Kata qur’ân secara bahasa merupakan bentuk mashdar (gerund) dari qara‘a-yaqra‘u-qirâ‘at[an] wa qur‘ân[an]; artinya talâ-yatlû–tilâwat[an] (membaca dan bacaan). Makna bahasa qur’ân ini dinyatakan di dalam al-Quran:
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (١٧) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ
Sungguh atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuat kamu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, ikutilah bacaannya itu (QS al-Qiyamah [75]: 17-18).
Hanya saja, penamaan al-Qur’ân sebagai al-Qur’ân tidak memperhatikan aspek bahasa dan bukan karena memperhatikan fakta bahwa al-Quran itu dibacakan. Penamaannya sebagai al-Qur’ân adalah karena Allah SWT sendiri di dalam al-Quran menyebut dan menamakannya al-Qur’ân. Tidak kurang kata al-qur’ân disebutkan dalam 50 ayat al-Quran. Semua digunakan untuk menyebut wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw.
Imam as-Suyuthi di dalam Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân menguatkan pendapat Imam Syafii bahwa nama al-Qur’ân adalah isim ‘alam, bukan musytaq. Al-Qur’ân itu adalah nama untuk Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
Adapun secara syar’i, para ulama mendefinisikan al-Quran adalah kalâmullâh al-mu’jiz al-munazzalu biwâsithati al-wahyi ‘alâ Muhammad[in] lafzh[an] wa ma’n[an] al-muta’abbadu bihi tilâwatuhu al-manqûl ilaynâ naql[an] mutawâtir[an] (kalamullah yang bersifat mukjizat yang diturunkan melalui wahyu kepada Nabi Muhammad saw. baik lafal maupun maknanya, yang membacanya adalah ibadah, dan dinukilkan kepada kita dengan penukilan secara mutawâtir).
Batasan “kalamullâh al-mu’jiz” mengeluarkan kalam selain Allah SWT dan juga mengeluarkan hadis qudsi ataupun hadis nabawi. Al-Quran adalah kalamullah terbukti secara qath’i dengan dalil ‘aqli.
Keberadaan al-Quran yang merupakan mukjizat itu tidak mengeluarkan kenyataan al-Quran yang dimudahkan untuk dipahami. Al-Quran diturunkan berbahasa Arab dengan uslûb-uslûb bahasa Arab yang dimudahkan untuk dipahami, berisi berbagai perintah dan larangan dari Allah SWT. Allah SWT berfirman:
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ
Sungguh telah Kami mudahkan al-Quran untuk pelajaran. Lalu adakah orang yang mengambil pelajaran? (QS al-Qamar [54]: 17, 22, 32, 40).
Beberapa ayat lainnya juga menyatakan, al-Quran dimudahkan untuk menjadi pelajaran dan diperuntukkan untuk orang yang berakal dan memahami. Hal itu mengharuskan al-Quran itu mungkin untuk dipahami dan di-tadabburi.
Batasan “al-munazzalu biwâsithati al-wahyi ‘alâ Muhammadin lafzh[an] wa ma’n[an]” membedakan dari kalamullah yang diturunkan kepada nabi-nabi yang lain, bahwa itu bukanlah al-Quran. Batasan diturunkan secara lafal dan makna membedakan dari hadis Nabi saw. meski keduanya diturunkan melalui wahyu. Sebabnya, hadis hanya secara makna, sementara lafalnya berasal dari Rasul saw.
Batasan al-manqûl ilaynâ naql[an] mutawâtir[an] mengeluarkan semua yang diklaim sebagai bagian al-Quran tetapi tidak mutawâtir. Demikian pula qirâ’ah syadz yang tidak mutawâtir; semua itu bukanlah al-Quran.
Hal itu karena Nabi saw. ditugaskan menyampaikan al-Quran yang diturunkan kepada beliau kepada jamaah yang tegak hujjah qath’i dengan ucapan mereka. Siapa yang tegak hujjah qath’i dengan ucapan mereka maka tidak mungkin mereka berdusta atau bersepakat menambah atau mengurangi apa yang mereka dengar; juga tidak mungkin mereka bersepakat tidak menukilkan apa yang mereka dengar.
Jika ada sesuatu dari al-Quran yang tidak dinukilkan oleh orang yang tegak hujjah dengan ucapan mereka, melainkan dinukilkan secara ahad, maka tidak dianggap. Sebabnya, dengan penukilannya secara ahad maka itu menyalahi apa yang dibebankan kepada Rasul saw.; juga menyalahi apa yang seharusnya, yaitu penyampaian al-Quran dari Rasul saw. kepada sejumlah orang dari kaum Muslim yang menghapalkannya dan mereka menjadi orang-orang yang tegak hujjah dengan ucapan mereka, di samping perintah beliau untuk menuliskannya.
Dengan semua itu, tidak boleh terjadi seorang atau sejumlah orang yang tidak tegak hujjah qath’i dengan ucapan mereka, yang menukilkan sesuatu dari al-Quran. Oleh karena itu apa yang diklaim bagian dari al-Quran tetapi dinukilkan secara ahad, tidak secara mutawâtir, maka tidak menjadi hujjah atau dalil, dan itu bukanlah al-Quran.
Mungkin ada yang menyanggah bahwa orang yang hafizh al-Quran pada masa Rasul saw. tidak mencapai jumlah tawâtur karena sedikit, dan penghimpunan al-Quran itu adalah dengan cara talaqqi ahad dari ahad. Oleh karena itu ada perbedaan mushaf para sahabat. Seandainya Nabi saw. menyampaikanya kepada jamaah yang tegak hujjah dengan ucapan mereka, niscaya tidak seperti itu.
Tidak bisa dikatakan demikian (lihat: Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz iii/69-70). Sebabnya: Pertama, penyampaian al-Quran ke sejumlah orang yang tegak hujjah dengan ucapan mereka itu tidak ada seorang sahabat pun yang berbeda pendapat tentangnya bahkan tidak pula seorang pun dari kaum Muslim; juga bahwa al-Quran itu adalah mukjizat yang menunjukkan kebenaran beliau secara qath’i. Jika al-Quran itu tidak dinukilkan secara mutawâtir maka tidak akan menjadi hujjah qath’i dalam pembenaran beliau adalah nabi.
Kedua, sudah terbukti bahwa ketika turun ayat, beliau memanggil para penulis wahyu untuk menuliskannya dan beliau menyampaikan kepada sejumlah orang dari kaum Muslim yang tegak hujjah qath’i dengan ucapan mereka. Beliau juga menyampaikannya kepada kaum Muslim yang datang kepada beliau atau yang menghadiri shalat bersama beliau. Jadi fakta penyampaian al-Quran tidak disampaikan kepada satu orang, melainkan beliau menyampaikan kepada sejumlah orang di mana yang mendengar dari beliau mencapai batas tawâtur.
Ketiga, masalahnya bukanlah menghapal seluruh al-Quran, melainkan penukilan ayat-ayatnya. Jika diasumsikan jumlah orang yang hapal seluruh al-Quran pada masa Nabi saw. tidak sampai jumlah tawâtur, maka tidak berarti bahwa jumlah orang yang hapal masing-masig ayat al-Quran juga tidak sampai jumlah tawâtur. Setiap ayat al-Quran, jumlah orang yang menghapalnya mencapai jumlah tawâtur, apalagi tiap ayat al-Quran juga ditulis didepan Nabi saw. Setiap ayat al-Quran itu dinukilkan dari Nabi saw secara tawâtur.
Keempat, pengumpulan al-Quran itu berbeda dengan penukilan al-Quran dari Nabi saw. Sebabnya, penukilan itu adalah mendengar dari Nabi saw secara lisan. Adapun pengumpulan al-Quran dalam satu mushaf, pembahasan tentangnya bukanlah pembahasan keberadaannya sebagai al-Quran, melainkan penyusunanya dan pengurutannya dalam satu mushaf. Pengumpulan al-Quran itu juga bukanlah menuliskannya dari para penghapal al-Quran, melainkan mengumpulkan lembaran-lembaran tulisan al-Quran yang ditulis di hadapan Nabi saw. dan menyusun dan mengurutkan ayat-ayatnya sesuai yang diakui oleh Rasul saw, dan sama dengan apa yang dihapal oleh para penghapal al-Quran, dan menempatkan serta meghimpunnya di satu tempat. Jadi masalah pengumpulan berbeda dengan masalah penukilan al-Quran.
Jadi masalahnya bukan terkait mushafnya, melainkan terkait ayat-ayat yag terkandung di dalamnya. Jika ayat-ayat itu dinukilkan dari Rasul saw. secara mutawâtir, yakni dinukilkan dari Rasul oleh sejumlah orang yang mencapai batas tawâtur, artinya tegak hujjah qath’i dengan ucapan mereka, maka ayat itu termasuk al-Quran dan mejadi hujjah. Adapun yang tidak memenuhi hal itu maka tidak termasuk al-Quran dan tidak menjadi hujjah.
Oleh karena itu, mushaf Utsman semuanya adalah al-Quran. Sebabnya, semua ayat-ayatya dinukilkan secara mutawâtir, dinukilkan oleh mereka yang tegak hujjah qath’i dengan ucapan mereka. Adapun apa yang dinukilkan tidak secara mutawâtir, yang terkandung dalam mushaf selainnya, maka itu bukan al-Quran dan tidak menjadi hujjah.
Qirâ’ah ahad seperti qira’ah Ibnu Mas’ud, “faman lam yajid fashiyâmu tsalâtsata ayyâmin mutatabi’âtin”, misalnya, dan qirâ’ah ahad lainnya, bukanlah al-Quran dan tidak sah dianggap bagian dari al-Quran. Bahkan juga tidak sah dianggap sebagai hadis nabi. Sebabnya, qirâ’ah itu hanya dinisbatkan kepada yang membacakannya yakni sahabat. Alhasil, qirâ’ah ahad itu tidak lebih adalah tafsir atau pendapat sahabat yang membacakannya itu.
Yang harus diperhatikan, al-Quran telah dinukilkan dari wahyu, dengan disaksikan oleh Rasul saw, ketika diturunkan, dan ditulis di hadapan beliau, di samping dihapalkan oleh para sahabat. Jadi para sahabat bukanlah meriwayatkan al-Quran dari Rasul saw., melainkan menukilkannya sama persis dengan apa yang diturunkan dengan wahyu dan apa yang diperintahkan oleh Rasul untuk dituliskan di hadapan beliau. Ini berbeda dengan hadis. Hadis itu diriwayatkan dari Rasul saw. secara riwayat dan tidak ditulis ketika beliau ucapkan atau ketika periwayatannya. Penulisan dan pencatatannya pun terjadi pada masa tâbi’ at-tâbi’în. Adapun al-Quran ditulis dan dicatat ketika diturunkan oleh wahyu, dihapal oleh para sahabat, dan mereka menukilkan apa yang diturunkan oleh wahyu itu sama persis. Karena itu dikatakan al-Quran itu telah dinukilkan secara mutawâtir, bukan diriwayatkan. Ayat yang dinukilkan secara mutawâtir itulah yang merupakan al-Quran dan menjadi dalil syaraiah.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]