Kejatuhan Aleppo atau Halab menambah catatan penderitaan umat Islam ketika di tengah-tengah umat Islam tidak ada Khilafah yang melindungi. Hampir enam bulan, kota Halab atau Aleppo, dengan penduduk seperempat juta orang, dibombardir jet-jet tempur Rusia dan rezim buas Bashar. Mereka membakar kota dengan bom-bom barrel dan bom cluster yang berdaya rusak mengerikan. Bom itu berisi bom-bom kecil yang meledak dan terbakar di wilayah yang luas, sehingga membakar kota, nyaris tanpa tersisa.
Tidak hanya menyasar perumahan penduduk, jet-jet tempur Rusia menghancurleburkan sekolah-sekolah dan rumah-rumah sakit. Bukan hanya membunuh pasien-pasien yang seharusnya dirawat dan dilindungi, tetapi juga dokter dengan tugas sucinya. Diperkirakan saat akhir kejatuhan Aleppo, hanya terdapat 35 dokter yang tersisa di Aleppo Timur; satu orang untuk setiap 7.143 orang, dengan asumsi penduduknya berjumlah 250.000 orang. Ribuan orang telah terbunuh dalam pengepungan Aleppo ini, melengkapi lebih dari 500 ribu rakyat Suriah yang terbunuh akibat keganasan rezim Basyar.
Video dan foto yang bertebaran di media massa maupun sosial media, meskipun ada sebagian kecil di antaranya ada yang hoax, menggambarkan bencana yang mengerikan sedang terjadi di Aleppo dan tempat-tempat lainnya di Suriah.
Pengepungan berbulan-bulan oleh rezim Assad yang dibantu Rusia dan Iran berdampak luas terhadap kelayakan hidup masyarakat Aleppo. Mereka mengalami kesulitan mendapatkan makanan, minuman, air dan obat-obatan. Seperti kekhawatiran, Duta Besar Prancis untuk PBB, Francois Delattre, Aleppo akan menjadi “salah satu pembantaian terbesar terhadap penduduk sipil sejak Perang Dunia II”. Sungguh, itu benar terjadi. Namun, ini bukanlah hal baru dialami umat Islam. Pembantaian yang sama sedang terjadi di Palestina oleh Zionis Israel; pernah pula dialami umat Islam di Bosnia, Irak, Yaman dan tempat-tempat lainnya.
Genosida di Aleppo kembali menunjukkan pengkhianatan para penguasa negeri Islam. Mereka, terutama penguasa Arab, juga bertanggung jawab. Sikap mereka yang diam terhadap pembantaian ini adalah kemaksiatan besar. Bukannya membela rakyat Suriah dan menjatuhkan diktator Assad, para penguasa Arab malah mengalihkan persoalan dengan berperang melawan ISIS. Saudi malah menyibukkan diri dalam Perang Yaman, yang justru banyak mengorbankan rakyat Muslim sendiri. Turki mengirim tentaranya ke perbatasan Suriah, bukan untuk melemahkan Assad, tetapi memerangi Kurdi dan ISIS. Padahal jarak Aleppo dan perbatasan Turki hanya 25 km? Adapun Iran, yang mengklaim sebagai pembela yang tertindas, justru membela habis-habisan sang penindas untuk melayani kepentingan Amerika.
Penguasa negeri-negeri Muslim tak segera bertindak melihat warga Muslim Aleppo diperlakukan secara semena-mena oleh penguasa jahat. Penguasa negeri Muslim ini seakan rela atas darah yang telah mengalir di tanah Suriah, di Aleppo khususnya. Mereka diam saja menyaksikan orang-orang yang dibantai. Anak-anak yang tidak bersalah dirampok dan kaum wanita diperkosa dan yang mengubur anggota keluarga mereka. Mengapa para penguasa negeri-negeri Muslim yang berbatasan dengan Suriah seperti Yordania, Arab Saudi dan Turki masih tetap saja diam? Demikian pula penguasa Indonesia yang merupakan negeri Muslim terbesar di dunia. Di mana tentara mereka?
Semua ini menunjukkan betapa buruknya peradaban Kapitalisme yang dibangun oleh negara-negara Barat. Peradaban busuk ini gagal menjaga kehormatan dan kemulian manusia, justru menimbulkan perang yang berkepanjangan dengan korban yang mengerikan. Inilah cermin dari kejahatan dan kekejian yang luar biasa negara-negara imperialis Barat yang bertanggung jawab dalam hampir setiap pembantaian yang terjadi saat ini, termasuk yang terjadi di Aleppo dan wilayah Suriah lainnya. Dalang dari semua ini adalah Amerika Serikat. Semua pembantaian ini merupakan bagian dari skenario Amerika Serikat yang ingin menundukkan umat Islam di Suriah agar mau menerima solusi-solusi jahat Amerika Serikat.
Ini merupakan politik klasik brutal para penjahat dunia: menyerah atau bumi hangus. Sebelumnya Amerika gagal memanfaatkan kelompok oposisi bonekanya. Iran dan partai pendukungnya dari Lebanon juga gagal menjaga Assad. Peran negara-negara regional sekutu Amerika dalam menjalankan road-map negara itu juga tidak optimal. Karena itu Amerika kemudian mendorong Rusia masuk dalam perang ini, dengan menggunakan pesawat-pesawat tempur dan bom-bom yang mengerikan, memperkuat rezim Bashar. Lampu hijau dari Amerika terhadap Rusia tampak setelah pertemuan Putin dan Obama di Washington.
Amerika berkoordinasi secara penuh dengan Rusia dalam serangan-serangan brutalnya. Amerikalah yang ada di belakang “Perisai Eufrat”. Targetnya, menarik faksi-faksi dari front Aleppo ke operasi “Perisai Eufrat” dan berikutnya memperlemah front Aleppo. Amerika jugalah yang mengatur negosiasi-negosiasi faksi-faksi yang mencurigakan dengan Russia, termasuk ada di belakang mobilisasi Iran dan para pengikutnya. Kemudian Amerikalah yang berada di belakang dihalanginya senjata yang efektif dari oposisi.
Kejahatan Amerika ini diungkap oleh Hizbut Tahrir Suriah. Dalam pernyataan persnya pada Kamis (16 Rabi’ul Awal 1438 H/15 Desember 2016 H), Hizbut Tahrir Suriah menyatakan bahwa penghancuran Aleppo merupakan bagian dari rencana Amerika. Rusia hanyalah tongkat besar yang digunakan Amerika untuk menundukkan sejumlah daerah agar menerima solusi politiknya. Namun, ditegaskan oleh Hizbut Tahrir Suriah, semua ini bukan akhir dari revolusi, tetapi awal revolusi baru dengan jalan baru yang diperbaiki. Sebabnya, rakyat Syam tidak akan pernah menerima api revolusi mereka dipadamkan. Mereka akan menyalakan lagi api itu, namun dalam perjuangan di garis lurus dengan izin Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Memaksa.
Pesan Amir Hizbut Tahrir terkait kejatuhan Aleppo perlu kita renungi, “Sungguh, Amerika, Rusia, para sekutu serta pengikutnya ingin mengulangi kejahatan-kejahatan brutal yang pernah dilakukan pendahulu mereka; kejahatan kaum salibis dan Moghul Tatar di Irak dan Syam. Namun, mereka tidak mengambil pelajaran, bagaimana umat Islam kembali bangkit. Kemuliaan Islam dan kaum Muslim pun kembali lagi. Khilafah mereka menjadi kuat kembali. Mereka pun membebaskan kota Heraklius dan kota itu menjadi kota Islam ‘Istanbul’. Mereka juga mendekati Moskow dan mengetuk pintu-pintu Wina. Hari-hari itu silih berganti dipergilirkan. Sungguh, hari esok bagi orang yang menantinya adalah dekat: Orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali (TQS asy-Syu’ara’ [26]: 227). Allahu Akbar! [Farid Wadjdi]