Hendaklah kalian benar-benar melakukan amar makruf nahi mungkar atau (bila tidak kalian lakukan) Allah akan menjadikan orang-orang jahat di antara kalian berkuasa atas kalian semua (yang akibatnya banyak sekali kejahatan dan kemungkaran mereka perbuat), lalu orang-orang yang baik di antara kalian berdoa dan doa mereka tidak diterima (HR al-Bazzar dan ath-Thabrani).
++++
Apa yang Anda rasakan ketika menyaksikan jutaan manusia, tua-muda, lelaki-perempuan, pejabat dan rakyat biasa, tokoh dan bukan tokoh, tumpah-ruah di jalanan sekitar Monas dalam Aksi Bela Islam 4 November lalu?
Ada perasaan membuncah. Kalbu bergetar. Semangat menggelegar. Ini aksi memang luar biasa. Terbesar dalam sejarah bangsa. Diikuti oleh tidak kurang dari 2,5 juta orang dari berbagai kalangan dan elemen umat. Pihak Commuter Line menyebut hari itu terjadi peningkatan penumpang hingga 400%. Artinya, bila tiap harinya penumpang sekitar 750 ribu, hari itu meningkat menjadi lebih dari 2 juta.
Mereka bukan hanya datang dari Jakarta dan sekitarnya, tetapi juga dari berbagai kota di Jawa; bahkan juga Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara serta Papua dengan biaya sendiri. Jumlah peserta demo sebanyak itu di luar dugaan siapapun, termasuk panitia yang memperkirakan hanya sekitar 200 – 300 ribu. Paling banyak 500 ribu. Lebih luar biasa lagi, aksi itu berjalan tertib dan damai. Andai ada komando untuk menyerbu Istana, massa sebanyak itu niscaya tak akan bisa dihalangi. Namun, itu tidak terjadi karena memang sejak dari awal aksi diniatkan untuk damai. Memang ada kekisruhan pada malam harinya. Namun, menurut informasi, itu lebih dipicu oleh provokasi peserta liar dan petugas yang tidak taat pada perintah atasan, termasuk abai terhadap perintah Kapolri dan Panglima TNI.
Inilah umat Rasulullah saw. yang bergerak karena tak rela al-Quran dinista. Tak rela penista al-Quran dibiarkan begitu saja. Artinya, mereka hadir dengan dorongan akidah. Semangat bela Islam atau bela al-Quran itulah yang menggerakkan jutaan umat dari berbagai elemen, termasuk mereka yang tidak biasa demo, untuk turun ke jalan. Semua tumplek bleg di seputar Monas untuk tujuan yang sama: mengungkapkan protes dan tuntutan hukum kepada pelakunya.
Dorongan akidah pula yang membuat mereka ringan berkorban; berkorban waktu, tenaga, biaya, bahkan tak sedikit yang sudah bersiap berkorban nyawa. Meski aksi dimulai ba’da Jumatan, sebagian dari mereka sudah berada di Masjid Istiqlal sejak pagi hari, bahkan sejak sebelum subuh.
Namun, ada terbesit rasa sedih. Prihatin. Betapa tidak. Umat yang begitu banyak, yang datang dengan penuh santun, ingin bertemu Presidennya sendiri guna menyampaikan petisi aspirasi, beliaunya malah pergi. Ia lebih memilih melakukan kunjungan ke Bandara Soekarno Hatta untuk melihat pengerjaan proyek, sesuatu yang sebenarnya tidak harus dilakukan siang atau sore itu. Kesan Presiden menghindar sangat kentara. Apalagi belakangan ada informasi, karyawan GMF (Garuda Maintenance Fasility) di Bandara Soekarno Hatta yang dikunjungi heran karena memang tidak pernah ada rencana kunjungan Presiden ke sana hari itu. Sempat dikatakan, Presiden tidak bisa segera ke Istana karena terhalang peserta demo. Ini aneh. Bukankah akses di sebelah utara Istana masih terbuka? Presiden dengan mudah bisa lewat situ. Kalaupun jalan sepenuhnya tertutup, Presiden masih bisa memakai helikopter. Kemudian dikatakan bahwa Presiden tidak mau menemui delegasi karena alasan keamanan. Ini lebih aneh lagi, Yang mau menemui Presiden adalah para ulama, tokoh umat, yang sudah dikenal. Lagi pula aksi itu sudah disebut sejak awal adalah aksi damai. Mengapa takut?
Langkah Presiden setelah aksi terjadi juga tidak kalah aneh. Ia yang pada saat aksi menghindar tak mau menemui delegasi, mendadak malah datang Kantor PB NU dan PP Muhammadiyah. Di sana ia menyampaikan ucapan terima kasih kepada kedua ormas itu sehingga, katanya, aksi berjalan damai. Loh, mestinya kan, ucapan terima kasih itu disampaikan kepada penyelenggara aksi, yang tak lain adalah GNPF – MUI yang dipimpin oleh Ustadz Bahtiar Nasir dengan pembina Habib Rizieq. Tak berhenti di situ, Presiden yang pada saat aksi menghindari pertemuan, setelah aksi malah mengundang pimpinan sejumlah ormas Islam. Anehnya, lagi-lagi ormas-ormas yang berperan besar dalam aksi itu malah tidak diundang.
Presiden seperti kehilangan arah. Pasca aksi, ia memberikan respon yang begitu rupa, termasuk kunjungan ke kesatuan-kesatuan TNI dan Polri yang seolah ingin unjuk kekuatan. Adapun terha-dap penistaan al-Quran itu sendiri ia malah terke-san membela. Kalau bukan karena tekanan massa, barangkali tak akan terjadi proses hukum yang akhirnya menetapkan Ahok sebagai tersangka.
Melihat situasi itu, teringat saya pada hadis di atas. Amar makruf nahi mungkar itu wajib. Kalau tidak, kata Rasulullah saw., kita akan dikuasai oleh penguasa yang jahat. Itu sudah terjadi. Penguasa yang ada bukanlah yang terbaik di antara kita. Sekadar melindungi kehormatan al-Quran, yang mestinya bisa dilakukan sebagai kewajiban setiap Muslim, ia tak mampu. Malah kesannya justru melindungi pelakunya.
Mestinya kasus ini dengan mudah sudah bisa diselesaikan jauh-jauh hari. Ini kasus sederhana. Penyelesaiannya pun tidak terlalu sulit. Lalu mengapa menjadi begini dramatis? Tampaknya ada kekuatan besar di sana yang tak menghendaki Ahok gagal dalam Pilkada DKI. Karena itu at all cost (berapapun ongkosnya) Ahok harus diselamatkan.
Tak terbayang andai umat ini tidak melakukan aksi demikian dahsyat, apakah penista al-Quran itu akan tetap diproses secara hukum seperti sekarang ini? Andai penista al-Quran itu dibiarkan begitu saja, sangat mungkin akan lahir berpuluh atau mungkin beribu penista agama Allah SWT ini di kemudian hari karena mereka melihat toh tidak diapa-apakan.
++++
Alhamdulillah, semangat beramar makruf nahi mungkar pada diri umat masih ada sehingga penista al-Quran tidak dibiarkan begitu saja. Namun, ini saja tidak cukup. Umat harus terus bergerak dan berjuang dengan sekuat tenaga untuk menegakkan kehidupan Islam dan melenyapkan penguasa jahat. Ke sanalah energi al-Quran yang demikian dahsyat, yang mampu menggerakkan jutaan umat itu, harus terus diarahkan. Kita sangat yakin, Islam dan umatnya akan mulia dan terjaga hanya dalam kehidupan Islam saat dalamnya diterapkan syariah dalam naungan Daulah Khilafah; bukan dalam kehidupan sekular seperti saat ini.
Dalam sistem sekular saat ini kekuasaan politik, termasuk penguasanya, telah dikooptasi oleh para pemilik modal. Akibatnya, bukan rakyat lagi yang berdaulat, tetapi para pemilik modal itulah yang mengatur semuanya. Bila ini dibiarkan, Indonesia ke depan adalah Indonesia yang makin terjajah; keadaan Islam dan umatnya pun akan makin parah. Na’ûdzubilLâhi min dzâlik! [HM Ismail Yusanto]