Kelompok Khilafah ingin men-‘Suriah’-kan Indonesia.” Pernyataan seperti ini kerap kita dengar dari beberapa pihak untuk menolak perjuangan menegakkan Khilafah dan menerapkan syariah Islam di Indonesia. Soalah-olah kekacauan, konflik dan berbagai pembantaian yang terjadi di Suriah saat ini karena Khilafah. Apa benar?
Padahal apa yang terjadi di Suriah saat ini adalah pembantaian yang dilakukan oleh rezim Bassar Assad terhadap rakyatnya. Semua ini berawal dari aksi damai masyarakat Suriah bersamaan dengan Arab Spring di Timur Tengah yang menginginkan Bassar Assad mengundurkan diri. Bashar dianggap mewarisi kediktatoran Bapaknya, Hafidz Assad, yang pernah melakukan pembantaian di Hama yang dikenal dengan “Majzarah al-Hama” pada 1982.
Robert Fisk, jurnalis senior asal Inggris yang menyaksikan kondisi Hama beberapa waktu setelah peristiwa tersebut, menyebut sekitar 10 ribu korban. Koran The Independent melaporkan bahwa korban mencapai 20 ribu jiwa. Thomas Friedman menyebut Rafaat al-Assad pernah menyatakan bahwa dia telah membunuh 38 ribu jiwa manusia di Hama.
Namun, tuntutan damai rakyat ini dijawab dengan sikap represif yang kejam. Terjadi penembakan, penangkapan dan penyiksaan sampai pembunuhan terhadap rakyatnya sendiri. Tindakan kejam rezim Bashar Assad ini semakin menjadi-jadi karena mendapat dukungan dari negara-negara Barat. Pasalnya, rakyat Suriah menginginkan bukan hanya perubahan rezim Bashar, tetapi juga menginginkan Suriah menjadi negara Khilafah yang menerapkan syariah Islam. Barat sangat ketakutan terhadap keinginan rakyat Suriah ini. Apalagi mereka menolak solusi Amerika yang ingin tetap mempertahankan Suriah yang sekular sehingga bisa tetap dikontrol Amerika.
Kebijakan Barat terhadap Suriah adalah tetap mempertahankan Bashar sampai ada. Untuk itu, negara-negara Barat melakukan berbagai strategi. Untuk menjaga Bashar dari kejatuhan, Barat membiarkan masuknya milisi Iran dan partai pendukungnya dari Lebanon untuk memerangi rakyat Suriah. Barat pun menggerakan para penguasa regional seperti Saudi, Turki dan negara-negara Teluk untuk menjalankan road map Barat untuk Suriah. Namun, semuanya berakhir dengan kegagalan.
Terakhir, melalui Rusia mereka melakukan pengeboman keji terutama di kantong-kantong perlawanan. Tujuannya memaksa rakyat Suriah tunduk pada kepentingan Barat. ISIS dijadikan alat untuk melegalkan pembantaian mereka terhadap umat Islam Suriah. Jadi yang menjadi korban utama dari krisis Suriah ini adalah rakyat Suriah sendiri yang meninginkan perubahan, menginginkan Khilafah dan syariah Islam. Pelaku utamanya adalah rezim Bashar Assad. Namun, semua ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.
Karena itu sungguh sangat naif menyalahkan rakyat Suriah yang menginginkan Khilafah sebagai penyebab kekacauan di Suriah. Seharusnya yang mereka salahkan adalah Amerika Serikat, negara teroris yang membuat makar di negeri-negeri Islam. Seharusnya mereka mengecam Bashar Assad yang membunuh rakyatnya sendiri. Hal ini sama saja seperti kita menyalahkan berbagai konflik, pembunuhan dan pembantaian kepada para pejuang Indonesia yang menginginkan kemerdekaan dengan mengusir penjajah dari Bumi Indonesia. Padahal yang menjadi korban adalah rakyat Indonesia. Namun, mereka yang menginginkan kemerdekaan ini malah dituding menjadi penyebab konflik, kerusahan dan pembunuhan. Ini merupakan cara berpikir penjajah yang ingin mempertahankan kejahatannya dengan menyalahkan korban (blaming the victim).
Perlu juga kita cermati, pernyataan “Jangan menjadikan Indonesia seperti Suriah” adalah upaya untuk mengkriminalkan perjuangan penegakan Khilafah dan membangun citra negatif terhadap Khilafah. Kita kembali menegaskan, Khilafah adalah bagian dari syariah Islam. Karena itu mengkriminalkan Khilafah sama saja dengan mengkriminalkan syariah Islam. Bagaimana mungkin kaum Muslim yang sungguh-sungguh memperjuangkan Khilafah untuk menerapkan syariah Islam justru dikriminalkan?
Selain itu, ISIS bukanlah Khilafah yang sesungguhnya, sebagaimana Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah yang dipraktikkan para Khulafaur Rasyidin dan dilanjutkan oleh para khalifah sesudah mereka. Belum lagi informasi terkait ISIS yang selama ini di-blow up media-media Barat patut dipertanyakan kevalidannya karena bersifat sepihak dan satu arah.
Kerena itu tentu tidak relevan mengkriminalkan Khilafah dengan mengaitkannya dengan ISIS. Bahkan Hizbut Tahrir, sejak awal kemunculan ISIS, telah menegaskan bahwa organisasi ini bukan Negara Islam atau Khilafah. Dalam analisisnya, Hizbut Tahrir juga mempertanyakan kemunculan ISIS; mempertanyakan mengapa tentara-tentera Irak dengan mudahnya meninggalkan Mosul yang menjadi basis utama ISIS.
Selanjutnya perlu kembali kita tegaskan bahwa kekacauan, konflik, pembunuhan, pembantaian terhadap umat Islam yang terjadi sekarang ini justru terjadi karena umat Islam tidak memiliki Khilafah yang melindungi. Umat Islam, bagaikan rumah yang tidak memiliki pagar, tidak memiliki penjaga. Akibatnya, musuh-musuh Islam dari negara-negara imperialis dengan gampang mengobarkan berbagai kekacauan di negeri-negeri Islam, termasuk dengan menggunakan para penguasa yang menjadi agen-agen mereka. Tanpa Khilafah, kekayaan negeri-negeri Islam dirampok oleh negera-negara imperialis. Imam Ahmad mengingatkan akibat yang akan muncul dari tiadanya Khilafah, dengan menulis: “Fitnah akan terjadi jika tidak ada Imam (Khalifah) yang mengurusi urusan orang banyak.”
Tanpa Khilafah negeri-negeri Islam menjadi sasaran penjajahan Barat. Lihatlah berapa juta umat Islam yang terbunuh akibat keganasan teroris Amerika di Irak dan Afganistan. Berapa umat Islam yang menjadi korban di Arakan (Birma), Pattani (Thailand Selatan), Afrika Tengah, Suriah? Belum lagi berapa banyak kekayaan negeri-negeri Islam dirampok akibat tidak ada Khilafah? Semua ini karena di tengah-tengah umat tidak ada Khilafah.
Alhasil, yang patut ditolak adalah campur tangan Amerika dan sekutunya di negeri-negeri Islam karena merekalah induk dari semua kejahatan dan terorisme. Caranya dengan memperjuangkan syariah Islam dan mencampakkan sistem sekular kapitalis di negeri Islam, termasuk Indonesia. Pasalnya, penjajahan terhadap Indonesia bisa terjadi karena negeri ini mengadopsi sistem kapitalisme. Kita pun tidak berdaulat dan tidak kuat karena mengadopsi sistem ini. Tanpa Khilafah, Amerika dengan gampang melakukan makar dan kekacauan di negeri manapun termasuk Indonesia andai Amerika menginginkan itu. Allahu Akbar! [Farid Wadjdi]