(Tafsir QS ‘an-Nazi’at [79]: 21-26)
فَكَذَّبَ وَعَصَى (21) ثُمَّ أَدْبَرَ يَسْعَى (22) فَحَشَرَ فَنَادَى (23) فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى (24) فَأَخَذَهُ اللَّهُ نَكَالَ الْآخِرَةِ وَالْأُولَى (25) إِنَّ فِي ذَلِكَ لَعِبْرَةً لِمَنْ يَخْشَى (26)
Akan tetapi, Fir’aun mendustakan dan mendurhakai. Lalu dia berpaling seraya berusaha menantang (Musa). Kemudian dia mengumpulkan (para pembesarnya) dan memanggil kaumnya seraya berkata, “Akulah tuhanmu yang paling tinggi.” Karena itu Allah mengazab dia dengan azab di akhirat dan azab di dunia. Sungguh pada yang demikian ada pelajaran bagi orang yang takut (kepada Tuhannya) (QS an-Naziat [79]: 21-26).
Dalam ayat-ayat sebelumnya diberitakan bahwa Allah SWT memerintahkan Musa as. untuk menemui Fir’aun. Tujuannya untuk menyampaikan dakwah kepada penguasa thaghâ (melampaui batas) tersebut. Musa as. pun menawari Fir’aun untuk menyucikan diri. Ia memberikan bimbingan kepada Fir’aun agar mengikuti jalan Allah SWT dan takut kepada-Nya. Untuk meyakinkan Fir’aun, Musa as. menunjukkan mukjizat yang menjadi bukti kebenaran dakwahnya.
Kemudian ayat-ayat ini menerangkan sikap Fir’aun terhadap ajakan tersebut.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Fakadzdzaba wa ‘ashâ (Akan tetapi, Fir´aun mendustakan dan mendurhakai). Ayat ini memberitakan sikap Fir’aun setelah Musa as. menyampaikan dakwah kepada dia serta memperlihatkan mukjizat yang menjadi bukti kebenaran. Diberitakan oleh ayat ini: fa kadzdzaba. Makna kadzdzaba bi al-amr adalah ankarahu wa jahadahu (mengkufuri dan mengingkarinya).1 Inilah yang dilakukan Fir’aun terhadap Musa as. Dia mendustakan dan mengingkarinya sebagaimana diterangkan para mufassir.
Tak hanya mendustakan, Fir’aun juga ‘ashâ. Artinya, melanggar, melawan dan keluar dari ketaatan. Sebagaimana menurut Ahmad Mukhtar, frasa ‘ashâ Rabbahu berarti khâlafa amrahu wa ‘ânadahu wa kharaja ‘an thâ’atihi (melanggar perintah-Nya, menentang dan keluar dari ketaatan kepada-Nya).2 Makna itu pula yang diterangkan oleh para mufassir dalam menjelaskan ayat ini.
Imam al-Qurthubi berkata, “Kadzdzaba, yakni mendustakan Nabi Musa as.; wa ‘ashâ, yakni durhaka kepada Tuhannya.”3 Ibnu Jarir ath-Thabari juga berkata, “Fir’aun mendustakan Musa pada ayat-ayat mukjizat yang ia bawa dan medurhakai perintah Allah SWT untuk taat dan takut kepada-Nya.”4
Ibnu Katsir berkata, “Lalu dia mendustakan kebenaran dan tidak mau menaati perintah Allah SWT kepada dirinya. Akibatnya, ia kafir dan tidak terpengaruh oleh Musa as., baik batin dan lahirnya. Pengetahuannya bahwa yang dibawa Musa as. adalah benar tidak serta-merta membuat diri menjadi Mukmin. Sebabnya, pengetahuan adalah ilmu hati, sedangkan iman adalah pengamalannya, yakni tunduk dan patuh terhadap kebenaran.”5
Kemudian disebutkan: Tsumma adbara yas’â (Lalu dia berpaling seraya berusaha menantang [Musa]). Kata adzbara berarti mu’ridh[an] (berpaling). Sebagian mufassir menafsirkan ayat ini dengan makna hakiki, yakni berdiri dari tempatnya, lantas berpaling cepat dari tempat duduknya yang bersama Musa as.6 Akan tetapi, menurut Abu Hayyan al-Andalusi, jumhur menafsirkannya dengan makna kinâyah, yakni berpaling dari keimanan.7 Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Kemudian berpaling dari apa yang diserukan Musa as. Kepada dia untuk menaati Tuhannya, takut terhadap-Nya dan mentauhidkan-Nya.”8
Adapun as-sa’y (bentuk mashdar dari kata yas’â) berarti berjalan cepat di hadapan musuh; kata ini digunakan untuk menyebut kesungguhan dalam suatu urusan, yang baik maupun yang buruk.9 Dalam konteks ayat ini, urusan yang dimaksud adalah urusan yang buruk. Menurut al-Biqa’i, makna yas’â di sini adalah berbuat dengan sepenuh kesungguhan; mengerjakannya dengan kecepatan paling tinggi untuk menggagalkan urusan ketuhanan karena oleh kurangnya akal, rusaknya pemikiran dan keengganan menerima kebenaran.10
Para mufassir lainnya juga menjelaskan bahwa upaya yang dilakukan oleh Fir’aun dalam ayat ini adalah upaya yang buruk dan jahat. Imam al-Qurthubi berkata, “Melakukan kerusakan di muka bumi.”11 Ath-Thabari juga memaknainya mengerjakan kemaksiatan kepada Allah SWT dan yang Dia murkai.12
Lalu diberitakan: Fahasyara fanâdâ (Kemudian dia mengumpulkan [para pembesarnya] lalu memanggil kaumnya). Kata hasyara bermakna jama’a (mengumpulkan). Dalam ayat ini tidak disebutkan al-maf’ûl bih (objeknya). Menurut al-Qurthubi, Fir’aun mengumpulkan para sahabatnya untuk melindungi dirinya.13 Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, yang dikumpulkan Fir’aun adalah kaum dan para pengikutnya.14
Asy-Syaukani menyebutkan beberapa alternatif penafsiran. Mufassir tersebut berkata, “Fir’aun mengumpulkan bala tentaranya untuk berperang; atau mengumpulkan tukang-tukang sihir untuk melawan; atau mengumpulkan orang-orang untuk datang dan menyaksikan apa yang terjadi; atau mengumpulkan mereka semua untuk melindungi dirinya dari ular.”15
Semua penafsiran tersebut diterima karena dalam ayat ini memang tidak disebutkan objeknya. Hanya disebutkan bahwa penguasa thâghût itu mengumpulkan.
Setelah itu Fir’aun pun diberitakan: fanâdâ (lalu dia memanggil). Secara bahasa, kata al-nidâ bermakna raf’ ash-shawt wa zhuhûruhi (meninggikan dan mengeraskan suara).16 Makna ini pula yang dipahami oleh para mufassir. Menjelaskan penggalan ayat ini, Imam al-Qurthubi berkata, “Dia berkata kepada mereka dengan suara yang keras.”17
Lalu disebutkan: Faqâla ana Rabbukum al-A’lâ ([seraya] berkata, “Akulah tuhanmu yang paling tinggi.”). Inilah yang disampaikan oleh Fir’aun kepada para pengikutnya dan rakyatnya. Dia menyebut dirinya tuhan mereka yang paling tinggi. Imam asy-Syaukani berkata: Makna Akulah Tuhanmu yang paling tinggi adalah “Tidak ada Tuhan di atasku.”
Menurut asy-Syaukami, penafsiran ini dikukuhkan oleh firman Allah SWT:
مَا عَلِمْتُ لَكُمْ مِنْ إِلهٍ غَيْرِي
Aku tidak mengetahui tuhan bagi kalian selain aku (QS al-Qashash [28]: 38).18
Kemudian Allah SWT berfirman: Fa akhadzahul-Lâh nakâla al-âkhirah wa al-ûlâ (Karena itu Allah mengazab dia dengan azab di akhirat dan azab di dunia). Atas semua tindakan tersebut, Allah SWT pun menimpakan azab kepada dirinya. Frasa akhadzahul-Lâh bermakna adzdzabu (Allah SWT mengazab dia) dan nakâl berarti adzâb (azab).19
Yang dimaksud dengan al-âkhirah adalah al-dâr al-âkhirah (kehidupan akhirat). Adapun al-ûlâ adalah al-dun-yâ (dunia).20 Hukuman di akhirat adalah azab neraka. Adapun azab di dunia adalah dia ditengelamkan di lautan. Imam asy-Syaukani berkata, “Hukuman di akhirat adalah azab neraka, sedangkan hukum di dunia adalah ditenggelamkan.”21
Lalu Allah SWT berfirman: Inna fî dzâlika la’ibrah liman yakhsyâ (Sungguh pada yang demikian ada pelajaran bagi orang yang takut [kepada Tuhannya]). Kata Inna fî dzâlika la’ibrah liman yakhsyâ merujuk pada perbutaan Fir’aun dan hukuman yang menimpa dia, baik di akhirat maupun dunia. Ditegaskan oleh ayat ini bahwa semua itu merupakan ‘ibrah. Menurut al-Khazin, makna ‘ibrah di sini adalah ‘izhah (nasihat).22
Adapun liman yakhsyâ berarti bagi orang takut terhadap hukuman Allah SWT pada Hari Kiamat dan di dunia.23
Beberapa Pelajaran Penting
Di dalam ayat ini ada banyak pelajaran yang dapat diambil. Pertama: Adanya mukjizat tidak meniscayakan keimanan bagi orang yang menyaksikannya. Inilah yang terjadi pada Fir’aun dan pengikutnya. Meskipun Musa as. telah menunjukkan mukjizat yang besar sebagai bukti kebenaran dakwahnya, Fir‘aun tetap saja mendustakan dan menolaknya.
Ini menunjukkan bahwa ada sebagian manusia yang tertutup hatinya dalam menerima kebenaran. Mereka tetap menolak meskipun kebenaran itu terang-benderang laksana matahari di siang hari. Lebih dari itu mereka menentang dan memerangi pengembannya.
Karena itu tak mengherankan jika penolakan terhadap dakwah juga dialami semua nabi dan rasul. Mereka ditentang, dimusuhi dan diperangi sekalipun mereka telah dibekali mukjizat sebagai bukti kebenaran dakwah mereka. Allah SWT berfirman:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ
Seperti itulah telah Kami adakan bagi tiap-tiap nabi musuh dari orang-orang yang berdosa (QS al-Furqan [25]: 31).
Realitas ini penting dipahami oleh para pengemban dakwah. Tatkala dakwahnya mendapatkan penolakan dan penentangan, mereka tidak perlu sedih dan berkecil hati. Apalagi menyurutkan langkah mereka dalam berdakwah. Jangankan mereka, para nabi dan rasul yang membawa mukjizat pun ada yang menolak dan menentang.
Selain itu, yang diwajibkan atas mereka adalah berdakwah. Mereka tidak dibebani kewajiban dakwahnya harus diterima. Ketika kewajiban itu telah ditunaikan dengan ikhlas dan dilakukan dengan sebaik-baiknya, maka pahala akan didapatkan. Tanpa melihat apakah dakwahnya diterima atau ditolak. Sebagaimana para nabi dan rasul, kewajiban mereka hanyalah menjadi penyampai dakwah. Selebihnya, menjadi tanggung jawab orang yang didakwahi. Allah SWT berfriman:
فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
Jika mereka tetap berpaling, sungguh kewajiban yang dibebankan atas kamu (Muhammad) hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang (QS al-Nahl [16]: 82).
Kedua: Kepastian azab Allah SWT bagi penguasa thâghût. Telah maklum bahwa Fir’aun adalah seorang raja dengan kekuasaan yang amat besar. Dia memiliki para pembesar yang loyal dan balatentara yang kuat. Semua itu membuat dia menjadi sombong, berbuat sewenang-wenang, menindas rakyatnya, menyembelih anak laki-laki, dan membiarkan hidup anak-anak perempuan (lihat: QS al-Qashash [28]: 4). Bahkan dia menyebut dirinya sebagai tuhan yang paling tinggi. Ini berarti dia telah menjadi thâghût, yakni sesembahan selain Allah SWT.
Akibat semua perbuatan itu, Fir’aun harus menuai akibatnya. Dia harus menerima azab dari Allah SWT, di dunia dan akhirat. Di akhirat menjadi penghuni neraka selama-lamanya. Di dunia dia ditenggelamkan di lautan ketika dia beserta balatentaranya mengejar Musa as. dan pengikutnya. Allah SWT berfirman:
فَأَخَذْنَاهُ وَجُنُودَهُ فَنَبَذْنَاهُمْ فِي الْيَمِّ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الظَّالِمِينَ
Kami menghukum Fir’aun dan bala tentaranya, lalu Kami melemparkan mereka ke dalam laut. Karena itu lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim (QS al-Qashshash [28]: 40).
Itulah kesudahan orang-orang yang zalim. Ini harus menjadi pelajaran bagi siapa saja. Jika tidak ingin mengalami nasib yang dengan Fir’aun, jangan melakukan perbuatan seperti yang dia lakukan.
Ketiga: Azab ditimpakan setelah dakwah disampaikan. Ini terjadi kepada Fir’aun. Sekalipun dia thaghâ (melampaui batas), ia tidak langsung diazab. Terlebih dulu Musa as. diperintahkan untuk menyampakan dakwah kepada dia. Musa as. pun dibekali dengan mukjizat untuk menjadi bukti kebenaran dakwahnya. Setelah disampaikan, tidak ada perubahan sama sekali pada dirinya. Sebaliknya, sikapnya makin parah. Bahkan dia mentabhiskan dirinya sebagai tuhan dan mengerahkan segala daya upaya untuk memerangi Musa as. Setelah itu, barulah Allah SWT menimpakan azab bagi dirinya.
Ini bukan hanya berlaku bagi Fir’aun. Umat dan kaum lainnya pun demikian. Kaum ‘Ad dibinasakan setelah diutus kepada mereka Nabi Hud as. Kaum Tsamud juga diazab setelah diutus Nabi Shalih as. Penduduk Madyan mendapatkan hukuman setelah menolak dakwah Nabi Syuaib as. Demikian pula kaum Nabi Nuh, Nabi Luth dan nabi-nabi lainnya. Mereka semua tidak diazab kecuali setelah diutus nabi dan rasul yang menyampaikan dakwah kepada mereka. Ketentuan ini juga disebutkan dalam firman-Nya:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا
Kami tidak akan mengazab (manusia) sebelum Kami mengutus seorang rasul (kepada mereka) (QS al-Isra’ [17]: 15).
Dengan demikian dakwah ibarat pisau bermata dua. Bagi yang menerima akan mendapatkan kebaikan dan kebahagaian. Sebaliknya, bagi yang menolak akan menuai kerugian dan kesengsaraan. Semoga kita bukan termasuk golongan orang-orang yang merugi.[Rokhmat S. Labib]
Catatan kaki:
1 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah, vol. 3 (tt: Alam al-Kitab, 2008), 1915
2 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah, vol. 2, 1511
3 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1969), 202. Penjelasan senada juga dikemukakan al-Jazairi, aAysar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ilm wa al-Hikam, 2003), 510
4 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 24 (tt: al-Risalah, 2000), 202
5 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 315
6 Ibnu Athiya, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 433
7 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), 399
8 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 24, 202
9 al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân, 411
10 al-Biqa’i, Nazhm al-Durar, vol. 21 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 232
11 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 202
12 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 24, 202
13 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 202
14 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 24, 202
15 al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 19914), 455
16 al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 796
17 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 202; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 455
18 al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 455. Penafsiran yang sama juga dikemuakan oleh al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 392
19 al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 359
20 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 315
21 al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 455; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 202
22 al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 392
23 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth vol. 10, 399