orang kafir tidak boleh menjabat jabatan ini.
Non-Muslim yang Menjabat Jabatan Pemerintahan
Para fuqaha’, sebagaimana yang telah dinyatakan di atas, mempunyai pandangan yang jelas. Pertama, tugas utama dalam ketatanegaraan—seperti Khalifah, Mu’awin, Wali, Qadha’, Amir Jihad dan Rais Majelis Umat—bukanlah hak setiap orang karena ada pengecualian yang diberikan oleh syariah. Karena itu mereka sepakat, bahwa Ahli Dzimmah tidak boleh menduduki jabatan-jabatan tersebut. Kedua, jabatan administratif adalah jabatan teknis, dan tidak lebih dari uslûb, yang bisa berubah sesuai dengan kebutuhan. Mereka yang menduduki jabatan tersebut statusnya tak lebih dari tenaga kontrak [ajîr].
Namun, karena sejarah Khilafah adalah sejarah negara manusia [dawlah basyariyyah], bukan negara malaikat [dawlah malakiyyah-ilahiyyah], maka faktor human error tetap ada. Ini terjadi lebih karena kesalahan manusia dalam menerapkan sistem Islam, bukan kesalahan sistem Islamnya itu sendiri.
Di era Khulafâ’ Râsyidîn, orang kafir tidak ada yang menduduki jabatan pemerintahan. Adapun kasus Abu Musa al-Asy’ari, wali Irak, yang mengangkat orang Yahudi sebagai sekretarisnya, kedudukannya tak lebih dari sekretaris [kâtib] dan ajîr. Karena itu jabatan ini bukan jabatan pemerintahan.10 Begitu juga di era Khilafah Bani Umayyah, tidak ada jabatan pemerintahan yang dijabat oleh orang kafir. Kalaupun ada, seperti Samir, yang beragama Yahudi, yang ditugasi Khalifah ‘Abdul Malik bin Marwan mencetak uang sehingga dikenal dengan “Dirham Samiri”. Ini pun bukan tugas pemerintahan, tetapi lebih pada teknis dan uslûb saja.11
Hal yang sama, ketika Ibn Sarjun, yang beragama Kristen, ditugaskan oleh Khalifah ‘Abdul Malik bin Marwan menjadi sektretaris Diwan.12 Ini sebelum Diwan diubah dalam bahasa Arab. Setelah Diwan diubah dalam bahasa Arab, Ibn Sarjun pun diganti dengan orang Arab.13
Ketika Mesir ditaklukkan kaum Muslim pada zaman khalifah Umar bin al-Khaththab, oleh ‘Amru bin al-‘Ash, saat itu Mesir adalah wilayah Romawi Timur [Bizantium]. Setelah wilayah ini ditaklukkan, banyak pegawai non-Muslim tetap dipertahankan. Hanya saja, semuanya ini tidak lebih dari tugas administrasi, teknis, dan status mereka adalah ajîr. Hal yang sama, ketika Khalifah Sulaiman bin ‘Abdul Malik mengangkat Petrik Ibn Naqa, yang beragama Kristen, sebagai pengawas proyek konstruksi dan bangunan di Palestina. Kedudukan Ibn Naqa tak lebih dari pegawai admistrasi [teknis].14
Baru di era Khilafah ‘Abbasiyyah, orang-orang kafir menduduki jabatan penting. Nashr bin Harun, beragama Nasrani, diangkat menjadi Wazir ‘Adhud ad-Daulah. Khalifah al-Mu’tadhid mengangkat Tsabit bin Qurrah sebagai Wazir. Khalifah al-‘Aziz di Mesir mengangkat Wazir beragama Nasrani. Hanya saja, jabatan Wazir di sini, khususnya Wazir Tanfidz, ada perbedaan pendapat, antara al-Qadhi al-Mawardi dengan yang lain.15
Selain itu, konon al-Mu’tadhid juga mengangkat ‘Umar bin Yusuf sebagai Wali di Anbar, Irak. Hal yang sama juga konon dilakukan oleh Yazid bin Mua’awiyah, di era Khilafah Bani Umayyah, saat menjadikan orang Nasrani sebagai Wali di Mesir, setelah Mesir ditaklukkan kaum Muslim. Hanya saja, kedua riwayat ini agak sulit dilacak sumbernya. Kalaupun benar, kedua kasus ini bisa dianggap sebagai kesalahan, sekaligus tidak bisa dijadikan rujukan [sumber] hukum.
Adapun jabatan kâtib [sekretaris], kepala dokter, dan lain-lain yang dijabat orang kafir memang banyak. Namun, semua jabatan ini bukan jabatan pemerintahan. Sebagai contoh, Abu Ishaq, penganut Shabiah [sekretaris], Jibril [dokter], Hunain bin Ishaq [dokter], Yuhanah bin Masawih [dokter] dan Salamiyeh [dokter].
Hanya saja, perlu dicatat, semua posisi dan jabatan ini bisa mereka dapatkan karena toleransi Islam dan kaum Muslim kepada mereka. Cukuplah ucapan terima kasih seorang Yahudi, di Istanbul, kepada Khalifah terakhir, saat diusir dari istananya, Dolmabahce, diasingkan ke Prancis, menjadi bukti. Saat orang Yahudi itu mendapat ucapan terima kasih sang Khalifah, karena hidangan tehnya kepada Khalifah, dia balik mengatakan, “Hambalah yang harus berterima kasih kepada Tuan atas kemurahan Tuan selama ini.”
WalLâhu a’lam. [KH Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
1 Dr. Nimr an-Nimr, Ahlu ad-Dzimmah wa al-Wilâyat al-‘Ammah fî al-Fiqh al-Islâmi, al-Maktabah al-Islamiyyah, ‘Amman Yordania, t.t., hlm. 97.
2 Muhammad Buhait al-Muthi’i, Takmilah al-Majmû’, XVIII/168.
3 Dr. Nimr an-Nimr, Ahlu ad-Dzimmah wa al-Wilâyat al-‘Ammah fî al-Fiqh al-Islâmi, al-Maktabah al-Islamiyyah, ‘Amman Yordania, t.t., hlm. 109-142.
4 Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani, Nizhâm al-Hukmi fî al-Islâm, Dar al-Ummah, Beirut, cet. VI, edisi Muktamadah, 1422 H/2002 M, hlm. 15; Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Dar al-Ummah, Beirut, cet. VI, edisi Muktamadah, 1426 H/2005 M, III/14.
5 Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani, Nizhâm al-Hukmi fî al-Islâm, Dar al-Ummah, Beirut, cet. VI, edisi Muktamadah, 1422 H/2002 M, hlm. 15; Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Dar al-Ummah, Beirut, cet. VI, edisi Muktamadah, 1426 H/2005 M, III/14.
6 Al-‘Allamah al-Qadhi al-Mawardi as-Syafii, Al-Ahkâm ash-Sulthâniyyah, Maktabah Dar Ibn Qutaibah, Kuweit, cet. I, 1989 M/1409 H, hlm. 32, 34, 36.
7 Ibid, hlm. 36.
8 Al-‘Allamah Imam al-Haramain al-Juwaini, Ghiyâts al-Umam fî Tiyyâts azh-Zhulam, Dar ad-Da’wah, t.t., hlm. 114; al-Qadhi an-Nabhani, Nizhâm al-Hukmi fî al-Islâm, Dar al-Ummah, Beirut, cet. VI, edisi Muktamadah, 1422 H/2002 M, hlm. 138.
9 Al-‘Allamah al-Qadhi al-Farra’, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah.
10 Dr. ‘Ali Husni al-Kharthbuli, Al-Islâm wa Ahlu ad-Dzimmah, al-Majlis al-A’la li as-Syu’un al-Islamiyyah, Kaero, t.t., hlm. 131.
11 Ibid, hlm. 131.
12 Ibid, hlm. 132.
13 Pergantian Ibn Sarjun dilakukan oleh Khalifah ‘Abdul Malik bin Marwan karena Ibn Sarjun diketahui menggunakan air kencingnya untuk tinta, saat menulis Diwan, ketika tintanya habis. Lihat: Al-‘Allamah as-Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, Dar al-Kitab li al-Malayin, Beirut, hlm. 21.
14 Dr. ‘Ali Husni al-Kharthbuli, Ibid, hlm. 132.
15 Dr. ‘Ali Husni al-Kharthbuli, Ibid, hlm. 143.