HTI

Soal Jawab (Al Waie)

Betulkah Keharaman Pemimpin Kafir Tidak Mutlak?


Soal:

Bagaimana mendudukkan sebab turunnya ayat yang terkait dengan keharaman pemimpin kafir, dengan keumuman ayat tersebut dalam konteks sekarang?

 

Jawab:

Konteks larangan Allah SWT menjadikan orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin bagi kaum Mukmin telah dinyatakan dengan menggunakan kalimat larangan; Lam Nahi dan Fi’il Mudhari’, sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Quran:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ﴾

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin (kalian); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Siapa saja di antara kalian menjadikan mereka sebagai pemimpin, sungguh orang itu termasuk golongan mereka. Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim (QS al-Maidah [5]: 51).

 

Imam al-Qurthubi menjelaskan bahwa struktur kalimat, “La Tattakhidzu (Janganlah kalian menjadikan)” adalah kata kerja dengan dua obyek [maf’ul bih], yaitu al-Yahuda wa an-Nashara (Yahudi dan Nasrani) dan Awliya’ [teman setia/pemimpin]. Karena itu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai Awliya’ (teman setia/pemimpin) bagi orang Mukmin tegas dilarang.

Allah SWT memberikan penjelasan, “Ba’dhuhum awliya’u ba’dh[in] (Sebagian di antara mereka adalah teman/pelindung bagi sebagian yang lain).” Maksudnya, bagaimana mungkin kalian akan menjadikan mereka sebagai teman setia/pemimpin, sementara mereka, Yahudi dengan Yahudi, atau Nasrani dengan Nasrani, itu satu sama lain merupakan teman setia, yang saling menjaga dan melindungi?

Karena itu Allah menegaskan, “Wa man yatawallahum minkum fa innahu minhum (Siapa saja di antara kalian yang menjadikan mereka sebagai teman setia/pemimpin, sungguh dia adalah bagian dari mereka).”

Konteks dhamîr (kata ganti) “kum (kalian) di dalam ayat ini memang merujuk pada dua: Pertama, orang Mukmin, karena memang seruannya berbunyi, “Ya ayyuha al-ladzina âmanû (Wahai orang-orang beriman)”, yang secara lahir dan batin memang beriman. Kedua, orang munafik yang secara lahiriah menampakkan keimanannya, namun secara batiniah sesungguhnya kafir.

Orang Mukmin jelas, begitu dilarang dengan tegas oleh Allah SWT, “Lâ tattakhidzû al-Yahûda wa an-Nashâra awliyâ’ (Janganlah kalian menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia/pemimpin),” sikapnya adalah, “Sami’nâ wa atha’nâ (Kami dengar dan taati).” Namun, sikap orang munafik adalag, “Sami’nâ wa ‘ashaynâ (Kami dengar, tetapi kami tak mau taat).”

Karena itu mereka inilah yang dinyatakan, “Fainnahu minhum (Sesungguhnya dia bagian dari mereka).” Bisa dengan konotasi, sama-sama kafir, karena memang secara batiniahnya memang begitu, atau sama-sama berdoa, seperti mereka, karena secara lahiriah tampak masih beriman.

Bahkan di penghujung ayat ini Allah memberikan penegasan, “Inna-Llaha lâ yahdi al-qawma azh-zhâlimîn (Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan hidayah kepada orang-orang zalim).” Pasalnya, mereka tetap ngeyel meski sudah dilarang dan sudah dijelaskan faktanya, bagaimana sesungguhnya orang Yahudi dan Nasrani itu sebenarnya. Ketika mereka tetap di jalan kesesatan seperti itu, itu karena sikap kepala batu mereka sendiri.

Inilah maksud ayat ini secara umum. Pembahasannya jelas berupa larangan menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia/pemimpin. Mengenai makna awliya’ secara harfiah memang bisa berarti, nâshir [penolong], shadîq [teman], zamîl [teman], shâhib [sahabat].1 Hanya saja, ayat ini tidak hanya berisi larangan menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai penolong, teman dan sahabat, tetapi juga sebagai pemimpin. Dari mana kesimpulan tersebut diambil?

Kesimpulan tersebut diambil dari dalalah (lafal), “Tanbîh min al-adnâ ila al-a’lâ (keterangan dari yang lebih rendah ke yang lebih tinggi).” Memang yang dilarang secara harfiah adalah menjadikan Yahudi dan Nasrani menjadi penolong, teman dan sahabat. Namun, justru dengan adanya larangan menjadikan mereka sebagai penolong, teman dan sahabat, maka yang lebih besar dari itu jelas lebih terlarang (min bâb al-awla). Inilah yang dimaksud, “Tanbîh min al-adnâ ilâ al-a’lâ”.2

Ini seperti larangan Allah, “Wa lâ taqul lahumâ uff[in] (Janganlah kamu mengatakan, “Hus,” kepada keduanya).”3 Larangan ini bukan hanya larangan mengatakan “Hus” kepada kedua orangtua, tetapi lebih dari itu juga tidak boleh seperti menyakiti hatinya, menampar, memukul dan menendang keduanya. Semuanya termasuk di dalam cakupan makna dalam larangan di dalam ayat tersebut.

Larangan serupa juga dinyatakan dalam: QS Ali Imran: 28, an-Nisa’: 89, 139 dan 144, al-Maidah: 51, 57 dan 81, al-Anfal: 73 dan al-Mumtahanah: 1. Semuanya melarang kaum Muslim untuk menjadikan orang Yahudi dan Nasrani, orang kafir dan musuh-musuh Allah, sebagai awliyâ’ (teman setia/pemimpin). Karena itu larangan menjadikan orang non-Muslim menjadi pemimpin sudah jelas, tidak ada ikhtilaf di kalagan ulama kaum Muslim. Bahkan dalam redaksi lain, Allah menggunakan shighatNafyu at-Ta’bîd (bentuk penegasian permanen):

وَلَن يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

Allah sekali-kali tidak akan pernah memberi kaum kafir jalan untuk memusnahkan kaum Mukmin (QS an-Nisa’ [4]: 141).

 

“Lan yaj’ala-Llâhu (Sekali-kali Allah tidak akan pernah menjadikan)” mempunyai konotasi, bahwa Allah selamanya tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir, baik Yahudi, Nasrani maupun musyrik, untuk menguasai orang Mukmin. Jadi, larangan tersebut jelas dan tegas. Inilah obyek pembahasan (mawdhû’) yang menjadi pembahasan QS al-Maidah ayat 51.

Adapun sebab turunnya ayat ini, ada beberapa riwayat. Semuanya terkait dengan peristiwa perang. Ada yang terkait dengan Perang Badar, Perang Uhud dan Perang Bani Qainuqa’. Di sini, cukup dikemukakan satu riwayat:

Kami diberitahu oleh Abu Kuraib, yang berkata: Kami diberitahu oleh Ibn Idris, yang berkata: Saya mendengar ayah saya, dari ‘Athiyyah bin Saad, berkata: ‘Ubadah bin Shamit dari Bani al-Harits bin al-Khazraj (kaum Anshar) datang menghadap Rasulullah saw. seraya berkata: Wahai Rasulullah, saya mempunyai banyak teman (sekutu/penolong) dari kalangan Yahudi. Jumlah mereka banyak. Saya berlepas diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari menjadikan Yahudi sebagai teman (sekutu/penolong). Saya hanya menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai penolong.” Lalu ‘Abdullah bin Ubay berkata, “Sesungguhnya saya khawatir akan terjadinya kekalahan. Karena itu saya tidak bersedia berlepas dari upaya menjadikan (Yahudi) sebagai teman (sekutu/penolong).” Rasulullah saw. lalu bersabda kepada ‘Abdullah bin Ubay, “Abu al-Hubab, apa yang membuat kamu tidak bersedia melepaskan persekutuan dengan Yahudi, sebagaimana ‘Ubadah bin Shamit? Padahal dia mempunyai sekutu lebih banyak ketimbang dirimu?” ‘Ubadah berkata: Aku telah menerima, lalu Allah menurunkan firman-Nya (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi para pemimpin (kalian); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain (TQS al-Maidah: 51) sampai firman-Nya (yang artinya): Lalu kamu akan melihat orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit (munafik) (TQS al-Maidah: 52). 4

Memang benar, konteks turunnya ayat ini terkait dengan peristiwa perang, tetapi obyek pembahasan (mawdhû’) yang dibahas di dalamnya adalah larangan menjadikan orang kafir sebagai teman setia, penolong dan sekutu. Konteksnya pun terkait dengan sikap ‘Ubadah bin Shamit (Mukmin) dan ‘Abdullah bin Ubay (munafik). Namun, tidak berarti ayat ini hanya berlaku untuk mereka, dan terkait dengan konteks perang saja. Pasalnya, dalam kaidah ushul berlaku:

اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ

Yang menjadi patokan makna adalah (makna) berdasarkan keumuman lafalnya, bukan berdasarkan kekhususan sebab turunnya.

 

Makna QS al-Maidah ayat 51 yang terkait dengan larangan menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia, pelindung sekaligus pemimpin itu bersifat umum, baik ketika perang maupun damai. Karena itu konteks keumuman makna ini tetap berlaku, selama tidak ada dalil yang men-takhshîh-nya, misalnya hanya untuk konteks perang saja. Di luar itu tidak berlaku.5

Demikian pula pandangan yang menyatakan bahwa kata awliya’ ini jamak. Karena itu yang tidak boleh adalah ketika semua jajaran pemimpin itu diisi oleh orang Yahudi dan Nasrani. Adapun kalau hanya satu-dua, maka boleh, karena yang dilarang adalah jamak, bukan tunggal (mufrad). Pandangan ini juga salah.

Pertama, karena bentuk jamak awliyâ’ merupakan keniscayaan sebagai khabar (predikat) dari kata al-Yahud wa an-Nashara, yang juga jamak, sebelum dimasuki kata kerja, “Lâ tattakhidzû (Janganlah kalian menjadikan).” Setelah dimasuki kata kerja ini, baik al-Yahud wa an-Nashara maupun awliyâ’ sama-sama berkedudukan sebagai obyek (maf’ûl bih)-nya. Kedua, mengecualikan kebolehan dalam satu dua jabatan kepemimpinan dari keumuman ayat ini harus ada dalil yang mengecualikan. Jika tidak, pengecualian (takhshîsh) seperti ini jelas keliru. Dalam hal ini, tidak ada satu dalil pun yang bisa digunakan sebagai pengecuali (mukhashshish).

Dengan demikian, larangan menjadi orang kafir sebagai pemimpin tersebut berlaku umum. WalLâhu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]

 

Catatan kaki:

1      Kata shadîq digunakan dengan konotasi teman, dengan makna mashdûq (orang yang dibenarkan) karena biasanya teman itu dipercaya. Kata shâhib juga digunakan dengan konotasi teman, yaitu man yushhibu (orang yang menemani/menyertai ke manapun).

2      Lihat: Al-‘Allamah Saifuddin al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, ed. ‘Abdurrazzaq ‘Afifi, al-Maktab al-Islami, Beirut, cer. II, 1402, III/67.

3      QS al-Isra’: 23.

4      Lihat: Al-‘Allamah Ibn Jarir ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, QS al-Maidah: 51.

5      Lihat: Al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Dar al-Ummah, Beirut, cet. Muktamadah, III/241-243.

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*