(Tafsir QS ‘an-Nazi’at [79]: 15-20)
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَى (15) إِذْ نَادَاهُ رَبُّهُ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى (16) اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى (17) فَقُلْ هَلْ لَكَ إِلَى أَنْ تَزَكَّى (18) وَأَهْدِيَكَ إِلَى رَبِّكَ فَتَخْشَى (19) فَأَرَاهُ الْآيَةَ الْكُبْرَى (20)
Sudah sampaikah kepada kamu (Muhammad) kisah Musa tatkala Tuhannya memanggil dia di lembah suci, yakni Lembah Thuwa, “Pergilah kamu kepada Fir’aun. Sungguh dia telah melampaui batas. Katakanlah (kepada Fir’aun), ‘Adakah keinginan kamu untuk membersihkan diri (dari kesesatan) dan kKamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar kamu takut kepada-Nya?’” Lalu Musa memperlihatkan kepada dia mukjizat yang besar (QS an-Nazi’at [17]: 15-20).
Dalam ayat-ayat ini diberitakan tentang kisah Nabi Musa as. dengan Fir’aun yang menolak petunjuk kebenaran.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Hal atâka hadîtsu Mûsâ (Sudah sampaikah kepada kamu [Muhammad] kisah Musa). Khithâb atau seruan ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw. Ayat ini dimaksudkan untuk menghibur beliau atas pendustaan kaumnya dan mengancam mereka bahwa Dia akan menimpakan musibah kepada mereka seperti yang telah menimpa pada kaum yang besar dari mereka.1
Ayat diawali dengan harf istifhâm hal (kata tanya apakah). Dalam konteks ayat ini, frasa: Hal atâka bermakna qad jâ‘aka wa balaghaka (Sungguh telah datang dan telah sampai kepada kamu). Pengertian ini jika diasumsikan bahwa kisah Musa dan Fir’aun itu sudah didengar dan diketahui oleh Rasulullah saw. Akan tetapi, jika diasumsikan kisah tersebut belum turun kepada beliau, maka maknanya menjadi istifhâm (kalimat tanya): Apakah telah sampai kepada kamu tentang peristiwa itu? Aku akan mengabarkan kepada kamu (peristiwa itu, red.).”2
Kemudian Allah SWT berfirman: Idz nâdâhu Rabbuhu bi al-wâdi al-muqaddasi al-Thuwâ (tatkala Tuhannya memanggil dia di lembah suci, yakni Lembah Thuwa). Menurut ayat ini, ketika itu Allah SWT memanggil Nabi Musa as. di sebuah lembah: al-wâdi al-muqaddasi.
Pada asalnya kata al-wâdî berarti tempat air mengalir, kemudian digunakan untuk menyebut lembah di antara dua gunung.3 Al-Muqaddas berarti al-muthahhar (yang disucikan);4 bisa juga bermakna al-muthahhar al-mubârak (yang disucikan dan diberkahi).5
Kata thuwâ dalam ayat ini adalah nama sebuah lembah.6 Menurut al-Khazin, lembah itu berada di Syam, di samping Gunung Tursina.7 Al-Farra’ berkata, “Thuwa adalah nama sebuah lembah di antara Madinah dan Mesir.”8
Kemudian Allah SWT berfirman: Idzhab ilâ Fir’auna innahu thagâ (Pergilah kamu kepada Fir’aun. Sungguh dia telah melampaui batas). Setelah memanggil Musa as. di Lembah Thuwa, Allah SWT lalu memerintahkan beliau untuk pergi mendatangi Fir’aun, seorang penguasa diktator di Mesir. Dalam ayat-ayat lainnya diterangkan bahwa Musa as. Dipanggil ke Lembah Thuwa itu untuk mendapatkan wahyu dalam banyak perkara (lihat QS Thaha [20]: 9-23). Itu menunjukkan bahwa perintah mendatangi Fir’aun yang diberitakan dalam ayat ini di antara perkara yang disampaikan Allah SWT dalam panggilan tersebut, bukan-satunya.9
Lalu disebutkan tentang sifat orang yang diperintahkan untuk didatangi, yakni: Innahu thagâ (Sungguh dia telah melampaui batas). Kalimat tersebut merupakan ta’lîl (penjelasan sebab) bagi perintah atau kewajiban menjalankan perintah.10
Secara bahasa, kata thagâ berarti jâwaza al-hadd (melampaui batas). Kata ini juga digunakan untuk menyebut semua yang melampaui datas dalam kemaksiatan.11 Makna ini pula yang dipahami oleh para ulama pada ayat ini.
Imam al-Qurthubi menafsirkan kata itu dengan “melampaui batas dalam kemaksia-tan”.12 Menurut az-Zuhaili, thâghâ berarti melampaui batas dalam kekufuran.13 Ibnu Katsir berkata bahwa kata itu bermakna, “tajabbara wa tamaradda wa ‘atâ (menindas, membangkang dan menyombongkan diri).14 Menurut al-Khazin kata tersebut bermakna sombong, takabur dan ingkar kepada Allah SWT.15 Ath-Thabari juga berkata bahwa kata itu bermakna, “sombong dan melampaui batas dalam permusuhan; takabbur terhadap Tuhannya”.16
Itulah sifat Fir’aun yang menjadi sebab mengapa dia harus didatangi.
Selanjutnya Allah SWT berfirman: Faqul hal laka ilâ an tazzakkâ (katakanlah [kepada Fir’aun], “Adakah keinginan kamu untuk membersihkan diri [dari kesesatan]”). Ayat ini memberitakan apa yang diperintahkan Allah SWT untuk disampaikan Nabi Musa as. kepada Fir’aun. Yang dikatakan kepada Fir’aun adalah: Hal laka ilâ an tazzakkâ. Ini adalah istifhâm (kalimat tanya) yang artinya menawarkan, yakni ajakan halus. Sebab, semua orang yang berakal akan menjawab pertanyaan semcam ini dengan jawaban: “Ya.”17
Menurut az-Zamakhsyari dan ar-Razi, kalimat hal laka ilâ kadzâ semakna dengan hal targhabu fîh atau hal targhabu ilayhi (apakah kamu suka kepada dia?).18
Kata tazakkâ berasal dari kata az-zakiy. Menurut Fakhruddin ar-Razi, pengertian az-zakiy adalah ath-thâhir min al-‘uyûb kullihâ (bersih dari semua cela atau noda). Kata ini mencakup semua yang didakwahkan kepada Fir’aun. Sebab, yang dimaksud adalah, “Maukah kamu mengerjakan sesuatu yang membuat kamu menjadi zâkiy dari semua yang tidak seharusnya.” Itu dengan menggabungkan semua yang berhubungan dengan tauhid dan syariah.19
Abu Hayyan al-Andalusi juga mengartikan kalimat tersebut sebagai tatahallâ bi al-fadhâil wa tathahhara min al-radzâil (menghias diri dengan keutamaan dan membersihkan diri dari kehinaan). Menurut Abu Hayyan pula, kata az-zakâh (kesucian) di sini termasuk di dalamnya adalah Islam dan tauhid kepada Allah SWT.20
Itu pula makna yang terkandung dalam ayat ini. Menurut asy-Syaukani, tazakkâ di sini adalah membersihkan dari syirik.21 Al-Khazin juga menafsirkan kata itu sebagai “menyucikan diri dari syirik dan kekufuran.”22 Imam al-Qurthubi menafsirkan kalimat itu dengan, “berserah dirilah kamu sehingga kamu akan suci dari dosa-dosa.” Ibnu Abbas juga berkata, “Adakah keinginan kamu untuk bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah SWT.”23
Wahbah al-Zuhali lalu menggabungkan semua penafsiran tersebut dengan mengatakan: “Apakah kamu ingin membersihkan dari kekufuran, kemusyrikan dan kelaliman dengan bersyahadat bahwa tidak ada tuhan yang patut disembah selain Allah?”24
Dengan demikian, yang disampaikan kepada Fir’aun adalah jalan yang dapat menyucikan dirinya. Karena sifat yang disebutkan sebelumnya adalah thaghâ, maka menyucikan diri di sini adalah menyucikan dirinya dari semua sikap yang melampaui batas; termasuk di dalamnya syirik, kekufuran dan kesombongan. Sebagai gantinya, ia harus menjadi orang beriman, berserah diri dan taat kepada Allah SWT.
Lalu disebutkan: Wa ahdiyaka ilâ Rabbika fatakhsyâ (dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar kamu takut kepada-Nya?). Menurut Abu Hayyan al-Andalusi, ayat ini merupakan tafsir atau penjelasan atas kata at-tazkiyah yang ditawarkan kepada Fir’aun, yakni hidayah untuk tauhid dan makrifat kepada Allah SWT (mengesakan dan mengenal-Nya).25
Menurut Ibnu Katsir, penggalan awal ayat ini: Wa ahdiyaka ilâ Rabbika bermakna, “Aku tunjukkan kepada kamu penyembahan kepada Tuhanmu.” Al-Qurthubi berkata, “Aku bimbing kamu untuk menaati Tuhanmu.”26
Menurut Syihabuddin al-Alusi, “Aku bimbing kamu untuk mengetahui Allah sehingga kamu mengenal-Nya.”27
Al-Baidhawi berkata, “Aku bimbing kamu pada ma’rifatihi (mengenal-Nya).28
Kata fatakhsyâ (kamu menjadi takut), menurut al-Khazin adalah takut terhadap siksa-Nya. Ibnu Katsir berkata, “Agar hatimu menjadi tunduk, taat dan takut kepada Allah setelah sebelumnya hatimu keras, kotor dan jauh dari kebenaran.”29
Menurut al-Baidhawi, “Agar kamu takut dengan mengerjakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan.”30
Setelah diberi bimbingan berupa tauhid dan marifat kepada Allah SWT, diharapkan akan lahir rasa takut (pada diri Fir’aun, red.). Sebab, sebagaimana dijelaskan para ulama, al-khasyyah atau rasa takut itu tidak terjadi kecuali setelah marifat kepada Allah. Perhatikan firman Allah SWT dalam QS Fathir [35]: 28).31
Menurut asy-Syaukani, huruf al-fâ‘ di sini berguna untuk mengurutkan al-khasyyah (rasa takut) setelah al-hidâyah (petunjuk). Sebab, tidak ada rasa takut kecuali pada orang yang mendapatkan petunjuk yang lurus.32
Menurut az-Zamakhsyari, penyebutan al-khasyyah secara khusus karena sifatnya yang menguasai urusan. Siapa saja yang takut kepada Allah, dia akan mengerjakan semua kebaikan. Adapun orang yang merasa aman akan berani melakukan segala keburukan.33
Allah SWT berfirman: Fa arâhu al-âyah al-kubrâ (lalu Musa memperlihatkan kepada dia mukjizat yang besar). Menurut Ibnu Katsir, Musa as. memperlihatkan kepada Fir’aun hujjah yang kuat dan dalil yang jelas atas kebenaran yang ia bawa dari Allah SWT.34 Adapun menurut Imam al-Qurthubi, al-âyah al-kubrâ adalah al-‘alâmah al-kubrâ (tanda-tanda yang besar) itu adalah mukjizat.35 Menurut para mufassir, mukjizat tersebut adalah tangan Nabi Musa as. yang putih bercahaya dan tongkat.36 Kesimpulan ini didasarkan pada QS al-A’raf [7]: 107-108.
Beberapa Pelajaran
Banyak pelajaran penting dalam ayat-ayat ini. Pertama: Perintah menyampaikan dakwah kepada orang yang melampaui batas (lalim). Ini dapat dipahami dari perintah Allah SWT kepada Nabi Musa as. untuk mendatangi Fir’aun yang memiliki sifat thaghâ (melampaui batas/lalim). Menurut para mufassir, pengertian thaghâ tersebut adalah melampaui batas dalam kekufuran, kemaksiatan dan kesombongan.
Allah SWT memerintahkan Musa as. untuk mendatangi orang semacam ini dan menasihati dia. Nabi Musa as diperintahkan untuk mengajak Fir’aun menyucikan diri, yakni menyucikan diri dari segala kekufuran, kemaksiatan dan kesombongan. Ditawarkan pula kepada dia petunjuk yang membuat dirinya mengenal Tuhannya. Dengan begitu, diharapkan dia menjadi orang yang takut kepada Allah SWT sehingga akan merasa ringan mengerjakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Inilah di antara yang diperintahkan Allah SWT kepada Musa untuk disampaikan kepada Fir’aun.
Ayat ini memang tidak termasuk Âyât al-Ahkâm (ayat-ayat tentang hukum). Sebab, ayat ini memberitakan tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa as. Padahal syariah umat sebelum kita bukan syariah bagi kita. Akan tetapi, dari ayat ini dapat dipahami bahwa ada kesamaan hukum dengan syariah Rasulullah saw. dalam hal perintah dakwah. Jika Nabi Musa diperintahkan mendatangi Fir’aun, Rasulullah saw. diperintahkan mendatangi kaumnya beserta pemukanya untuk masuk Islam.
Kedua: Pentingnya kedudukan penguasa. Peristiwa yang dikisahkan dalam ayat ini adalah perintah kepada Nabi Musa as untuk mendakwahi Fir’aun. Patut dicatat, sesungguhnya yang menjadi objek dakwah Nabi Musa as. adalah semua kaumnya. Tidak hanya Fir’aun. Adanya penyebutan Fir’aun secara khusus menunjukkan betapa penting dan strategisnya kedudukan Fir’aun.
Dari ayat-ayat lainnya dapat dipahami bahwa Fir’aun adalah seorang penguasa di Mesir. Dia memiliki kekuasaan yang besar dan bala tentara yang sangat banyak dan kuat. Dengan kekuasannya, dia bisa memaksa rakyatnya mengerjakan perintahnya sekaligus bisa menghukum siapa saja yang membangkang kepada dia. Hukuman atas tukang sihir yang beriman setelah mengetahui mukjizat Nabi Musa as. dengan hukuman yang sangat kejam hanyalah salah satu contohnya. Itu semua menunjukkan betapa besar pengaruh sikap dan tindakannya terhadap rakyat. Ketika dia kafir, takabur dan membangkang perintah Allah SWT, hal itu akan menciptakan bencana dan problem dalam kehidupan. Sebaliknya, jika dia mau beriman dan tunduk pada syariah-Nya, itu akan menghasilkan kebaikan dan keberkahan bagi masyarakat. Demikian pentingnya kedudukan penguasa atas rakyatnya sehingga dakwah kepada mereka menempati posisi prioritas.
Dalam syariah Islam, menyampaikan dakwah kepada penguasa juga merupakan kewajiban, bahkan teramasuk kewajiban besar. Dalam hadis hal itu disebut sebagai afdhal al-jihâd (jihad yang paling utama):
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa fasik (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Dalam hadits riwayat al-Hakim, tatkala penguasa yang dinasihati tidak menerima, bahkan membunuh orang yang memberinya nasihat, pelakunya disebut oleh Nabi saw. sebagai sayyid asy-syuhâda‘ (penghulu para syahid). Itu menunjukkan betapa besarnya kewajiban tersebut sehingga memberikan pahala besar bagi pelakunya.
Menurut al-Muzhhir, di antara penyebab penyampaian kalimat haq kepada penguasa fasik sebagai afdhal al-jihâd karena kezaliman penguasa berhubungan dengan semua rakyatnya yang bisa jadi jumlahnya sangat banyak. Apabila penguasa itu mencegah kedzaliman, itu akan mengantarkan manfaat kepada orang banyak.37
Ketiga: Pentingnya bukti kebenaran dalam dakwah. Selain menyampaikan dakwah dan nasihat kepada Fir’aun, Musa as. juga menunjukkan al-âyah al-kubrâ. Menurut para ahli tafsir, yang dimaksud dengan itu adalah mukjizat. Mukjizat itu menjadi bukti kebenaran Musa saw. beserta dakwah yang ia sampaikan. Dengan mukjizat tersebut semestinya tidak ada seorang pun yang bisa menolak dakwahnya. Namun yang terjadi, Fir’aun tetap menolak dakwah Musa as., bahkan berupaya membunuh Musa as. dan menumpas pengikutnya. Jika sudah disertai mukjizat saja masih ditolak, apalagi jika tidak disertai bukti-bukti dan tanda-tanda yang mengokohkan dakwahnya.
Ini juga menjadi pelajaran bagi kita. Dalam dakwah, kita perlu mempersenjati diri dengan bukti-bukti kebenaran dakwah kita. Jika mukjizat Nabi Musa as. berupa tongkat dan tangan yang putih lagi bercahaya sekarang sudah tidak bisa disaksikan lagi, maka al-Quran yang menjadi mukjizat Nabi Muhammad saw. bisa disaksikan hingga saat ini. Inilah di antara yang bisa dihadirkan dalam mendakwah Islam. Sebagaimana penjelasan Ibnu Katsir tentang ayat Fa arâhu al-âyah al-kubrâ, pengemban dakwah juga dapat melakukan yang sama, yakni menghadirkan hujjah yang kuat dan dalil yang kuat bagi kebenaran. Wa-Llâh a’lam bi al-shawâh. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan Kaki:
1 Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 38. Lihat juga al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya al-Turarts al-‘Arabi, 1998), 382.
2 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 19914), 454.
3 Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 862.
4 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 315.
5 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 24 (tt: al-Risalah, 2000), 199.
6 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 315. Ini juga pendapat Mujahid, Ibnu Zaid, dan Qatadah. Iihat ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 24, 200.
7 Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 392.
8 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 454.
9 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1420 H), 38.
10 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 230; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 454.
11 Abu Bakar al-Razi, Mukhtâr al-Shihhah (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1999), 191.
12 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1969), 201.
13 Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 39.
14 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 315.
15 Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 392.
16 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 24, 199.
17 Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 38.
18 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 695; ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 38.
19 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 38.
20 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth vol. 10, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 429.
21 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 454.
22 Al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 392.
23 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 201.
24 Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 39.
25 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth vol. 10, 429.
26 al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 201.
27 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 230.
28 Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl, vol., 382. Lihat juga aa-Zuhaili, at-Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 39.
29 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 315.
30 Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl, vol. 5, 382. Lihat juga az-Zuhaili, at-Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 39.
31 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 230; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth vol. 10, 429.
32 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 454.
33 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 695; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 230. Lihat juga ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 40.
34 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 315.
35 al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 201.
36 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 24, 202; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 392.
37 Al-Muzhhiri, Al-Mafâtîh fî Syarh al-Mashâbîh, vol. 4 (ttL: Dar al-Nawadir, 2012), 307.