HTI

Syari'ah

Syubhah Ad-Dalîl


Syubhah secara bahasa, seperti disampaikan oleh ar-Razi dalam Mukhtâr ash-Shihâh, artinya al-iltibâs (kesamaran/kerancuan);1 juga bisa berarti al-musyâbahah (kemiripan), seperti disampaikan oleh Muhammad Rawas Qal’ah Ji dalam Mu’jam Lughah al-Fuqahâ’.2 Qal’ah Ji juga menyatakan, syubhah adalah apa saja yang perkaranya samar sehingga tidak bisa dipastikan. Jadi syubhah adalah apa saja yang di dalamnya ada isytibâh (kesaraman) dan apa saja yang samar bagi orang dan ia ragu-ragu tentangnya. Artinya, syubhah itu adalah sesuatu yang tidak bisa dipastikan seperti apa. Dari situ syubhah ad-dalîl secara bahasa artinya adalah kesamaran atau keraguan dalam dalil. Dengan kata lain, syubhatu ad-dalîl adalah sesuatu yang dianggap merupakan dalil, tetapi ada keraguan di situ, yakni tidak sampai bisa dipastikan (qath’i) bahwa itu benar merupakan dalil.
Dalil yang dimaksudkan dalam bahasan ini adalah dalil syariah; selanjutnya disebut dalil saja. Dalil itu adalah sesuatu yang digunakan untuk mengetahui hukum syariah atau yang dijadikan dalil atau argumentasi bahwa yang dibahas oleh dalil itu adalah hukum syariah. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan ad-dalîl adalah al-ladzî yuttakhadzu hujjat[an] ‘alâ anna al-mabhûts ‘anhu hukm[un] syar’iyy[un] (sesuatu yang dijadikan hujjah bahwa yang dibahas (oleh dalil) itu merupakan hukum syariah).3Jadi, dalil syariah itu adalah sesuatu yang digunakan untuk mengetahui hukum-hukum syariah tertentu untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia, yakni untuk mengetahui hukum-hukum yang berasal dari Asy-Syâri’ atau Pembuat hukum, yaitu Allah SWT.

Dalil syariah itu termasuk ushûl al-ahkâm. Jumhur ulama telah menyatakan bahwa ushûl al-ahkâm wajib bersifat qath’i. Imam asy-Syathibi menyatakan, “Ushul fikih di dalam agama adalah qath’i, tidak zhanni. Dalilnya, ushûl al-ahkâm itu kembali ke kulliyat syarî’ah. Yang demikian adalah qath’i.”4

Beliau juga menyatakan, “Andai boleh menjadikan zhanni sebagai pokok dalam ushul fikih, niscaya boleh menjadikan zhanni sebagai pokok dalam ushuluddin. Menurut kesepakatan tidaklah demikian. Demikian juga di sini sebab penisbatan ushul fikih termasuk bagian dari pokok syariah seperti penisbatan ushuluddin…”5

Dengan demikian, dalil syariah, agar dinilai sebagai hujjah, harus memiliki dalil qath’i yang menyatakan ke-hujjah-annya. Selama tidak ada dalil qath’i atas ke-hujjah-annya maka tidak dinilai sebagai dalil syariah. Dalil-dalil yang didsarkan pada dalil qath’i atas ke-hujjah-annya hanya ada empat: al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas yang memiliki ‘illat yang dtunjukkan oleh nas syariah.

Keempat dalil inilah yang disepakati oleh seluruh ulama dan tidak ada ikhtilaf di dalamnya. Selain kempat dalil itu tidak bisa dinilai sebagai dalil syariah karena tidak didasarkan pada dalil qath’i atas ke-hujjah-annya.

Selain keempat dalil itu terjadi ikhtilaf di kalangan para imam dan mujtahid tentang penilaiannya sebagai dalil. Sebagian menilainya sebagai dalil, sebagian lagi menolaknya.

Dalil selain keempat itu adalah dalil yang dianggap (diasumsikan) sebagai dalil, tetapi bukan dalil. Dengan kata lain, yang dianggap dalil itu memiliki dalil yang menunjukkan ke-hujjah-annya, tetapi hanya berupa dalil zhanni, atau tidak sesuai dengan perkara yang menjadi obyek istidlal-nya.6

Jadi di luar keempat dalil di atas, penilaiannya sebagai dalil bersifat zhanni. Itu artinya dalam penilaiannya sebagai dalil ada iltibâs dan isytibâh. Dengan begitu, di luar keempat dalil itu posisinya sebagai syubhah ad-dalîl.

Di antara syubhah ad-dalîl yang paling penting ada empat: syariah sebelum kita (syar’un man qablanâ), mazhab Sahabat (madzhab ash-shahâbiy), istihsân (al-istihsân) dan mashalih mursalah (al-mashâlih al-mursalah).

Hanya saja, istidlâl dengan selain keempat dalil tersebut, yakni yang didasarkan pada syubhah ad-dalîl, bisa dinilai termasuk istidlâl yang tetap syar’i, dan hukum yang di-istinbâth dengan syubhah ad-dalîl juga bisa dinilai termasuk hukum yang syar’i. Hanya saja, bagi orang yang menilai syubhah ad-dalîl bukan sebagai dalil syariah, maka hukum yang di-istinbâth dengan menggunakan syubhah ad-dalîl itu bukan hukum syariah bagi dirinya. Akan tetapi, dalam pandangannya hukum itu tetap termasuk hukum yang syar’i sebab di situ ada syubhah ad-dalîl.

Penilaian dalil syar’i yang dianggap oleh seorang mujtahid sebagai dalil syar’i karena adanya kesamaran dalil (syabh ad-dalîl) sama persis dengan penilaian hukum syariah yang di-istinbâth oleh seorang mujtahid sebagai hukum syariah karena adanya syubhah ad-dalîl pada mujtahid itu. Jadi, adanya syubhah ad-dalîl pada seorang mujtahid cukup untuk menilai apa yang dia istinbâth sebagai hukum syariah, dan cukup untuk menilai apa yang dia gunakan untuk ber-istidlâl itu sebagai dalil syariah. Ada orang yang mengatakan bahwa air kencing binatang yang dagingnya boleh dimakan adalah suci. Padahal ada keumuman dari sabda Rasul saw., “Kâna lâ yastanzihu min al-bawl (Dia dulu tidak bersuci dari air kencing).” Hadis ini mencakup semua air kencing. Lalu ada kekhususan air kencing unta untuk berobat. Dengan demikian pendapat yang mengatakan bahwa air kencing hewan yang dagingnya boleh dimakan itu suci bisa dinilai sebagai hukum syariah meski kita memandang bahwa semua air kencing adalah najis.

Demikian juga orang yang mengatakan bahwa al-mashlahah al-mursalah merupakan dalil syariah, kita menilai pendapatnya itu sebagai pendapat islami dan dalilnya kita nilai sebagai dalil yang syar’i meski bagi kita itu bukan dalil. Pasalnya, pendapat itu didasarkan pada syubhah ad-dalîl dalam kedua kondisi itu.

Dengan demikian syubhah ad-dalîl itu ada dua. Pertama: Yang sifatnya pokok. Syubhah ad-dalîl jenis ini adalah dalil yang dianggap dalil tetapi bukan dalil; yakni dalil selain al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas syar’i; yang ke-hujjah-annya ditunjukkan oleh dalil zhanni. Hukum yang di-istibâth dari syubhah ad-dalîl yang pokok ini tetap dinilai sebagai hukum yang syar’i meski posisinya sebagai hukum hanya berlaku bagi orang yang menilainya sebagai dalil dan bukan merupakan hukum bagi orang yang menilainya sebagai bukan dalil.

Kedua: Syubhatu ad-dalîl pada suatu masalah. Itu terjadi ketika pada suatu masalah terdapat dalil syariah (al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas syar’i) yang dijadikan hujjah atau dalil atas masalah tersebut, tetapi dalâlah-nya tidak menunjukkan atas masalah itu, atau tidak sesuai dengan masalah itu. Hukum yang didasarkan pada dalil syariah yang sebenarnya tidak menunjukkan atau tidak berlaku atau tidak sesuai untuk hukum itu, dikatakan bahwa hukum itu memiliki syubhah ad-dalîl.

Adanya syubhah ad-dalîl cukup menjadi dzarî‘ah (alasan) untuk tidak dikenai sanksi hukum di dunia. Contohnya disampaikan oleh Abdul Aziz Ahmad bin Muhammad al-Bukhari dalam Kasyfu al-Asrâr ‘an Ushûl Fakhri al-Islâm al-Bazdâwî dan Sa’aduddin at-Taftazani dalam Syarh at-Talwîh ‘alâ at-Tawdhîh, yaitu seperti kasus orang yang menggauli hamba sahaya perempuan milik anaknya dengan anggapan itu adalah halal untuk dirinya dengan alasan sabda Nabi saw.: “Anta wa mâluka li abîka (Kamu dan hartamu adalah milik bapakmu).” Padahal hadis itu tidak menunjukkan demikian.

Contoh lain, pendapat bahwa muzâra’ah adalah boleh dengan dalil muamalah Rasul saw. atas Tanah Khaybar. Pendapat ini marjûh dan dikatakan memiliki syubhah ad-dalîl. Sebabnya, muamalah Nabi saw. atas Tanah Khaybar itu bukan muzâra’ah, melainkan musâqah. Pendapat bahwa muzâra’ah boleh ini tetap merupakan pendapat islami dan hukum yang syar’i karena memiliki syubhah ad-dalîl.

Secara umum, satu pendapat dinilai marjûh (lemah) oleh seseorang mujtahid dan pendapat marjûh itu memiliki dalil. Hanya saja, menurut mujtahid tersebut itu bukan dalil, misalnya istihsân; atau memiliki dalil mu’tabar, tetapi lemah atau tidak menunjukkan atau tidak sesuai dengan masalah itu. Dengan demikian pendapat marjûh yang demikian dikatakan memiliki syubhah ad-dalîl.

Ada kalanya dua masalah tampak mirip pada lahiriahnya, tetapi sebenarnya berbeda; yakni yang satu tidak memiliki syubhah ad-dalîl, sementara yang lain memiliki syubhah ad-dalîl. Contoh: orang memanfaatkan air kencing atau kotoran hewan ternak untuk pupuk. Jika dia memanfaatkannya dengan anggapan bahwa memanfaatkan najis adalah boleh, maka pendapatnya itu tidak memiliki syubhah ad-dalîl. Sebabnya, keharaman pemanfaatan najis dalam bentuk pemanfaatan apapun adalah haram dan tidak ada ikhtilaf dalam hal itu. Ini berbeda jika orang itu memanfaatkannya dengan anggapan bahwa air kencing dan kotoran hewan ternak, yakni hewan yang dagingnya boleh dimakan adalah boleh karena itu bukan najis, maka pendapat ini adalah marjûh dan dikatakan memiliki syubhah ad-dalîl.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

 

Catatan kaki:

1      Muhammad Abu Bakar ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh, Maktabah Lubnan Nasyirun, Beirut. 1415-1995.

2      Muhammad Rawas Qal’ah Ji, Mu’jam Lughah al-Fuqahâ‘, hlm. 257, Dar an-Nafais, 1408-1988.

3      Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah, iii/164, edisi muktamadah. 2005.

4      Imam asy-Syathibi, Al-Muwâfaqât, i/29, Dar al-Ma’rifah.

5      Imam asy-Syathibi, Al-Muwâfaqât, i/31, Dar al-Ma’rifah.

6      Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah, iii/399, edisi muktamadah. 2005, file 21-06-2016.

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*