HTI

Ibrah (Al Waie)

Masruq bin al-Ajda’


Nama lengkapnya adalah Masruq bin al-Ajda’ al-Hamadani al-Wadi’i Abu Aisyah al-Kufi (Abu al-Hajjaj al-Mazzi, Tahdzîb al-Kamâl, 27/451-452).

Mengapa dinamai Masrûq? Karena, kata Al-Hafizh Abu Bakar al-Khatib, “Ada yang mengatakan bahwa pada waktu kecil ia pernah hilang diculik, lalu ditemukan lagi. Karena itu ia dinamakan dengan Masrûq (Yang Diculik) (Abu Bakar al-Khathib al-Baghdadi, Târîkh Baghdâd, 13/232).

Tentang tanggal kelahirannya tidak diketahui secara persis. Namun diperkirakan ia lahir tahun 1 Hijrah.

Masruq adalah seorang pengembara dan pencari ilmu, sebagaimana dituturkan Amir asy-Sya’bi, “Aku tidak pernah mengetahui ada orang yang lebih banyak berkelana di berbagai tempat untuk mencari ilmu daripada Masruq.”

Tentang keutamaannya, Ibnu Abjar dari asy-Sya’bi berkata, “Masruq lebih pantas memberikan fatwa daripada Syuraih karena Syuraih pun lebih banyak meminta pendapat Masruq.” (Ibn Sa’ad, Thabaqât Ibnu Sa’ad, 6/82).

Ibnu Sa’ad juga berkata, “Dia tsiqah dan banyak mempunyai hadis yang layak diriwayatkan.” (Ibn Sa’ad, Thabaqât Ibnu Sa’ad, 6/84).

Masruq juga seorang ahli ibadah, sebagaimana dinyatakan oleh Al-‘Ajali, “Dia banyak melakukan shalat hingga kedua kakinya membengkak.”

Hal ini dikuatkan oleh Abu Nu’aim yang berkata, “Di antara teman-teman Abdullah bin Mas’ud, terdapat seseorang yang sangat takut dan sangat cinta kepada Tuhannya. Ia selalu mengingat banyaknya dosa yang telah ia lakukan. Ia sangat dihormati keilmuannya, dapat dipercaya dan selalu ingin bertemu kepada Tuhannya dengan banyak beribadah. Itulah Abu Aisyah (ayah Aisyah), bernama Masruq.” (Al-Ashbahani, Hilyah al-Awliyâ’, 2/95).

Sebagaimana tradisi salafush-shalah, Masruq pun tak pernah meninggalkan shalat malam. Dalam hal ini Al-A’masy bin Abi adh-Dhuha berkata, bahwa Masruq biasa bangun malam dan melakukan shalat layaknya seorang ‘rahib’. Dia pernah berkata kepada keluarganya, “Sebutkanlah semua kebutuhan kalian kepadaku sebelum aku melakukan shalat (agar tidak terganggu dalam shalatnya).” (Al-Ashbahani, Hilyah al-Awliyâ’ 2/96).

Dalam hal itu ia mempunyai kebiasaan sebagaimana dikisahkan Ibrahim bin Muhammad bin Al-Muntasyir, “Masruq biasa memasang hijab antara dia dan anggota keluarganya ketika shalat agar khusyuk dalam shalatnya; meninggalkan mereka dan dunia mereka.” (Al-Ashbahani, Hilyah al-Awliyâ’, 3/96).

Anas bin Sirin, dari istri Masruq, juga berkata, “Masruq banyak melakukan shalat hingga kedua kakinya bengkak. Sering aku duduk di belakang dia sambil menangis karena tidak tega melihat apa yang ia lakukan.”

Masruq juga banyak berpuasa, sebagaimana juga dinyatakan oleh asy-Sya’bi, “Masruq bin al-Ajda’ pernah jatuh pingsan saat ia berpuasa pada musim kemarau. Kemudian saat siuman, putrinya datang dan berkata, “Ayah, makan dan minumlah!” Ia menjawab, “Apa yang kamu inginkan dariku, putriku? Putrinya berkata, “Aku hanya kasihan melihat ayah.” Masruq berkata, “Putriku, aku hanya ingin mendapatkan kasih sayang dari Allah pada hari yang jaraknya mencapai lima puluh ribu tahun (Hari Kiamat).” (Abu Bakar al-Khathib al-Baghdadi, Târîkh Baghdâd, 13/234).

Masruq tak pernah berhenti beribadah hingga—sebagaimana dikisahkan oleh Abu Ishaq, “Ketika Masruq menjalankan ibadah haji, ia tidak pernah tidur kecuali dalam keadaan bersujud.” (Al-Ashbahani, Hilyah al-Awliyâ’, 2/95).

Masruq adalah orang yang sangat zuhud. Salah satu buktinya, sebagaimana diceritakan oleh Ibrahim bin Muhammad bin al-Muntasyir, “Suatu ketika Khalil bin Abdullah bin, salah seorang pembesar di Bashrah, memberikan hadiah uang kepada Masruq sebanyak 30 ribu dinar (lebih dari Rp 60 miliar). Meski saat itu dia sangat membutuhkan, ia tidak menerima uang tersebut.”

Begitu zuhudnya, sebagaimana dikisahkan oleh Ibrahim bin Muhammad bin al-Muntasyir dari ayahnya, “Sungguh ia tidak pernah mengambil gaji dari pekerjaannya sebagai hakim. Ia berpedoman pada firman Allah SWT: Sesungguhnya Allah membeli jiwa raga kaum beriman dan harta benda mereka dengan surga (QS at-Taubah [9]: 111).” (Al-Ashbahani, Hilyah al-Awliyâ’, 2/96).

Terkait sikap zuhudnya itu, Hamzah bin Abdullah bin Utbah bin Masud berkata, bahwa Masruq pernah berkata, “Tidakkah kalian ingin aku beritahu tentang dunia? Dunia adalah apa yang kalian makan, lalu habis; yang kalian pakai, lalu rusak; yang kalian kendarai, lalu binasa.” (Al-Ashbahani, Hilyah al-Awliyâ’, 2/96-97).

Selain zuhud, Masruq pun seorang yang amat pemurah. Tentang ini Abu Ishaq as-Suba’i berkata, “Saat Masruq menikahkan putrinya dengan Saib bin al-Aqra’, Saib memberi Masruq uang 10 ribu dinar (lebih dari Rp 20 miliar). Lalu uang sebanyak itu dipergunakan Masruq untuk membiayai para mujahid Islam dan menyantuni fakir miskin.” (Adz-Dzahabi, Siyar A’lâm an-Nubalâ’, 4/66).

Abu Adh-Dhuha berkata, bahwa pernah Masruq menolong seseorang, kemudian datang seorang wanita memberikan hadiah kepada dia. Namun, Masruq tidak suka dan berkata, “Kalaulah aku tahu bahwa sifat seperti itu terdapat dalam dirimu, niscaya aku tidak mau berbicara dengan kamu untuk selamanya. Aku pernah mendengar Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Siapa saja yang menolong seseorang untuk dapat mengembalikan haknya atau menghindarkan dia dari suatu kezaliman yang menimpa dirinya, kemudian ia menerima hadiah dari orang yang ditolong itu, maka itu adalah suatu kebinasaan.’” Mendengar itu, orang-orang di sekitarnya berkata, “Kami tidak menganggap kebinasaan kecuali jika ia bertujuan menyuap.” Masruq menimpali, “Jika berniat menyuap, itu adalah suatu kekufuran.’” (Ibn Sa’ad, Thabaqât Ibnu Sa’ad, 6/81).

Masruq juga seseorang yang sangat mencintai kebenaran dan keadilan. Terkait ini Asy-Sya’bi berkata bahwa pernah Masruq bertutur, “Sungguh saat aku memutuskan suatu hukum di pengadilan yang sesuai dengan kebenaran atau aku mendapatkan kebenaran (dalam berijtihad), itu lebih aku sukai daripada berjuang selama setahun di jalan Allah.” (Ibn Sa’ad, Thabaqât Ibnu Sa’ad, 6/82).

Terakhir, sebagaimana dinyatakan oleh Ibrahim bin Muhammad bin al-Muntasyir, Masruq pernah memberikan nasihat, “Tidak ada yang lebih baik bagi seorang Mukmin daripada kuburan yang dapat ia jadikan tempat beristirahat dari kebisingan dunia dan di dalamnya ia aman dari siksa Allah.” (Al-Ashbahani, Hilyah Al-Awliyâ’, 2/97).

Menurut Sufyan bin Uyainah, Masruq meninggal dunia pada tahun 63 Hijrah (Ibn Sa’ad, Thabaqât Ibnu Sa’ad, 6/84).

Wa mâ tawfîqî illâ bilLâh. [Arief B. Iskandar]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*