HTI

Iqtishadiyah

APBN 2017: Menzalimi Rakyat dan Mengabaikan Islam


APBN 2017 telah disahkan DPR. Meskipun isinya banyak yang berdampak serius bagi kelangsungan hidup rakyat, tak ada respon berlebihan baik dari masyarakat termasuk DPR. Di kalangan anggota DPR juga tidak ada perdebatan berarti yang mengundang liputan media. Mengingat mayoritas anggota DPR saat ini merupakan anggota partai pendukung Pemerintah. Partai yang memposisikan diri sebagai oposisi juga menganggap di dalam APBN kali ini tidak ada masalah yang perlu dipersoalkan.

 

Pendapatan

APBN 2017 dibuat dengan asumsi pertumbuhan ekonomi tahun 2017 sebesar 5,1 persen dan tingkat inflasi 4 persen. Nilai tukar rupiah terhadap dolar dipatok Rp 13.300. Harga minyak diproyeksikan masih US$45 perbarel sebagaiamana tahun lalu. Anggaran pendapatan direncanakan Rp 1.750 triliun. Belanja negara ditargetkan Rp 2.080 triliun. Dengan demikian, defisit mencapai Rp 330 triliun.

Sektor perpajakan masih menjadi sumber penerimaan utama dengan porsi 86 persen dari total penerimaan atau meningkat dari 10 tahun yang lalu yang masih 66 persen. Ini menunjukkan semakin bergantungnya Pemerintah pada rakyatnya. Berbagai strategi dilakukan untuk memperbanyak jumlah wajib pajak selain memperkaya jenis-jenis pungutan kepada rakyat baik dalam bentuk pajak maupun retribusi.

Optimisme Pemerintah mendapatkan penerimaan pajak dari tax amnesty dan intensifikasi penerimaan dari sumber-sumber yang selama ini belum tergali nyatanya tidak sesuai dengan harapan. Penerimaan tarif tebusan tax amnesty yang berakhir akhir tahun ini hingga 14 November 2016 baru mencapai Rp 94.3 triliun atau 57 persen dari target Pemerintah Rp 165 triliun.

Meskipun Pemerintah terus menggali sumber penerimaan pajak baru termasuk dari wajib pajak baru yang terjaring dalam tax amnesty, pada saat yang sama Pemerintah juga memberikan berbagai insentif pajak untuk meningkatkan iklim investasi di negara ini. Beberapa contoh insentif tersebut seperti menanggung pajak untuk investor di sektor energi panas bumi dan Pajak Pertambahan Nilai bagi investor yang membeli obligasi valas Pemerintah. Pada tahun 2015, pajak yang ditanggung Pemerintah untuk dua hal itu mencapai Rp 8,5 triliun.

Melemahnya peran negara dalam mencari sumber pendapatan dari selain pajak terlihat dari terus turunnya porsi penerimaan dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) baik dari sumberdaya alam dan laba BUMN. PNBP sendiri hanya 14 persen dari total penerimaan 2017. Itu pun porsinya terus menyusut sejalan dengan makin rendahnya kontrol Pemerintah pada sumber-sumber penerimaan tersebut selain harga sumberdaya alam yang sedang turun. Apalagi harga komoditas seperti minyak bumi dan batubara dalam beberapa tahun terakhir merosot tajam. Tahun depan penerimaan dari sumberdaya alam hanya dianggarkan Rp 80 triliun, lebih rendah dari tahun yang mencapai Rp90 triliun. Adapun pendapatan laba BUMN naik dari Rp 34 triliun menjadi Rp 38 triliun.

 

Belanja

Untuk belanja APBN tahun 2017, Pemerintah lebih banyak berorientasi pada pembangunan yang menjadi simpul-simpul pendorong pertumbuhan ekonomi. Ini dengan asumsi bahwa jika ekonomi tumbuh tinggi maka kesejahteraan akan meningkat sejalan dengan prinsip “menetes ke bawah.” Pemerintah berpandangan bahwa infrastruktur menjadi salah satu pendorong utama pertumbuhan investasi baik asing maupun domestik. Pembangunan jalan tol, bandara, jalur kereta api merupakan bentuk-bentuk infrastruktur utama yang didorong pembangunannya. Pada APBN 2017, total anggaran infrastruktur sebesar Rp 387 triliun, naik dari Rp 317 triliun pada APBN 2016.

Untuk membiayai anggaran tersebut, Pemerintah menempuh berbagai cara di antaranya dengan mencabut subsidi dan meningkatkan utang Pemerintah. Pemerintah juga mendorong partisipasi swasta untuk ikut ambil bagian. Dengan model Kemitraan Pemerintah-Swasta (KPS), pihak swasta baik asing dan domestik diberi insentif agar tertarik membangun infrastruktur. Untuk jalan tol, misalnya, selain dana pendampingan, Pemerintah juga menerbitkan sejumlah regulasi berserta badan khusus yang bertugas untuk memberikan rasa nyaman bagi para investor. Tarif, misalnya, dinaikkan secara berkala sejalan dengan kenaikan inflasi. Hal serupa juga berlangsung pada pembangunan infrastruktur seperti pembangkit listrik dan rel kereta api.

Kebijakan Pemerintah untuk terus mengurangi subsidi juga tercermin pada APBN 2017. Rezim yang sebelumnya dianggap pro rakyat. Dalam kenyataannya justru membabat habis subsidi. Jika dulu Pemerintah berkilah bahwa subsidi tidak tepat sasaran, saat ini diopinikan menjadi subsidi tidak produktif dan oleh karena itu harus dicabut.

Jika tahun ini subsidi ditetapkan sebesar Rp 178 triliun maka tahun depan turun menjadi Rp 160 triliun. Penurunan terbesar ada pada subsidi BBM dan LPG yang turun Rp 10 triliun menjadi Rp 32,3 triliun. Pasalnya, elpiji tiga kilogram selama ini dianggap tidak tepat sasaran. Nantinya distribusi barang yang merupakan hajat hidup orang banyak itu bersifat tertutup; hanya penduduk miskin yang ada dalam catatan Pemerintah yang dapat subsidi. Terus menurunnya alokasi subsidi BBM dan gas tercermin dari laporan keuangan Pertamina. Dari penjualan penjualan produk BBM Pertamina tahun 2015 sebanyak Rp 489 triliun, hanya 9 persen yang disubsidi.

Penurunan subsidi juga terjadi pada listrik. Tahun depan anggaran subsidi listrik hanya Rp 45 triliun, lebih rendah dari tahun ini yang mencapai Rp 48,6 triliun. Berdasarkan kesepakatan Pemerintah dengan Badan Anggaran DPR, jumlah penerima subsidi pelanggan rumah tangga dengan daya 450 VA dikurangi dari 23,1 juta pelanggan menjadi 19,1 juta pelanggan. Pemangkasan besar-besaran dilakukan pada pelanggan rumah tangga dengan daya 900 VA. Jumlahnya dikurangi dari 22,96 juta pelanggan menjadi hanya 4,05 juta pelanggan. Nantinya tarif mereka akan dikurangi secara bertahap tiga kali dalam dua bulan hingga subsidi tak lagi bersisa. Alasan Pemerintah, pelanggan tersebut dianggap tidak layak menerima subsidi. Pada tahun 2017 porsi subsidi pada penjualan PLN hanya 20 persen dari total penjualan sebanyak Rp 312 triliun.

Data penduduk miskin yang menjadi pegangan Pemerintah adalah data TNP2K yang selama ini banyak dipersoalkan termasuk oleh BPK yang menganggap data lembaga tersebut tidak valid dan tidak mutakhir. Jika datanya demikian, eksekusi kebijakan di atas juga berpotensi salah sasaran. Dampaknya, sebagian orang kaya mendapat subsidi, sementara banyak yang miskin sama sekali tidak mendapatkan subsidi. Persoalan yang serupa juga terjadi pada subsidi raskin, pupuk, Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

 

Pembiayaan

Meningkatnya hasrat Pemerintah untuk berbelanja terutama untuk infrastruktur dan jauh melampaui pendapatan membuat defisit kian besar. Pada tahun 2017, defisit dipatok pada angka Rp 330 triliun. Akibatnya, anggaran untuk membiayai bunga utang meningkat tajam. Pada tahun 2017, alokasi anggaran untuk membayar utang mencapai Rp 221 triliun. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan anggaran subsidi yang hanya Rp 160 triliun.

Menariknya, strategi penarikan utang Pemerintah telah bergeser dari bertumpu pada utang luar negeri yang berasal dari negara atau lembaga multinasional beralih ke sumber pembiayaan obligasi. Dengan demikian, jika sebelumnya Pemerintah lebih banyak berutang kepada negara atau institusi seperti Bank Dunia dan ADB, maka saat ini Pemerintah semakin bergantung kepada investor di pasar modal baik asing maupun domestik. Memang tidak banyaak risiko yang terkait dengan klausul yang harus dipenuhi seperti pada utang luar negeri. Namun, risiko dari pembiayaan obligasi terletak pada bunganya yang mengambang. Jika kondisi ekonomi memburuk seperti inflasi tinggi ataupun nilai tukar rupiah melemah, investor melalui mekanisme pasar akan meminta suku bunga yang lebih tinggi. Dalam kondisi ini Pemerintah tentu tak bisa mengelak. Jika tak mampu membayar dapat dikategorikan default alias bangkrut seperti yang menimpa Yunani. Kondisi ini membuat beban yang ditanggung oleh negara menjadi semakin besar. Tahun depan total obligasi yang akan diterbitkan Pemerintah mencapai Rp 604 triliun. Selain membiayai defisit, sebagian digunakan untuk membiayai utang yang jatuh tempo. Agar lebih menarik, tahun depan pajak atas pendapatan bunga obligasi sebesar 20 persen akan dihapus. Alhasil, para investor tak hanya dinganjar suku bunga, namun juga bebas pajak.

 

Dampak

Lalu pertanyaannya, apakah politik anggaran Pemerintah seperti di atas telah mampu meningkatkan kesejahteraan negara ini? Untuk menjawab hal ini cukup melihat bagaimana indikator-indikator kesejahteraan yang dikeluarkan Pemerintah. Penduduk miskin di negara ini hingga saat ini jumlahnya mencapai 28 juta orang atau 11 persen dari total penduduk Indonesia. Ini pun dengan batas garis kemiskinan yang banyak diperdebatkan tingkat kemanusiawiannya mengingat rata-rata pengeluaran orang yang disebut miskin hanya Rp 354 ribu perjiwa. Angka ketimpangan juga semakin lebar meskipun setahun terakhir sedikit menyusut akibat pendapatan orang-orang kaya sedang turun akibat turunnya suku bunga dan harga komoditas global. Pada saat yang sama tingkat keparahan dan kedalaman penduduk miskin semakin tinggi. Indeks kedalaman kemiskinan naik dari 1,75 pada Maret 2013 menjadi 1,95 tahun 2016. Artinya, kondisi hidup penduduk miskin saat ini semakin memburuk. Program-program peningkatan kesejahteraan penduduk penduduk miskin ala Pemerintah semakin dipertanyakan efektifitasnya.

Dari sisi pekerjaan, rakyat negeri ini relatif kreatif untuk bekerja secara mandiri. Peran Pemerintah dalam membantu menyediakan lapangan kerja sejak lama telah hilang dari benak rakyat banyak. Meskipun demikian, pada angka pengangguran pada Februari 2016 jumlahnya masih 5 persen dari 128 juta angkatan kerja. Meskipun demikian, menarik untuk merenungkan definisi orang bekerja versi BPS: “Kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. Kegiatan tersebut termasuk pola kegiatan pekerja tak dibayar yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi.”

Meningkatnya jumlah penduduk yang bekerja saat ini banyak tertolong oleh kegiatan informal yang diciptakan sendiri oleh masyarakat. Meskipun angka pengangguran turun, pada saat yang sama pengeluaran mereka terus meningkat. Meskipun 20 persen APBN dialokasikan untuk pendidikan yang pada tahun 207 mencapai Rp 414 triliun, kenyataannya masih banyak penduduk yang tak dapat bersekolah. Mereka yang sekolah juga masih harus menanggung biaya yang sangat mahal. Pada saat yang sama, anggaran kesehatan dipatok lima persen. Namun dalam kenyataannya, masih sangat banyak penduduk yang kesulitan untuk berobat secara layak.

 

Mengabaikan Islam

Potret politik anggaran Pemerintah negara ini jika ditinjau dari sisi dampak bagi kesejahteraan rakyat tentu masih jauh dari optimal. Meskipun demikian, persoalan mendasar bukan semata pada tidak efektif dan efisiennnya pengelolaan anggaran. Bagi sebagian orang persoalan ini bisa diselesaikan dengan memperbaiki kualitas penerimaan dan belanja agar menjadi lebih efektif sembari meminimalkan kebocoran terutama akibat korupsi. Seiring dengan waktu Indonesia akan menjadi seperti negara-negara maju di dunia ini yang juga menggunakan model APBN yang serupa.

Namun, jika persoalannya dilihat dari kacamata akidah Islam, sejatinya pengelolaan APBN saat ini sudah melenceng jauh dan melecehkan ketentuan yang telah digariskan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Penyusunan APBN murni didasarkan pada sistem Kapitalisme yang prinsipnya memisahkan peran Islam dalam pengelolaan negara termasuk dalam penyusunan APBN. Buktinya amat banyak, seperti menggantungkan penerimaan negara dari pajak meskipun menyusahkan rakyat; membiayai defisit dengan utang ribawi dengan bunga ratusan triliun dan klausul yang merugikan negara; menyerahkan pengelolaan sumberdaya alam kepada asing dan puas dengan royalti minim; menyediakan infrastruktur publik yang dikelola dengan pendekatan bisnis; mengabaikan hak-hak sebagian penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasarnya secara layak; mengkomersilkan layanan pendidikan; mengalihkan sebagian besar tanggung jawab pembiayaan kesehatan kepada rakyat lewat BPJS; dan sebagainya. Hal-hal demikian tentu saja berseberangan dengan ketentuan Islam yang telah qathi hukumnya di dalam al-Quran dan as-Sunnah.

Alhasil, penyusunan APBN dengan dasar sistem Kapitalisme terbukti tidak hanya menzalimi rakyat banyak, namun juga telah melecehkan banyak ketentuan yang terkandung di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Oleh karena itu, selain terus menjaga kedudukan sumber hukum tersebut agar tetap mulia, pada saat yang sama isi kandungannya pun wajib dimuliakan dengan cara menerapkannnya secara paripurna.

Meskipun demikian, APBN hanyalah turunan dari berbagai ketentuan perundang-undangan di negara ini seperti UUD, UU Keuangan Negara dan UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang kait mengkait dalam satu sistem. Jika demikian, pelurusan model penyusunan APBN ujung-ujungnya meniscayakan adanya perubahan sistem pemerintahan dari sistem yang berbasis demokrasi kapitalisme menjadi menjadi sistem pemerintahan yang berbasis akidah Islam, yakni Khilafah Islamiyyah yang ditegakkan sesuai dengan metode yang digariskan oleh Nabi Muhammad saw. Dengan cara itu, bukan hanya keberkahan dan kesejahteraan dunia yang akan diraih, namun juga pahala dan keridhaan dari Allah SWT. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*