Desember 2016 merupakan akhir tahun Masehi yang banyak mengandung pelajaran. Sebut saja, Aksi 212. Aksi ini dinamakan 212 karena dilaksanakan pada tanggal 2 Desember 2012. Tuntutannya pun jelas: hukum dan tangkap Ahok, penista al-Quran. Alhamdulillah, saya ditakdirkan Allah SWT turut dalam acara yang dihadiri lebih dari 4,5 juta umat Islam tersebut.
Pagi itu, tol dari Bogor ke Jakarta sangat padat.Sesekali tersendat. Bis-bis dihiasi spanduk dengan aneka tulisan: “Tahan Ahok!”, “Aksi Bela Islam 3”, “Bela Al-Quran”, “Penjarakan Penista al-Quran!” dan tulisan senada lainnya.
Sepanjang jalan dipenuhi peserta aksi. Sampai daerah Cikini, semua kendaraan sudah tidak dapat masuk. Kaki melangkah setapak demi setapak, sedepa demi sedepa, menuju lapangan Monas. Banyak tawaran makan, minum, roti dan sebagainya. Ada hal yang sangat menyentak jiwa. ”‘Gorengan… gorengan…. Islam memang hebat. Gorengan… gorengan… Islam memang hebat. Gorengan… gorengan untuk pejuang Islam.”
Sungguh, tawaran yang ikhlas.
Setelah perempatan Tugu Tani, keindahan pun terasa. Di tengah padatnya massa, kibaran bendera berbagai organisasi terlihat, paling depan tampak bendera hitam dan putih bertuliskan Lâ ilâha illâlLâh Muhammad ar-RasûlulLâh berkibar-kibar. Tiba-tiba, sambil berjalan, semua peserta mengucapkan kalimat tauhid bersama-sama, Lâ ilâha illâlLâh…Lâ ilâha illâlLâh… Lâ ilâha illâlLâh. Kompak. Sungguh-sungguh. Keluar dari keyakinan. Terus berulang-ulang. Pikiran pun melayang, teringat pada saat Rasulullah saw. dan para sahabat pertama kali menampakkan dakwah, berkeliling Ka’bah. Mereka mengucapkan kalimat tauhid tersebut bersama-sama dan kompak: Lâ ilâha illâlLâh…Lâ ilâha illâlLâh…Lâ ilâha illâlLâh. Kalimat yang menyatukan umat Islam.
****
Aksi 212 memiliki banyak pelajaran. Setidaknya ada lima pelajaran yang dapat diambil. Kelima pelajaran tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, apa yang terjadi pada Aksi 212 mematahkan mitos bahwa berbagai komponen Islam tidak bisa menyatu. Umat Islam dari berbagai kalangan, organisasi, satus sosial, kondisi ekonomi, dan strata pendidikan tumpah-ruah dalam satu barisan. Apa yang dapat menyatukan kaum Muslim saat itu? Ya, keimanan. Keimananlah yang menggerakkan dan menyatukan mereka. Buya Hamka dengan indah menggambarkan, “Jika agamamu, nabimu, kitabmu dihina dan engkau diam saja, jelaslah ghiroh telah hilang darimu. Jika ghiroh tidak lagi dimiliki oleh bangsa Indonesia, niscaya bangsa ini akan mudah dijajah oleh asing dari segala sisi. Jika ghiroh telah hilang dari hati, gantinya hanya satu, yaitu kain kafan.”
Dengan demikian, hal ini mengisyaratkan betapa urgen segala bentuk seruan didasarkan pada seruan keimanan.
Kedua, pentingnya membangun opini umum. Aksi ‘perlawanan’ dari Ciamis berupa jalan kaki menjadi viral. Mereka disambut sebagai pejuang di sepanjang jalan. Hal ini telah menginspirasi banyak orang. Bandung, Bogor, bahkan masyarakat Jakarta banyak berjalan kaki. Semangat perlawanan di depan tirani yang menekan dan kewajiban membela ayat al-Quran menjelma menjadi opini umum. Hal ini memberikan pelajaran betapa pentingnya membangun opini umum (ra`yun ‘amm). Memang, patut diakui bahwa opini umum pada aksi tersebut masih terbatas pada ‘penistaan al-Quran’. Namun, realitas ini memberikan harapan bahwa bila pemahaman dan opini umum tentang Islam kâffah telah terbentuk, insya Allah umat Islam akan siap untuk membela seluruh ayat-ayat di dalam al-Quran. Semua ini memberikan harapan baru bahwa umat Islam di negeri Muslim terbesar ini sedang menggeliat membela dan menerapkan al-Quran.
Ketiga, bersatunya pihak liberal, kalangan Nasrani dan oknum ‘tokoh agama’ tertentu dalam berbagai kesempatan saat berhadapan dengan kepentingan umat Islam menunjukkan bahwa mereka berada dalam satu barisan. Mereka selalu memandang Islam sebagai ancaman. Tidak mengherankan bila aksi menuntut agar sang penista al-Quran diadili dituding sebagai ‘aksi perusak kebhinekaan’, ‘aksi SARA’, atau bahkan aksi ditunggangi oleh pihak yang hendak melakukan makar. Padahal menurut Peneliti Pusat Kajian Ekonomi dan Politik Universitas Bung Karno, Salamuddin Daeng, yang layak disebut makar adalah yang membuat membuat ratusan UU pada era reformasi dengan sponsor dana asing dan yang menyerahkan seluruh barang publik dan infrastruktur seperti tol, pelabuhan, bandara, kereta cepat, kepada asing dengan dana utang.
Keempat, Aksi 212 menunjukkan pudarnya daya partai-partai politik, meredupnya kekuatan ‘ormas’ yang disebut besar, dan munculnya kekuatan umat. Kekuatan umat menyatu dengan tekanan yang besar. Sebut saja itu ‘kekuatan umat’ atau the power of ummah.
Inilah kekuatan yang dinantikan. Pihak liberal memandang sulit melenyapkan ‘kekuatan umat’. Mereka pun berupaya melenyapkan ‘pihak’ yang dapat melahirkan ‘kekuatan umat’ ini. Tidak mengherankan keberadaan ‘pihak’ tersebut mereka monsterisasi.
Kelima, tekanan umat Islam yang demikian kuat dilawan oleh para pembela penista al-Quran. Isu pembubaran gerakan Islam yang disebut radikal kembali menguat. Khususnya, kelompok yang dipandang memiliki potensi the power of ummah. Keinginan Pemerintah untuk merevisi UU Ormas menunjukkan hal ini. Wajar Anggota Komisi II DPR Yandri Susanto mengatakan rencana Pemerintah mengajukan revisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) tidak perlu dilakukan. “UU Ormas tak perlu direvisi, kan sudah lengkap,” kata Yandri yang juga Sekretaris Fraksi PAN DPR itu (7/12/2016).
Bagaimana tidak, di tengah isu perubahan UU Ormas dan pembubaran Ormas, pada 6 Desember 2016 Presiden Jokowi telah menandatangani PP no. 58 tahun 2016 yang menyatakan bahwa Ormas yang didirikan oleh warga negara asing dapat melakukan kegiatan di wilayah Indonesia. Ormas Islam hendak dihabisi, sebaliknya ormas asing dibiarkan tumbuh berkembang.
Akhirnya, pergolakan politik akan terjadi. Tarik-menarik realitas, apakah yang membahayakan itu ‘mereka yang menerapkan neoliberalisme dan neoimperialisme serta membiarkan asing dan aseng berkuasa’, ataukah ‘mereka yang menyerukan Islam secara kâffah’. Mana yang akan berhasil? Pihak yang memiliki ‘kekuatan umat’ itulah yang insya Allah akan berhasil. Sebab, kekuasaan ada di tangan umat. Jadi, menyatu dengan umat dan meraih the power of ummah merupakan sebuah keniscayaan. [Muhammad Rahmat Kurnia; DPP Hizbut Tahrir Indonesia]