Aksi Bela Islam I, II dan III telah membuka mata kita dan memberi kita banyak pelajaran. Bahkan banyak hal yang tidak terbayangkan sebelumnya, dengan izin dan pertolongan Allah, bisa terwujud. Berbagai rintangan, hambatan dan tantangan yang begitu luar biasa dan bertubi-tubi ternyata tidak mampu menghadang. Pendek kata, Aksi Bela Islam ini telah menghidupkan kembali asa umat Islam yang sekian lama hilang.
Umat yang begitu disegani kawan dan ditakuti lawan itu, yang sekian lama tak tampak, akhirnya kembali tampak. Penyakit “wahn”, mencintai dunia dan takut mati, yang seolah menjadi sumbatan pada diri umat ini pun, hilang. Betapa tidak. Berbagai teror, intimidasi, penghadangan, bahkan serangan brutal yang mereka alami tetap saja tidak menyiutkan nyali mereka. Mereka tetap tegar, tetap semangat dan maju pantang menyerah.
Belum lagi pengorbanan yang mereka tunjukkan sebelum, ketika dan setelah Aksi Bela Islam yang luar biasa, hingga tak mampu pena ini menulisnya. Semuanya itu adalah bukti akan kebaikan dan kemuliaan umat Nabi Muhammad saw. yang telah lama hilang. Kini seolah kebaikan dan kemuliaan itu telah kembali seiring dengan kembalinya kesadaran mereka. Bahkan kekuatan dan kekuasaan yang telah lama hilang itu seolah telah kembali ke dalam genggaman mereka.
Kembalinya Kekuatan dan Kekuasaan
Diakui atau tidak, pemerintahan Jokowi-JK jelas-jelas sangat takut dan panik menghadapi fenomena yang tak terbayangkan sebelumnya. Asumsinya, berbagai upaya penggembosan, penghadangan, teror dan intimidasi itu bisa membuat umat Islam mengurungkan niatnya untuk melakukan Aksi Bela Islam. Nyatanya, asumsi itu keliru. Semakin dihambat justru semakin menggila; sesuatu yang akhirnya memaksa Jokowi-JK ikut menemui umat yang melakukan aksi.
Ini membuktikan bahwa kekuatan dan kekuasaan umat benar-benar tidak bisa mereka kendalikan sehingga memaksa mereka kompromi, atau setidaknya menampakkan diri menjadi bagian dari umat. Kembalinya kekuatan dan kekuasaan umat ini dengan kasatmata bisa dilihat ketika seluruh instrumen kekuasaan yang ada tidak bisa menggembosi, apatah lagi menghalangi mereka. Ibarat arus, aspirasi umat Islam dalam membela agamanya adalah arus besar yang bisa melibas apapun dan siapapun yang menghadang di depannya.
Bahkan ketika transportasi dihalangi dan dibatalkan, tetap tidak mengendurkan semangat mereka; malah semakin menguatkan dan bahkan menjadi pelecut bagi yang lain. Jarak 250-300 km pun mereka lalui dengan jalan kaki. Bukan hanya oleh orang dewasa, bahkan anak-anak yang sangat belia sanggup memberikan pengorbanannya demi Islam yang mereka cinta. Kisah heroik pejuang Ciamis telah membuka mata, bahkan menampar muka penguasa yang hendak memaksakan segala cara untuk menghalangi aksi mulia ini.
Jika kekuatan dan kekuasaan umat ini semakin mengkristal karena dibangun dengan kesadaran yang benar, dijaga, dipelihara dan terus dikonsolidasikan, maka tidak mustahil akan menjadi kekuatan riil yang sangat dahsyat untuk mewujudkan cita-cita ‘izzul al-Islam wa al-Muslimin.
Persatuan Umat atas Dasar Akidah
Aksi Bela Islam ini juga menyadarkan dan membuka mata umat Islam, bahwa Islamlah yang telah menyatukan mereka, bukan yang lain. Mereka bersatu untuk membela agama mereka yang dinista. Karena dorongan akidah yang membuncah, mereka tidak lagi melihat siapa mereka. Mulai dari pejabat, artis, ulama’, pengusaha hingga rakyat jelata, semuanya ikut terlibat dalam aksi ini. Semuanya bisa bersatu, meski latar belakang mereka berbeda, karena dorongan akidah.
Organisasi, partai dan basis tradisi mereka pun berbeda. Namun, karena akidah mereka sama, persatuan itu pun terwujud dan tampak indah. Aksi Bela Islam II telah berhasil menyatukan lebih dari 2,5 juta orang dari berbagai kalangan. Diikuti dengan Aksi Bela Islam III yang lebih banyak dan massif lagi, tidak kurang dari 5 hingga 7 juta umat Islam dari berbagai organisasi, kelompok dan kalangan profesi, tumpah-ruah ikut dalam aksi ini. Semuanya ini adalah bukti bahwa umat Islam ini tidak pernah mati. Akidah yang diwarisi dari generasi ke generasi itu pun nyaris tak berubah dan tetap terpatri dalam jiwa mereka.
Aksi Bela Islam ini membuktikan bahwa demi kepentingan Islam, apapun perbedaan yang ada di dalam tubuh umat ini pun dikesampingkan. Perbedaan partai, organisasi, profesi hingga kedudukan dan stratifikasi sosial tidak menghalangi persatuan. Semuanya menyatu dalam kesatuan dan persatuan yang dibangun berdasarkan akidah. Sungguh indah dan luar biasa. Bahkan semakin indah ketika orang-orang non-Muslim pun merasa nyaman dan tak terusik ketika menjadi bagian dari aksi tersebut.
Semua ini seolah menegaskan bahwa di bawah Islam, mereka bisa hidup aman dan nyaman. Semua ini membuktikan apa yang selama ini mereka rindukan, Islam rahmatan lil ‘alamin, menjadi kenyataan. Bukan hanya indah dalam ucapan, tetapi tak tampak dalam kenyataan. Iya, Aksi Bela Islam benar-benar memperlihatkan indahkan akhlak al-Quran; indahnya persatuan, persamaan, tolong-menolong, toleransi, kesabaran, termasuk menjaga harmoni, keindahan dan kebersihan. Semuanya itu tampak begitu indah dipertontonkan dalam Aksi Bela Islam.
Pentingnya Opini Umum
Semua kenyataan di atas semakin meneguhkan opini Islam, yang begitu indah dan luar biasa, Islam rahmatan lil ‘alamin. Umat Islam semakin kuat keislamannya dan orang non-Muslim pun semakin simpatik dengan Islam dan umatnya. Diakui atau tidak, Aksi Bela Islam telah mengangkat citra Islam dan umatnya begitu luar biasa. Opini umum yang terbentuk pun begitu indah. Apalagi ketika berbagai media cetak dan eletronik tidak lagi bisa memanipulasi fakta aksi tersebut.
Ini tidak lepas dari peranan opini umum yang dibangun melalui sosial media oleh Mega Cyber Army, yaitu umat Islam yang telah tersadarkan dalam membela agamanya. Ketika kekuatan umat yang begitu luar biasa dilecehkan hanya seperti buih, maka mereka pun bereaksi dengan melakukan aksi boikot. Hasilnya, Metro TV, Kompas TV dan Sari Roti, misalnya, dibuat babak belur. Berbagai skenario untuk menyudutkan citra Islam dan umatnya pun gagal karena kuatnya Mega Cyber Army yang membangun opini pembelaan terhadap Islam dan umatnya.
Bahkan ketika penguasa kewalahan mengontrol sosial media, yang sebelumnya telah berjasa mengantarkan mereka ke tampuk kekuasaan, kini harus mengubah UU ITE untuk kepentingan mereka. Meski demikian, tetap saja tidak bisa. Pasalnya, Mega Cyber Army ini tidak lagi bisa mereka ancam dan intimidasi dengan penjara. Karena itu Aksi Bela Islam ini telah menjadi momentum bangkitnya kesadaran umat Islam untuk membangun opini umum yang memihak kepentingan Islam dan umatnya; sebaliknya, meng-counter dan menghancurkan sehancur-hancurnya opini busuk yang dihembuskan untuk merusak citra Islam dan umatnya.
Kasus Bom Panci dan calon “pengantin” bom istana ditelanjangi dan dihabisi begitu rupa, tanpa menyisakan ruang sekecil apapun untuk membenarkannya. Begitu juga upaya menjadikan “Rayah Rasulullah saw.” sebagai barang bukti aksi teror juga berhasil diruntuhkan, dengan terbentuknya opini “Rayah” sebagai bendera umat Islam. Bahkan bendera itu telah diarak jutaan orang saat Aksi Bela Islam III.
Pentingnya Menyadari Qadhiyah Mashiriyah
Umat Islam sudah memiliki kesadaran, bahwa penistaan al-Quran adalah masalah serius, masalah besar, bukan masalah kecil. Masalah ini harus diposisikan sebagai masalah hidup dan mati karena memang hukuman yang harus dijatuhkan kepada orang yang menistakannya adalah hukuman mati. Meski hukum positif yang diterapkan di negeri ini tidak bisa sampai pada level itu, setidaknya masalah ini telah dijadikan sebagai masalah yang serius bagi umat Islam.
Pada diri uat telah terbentuk kesadaran tentang Qadhiyyah Mashiriyyah, bahwa ayat-ayat suci harus diletakkan di atas ayat-ayat konstitusi. Bahkan jika ayat-ayat konstitusi itu bertentangan dengan ayat-ayat suci, maka ayat-ayat konstitusi itu harus diganti. Kesadaran ini terbentuk dan ditanamkan kepada umat saat aksi ini akan mempengaruhi cara pandangan umat terhadap masalah kehidupannya.
Iya, ini masalah vital; masalah yang mempertaruhkan hidup dan mati, atau Qadhiyyah Mashiriyyah umat Islam saat ini adalah umat ini tidak lagi berhukum dengan menggunakan hukum Allah SWT. Mereka berhukum dengan menggunakan hukum buatan manusia. Padahal justru inilah yang menjadi biang munculnya berbagai masalah yang menimpa umat Islam hari ini, termasuk terpilihnya orang kafir menjadi penguasa, karena umat Islam tidak berhukum pada hukum Allah SWT. Mereka berhukum pada hukum buatan manusia yang dibingkai dalam sistem demokrasi.
Selama sistem hukum yang diadopsi dan diterapkan adalah bukan sistem hukum Allah SWT, maka berbagai masalah akan terus bermunculan. Karena itu mengadopsi dan menerapkan kembali hukum yang diturunkan oleh Allah SWT harus dijadikan sebagai Qadhiyyah Mashiriyyah bagi umat Islam. Jika tidak, maka umat ini akan disibukkan dengan berbagai masalah, dan tidak pernah selesai karena akar masalah utamanya tidak pernah diselesaikan.
Meski perjuangan ini berat, pelajaran yang diberikan oleh umat Islam saat Aksi Bela Islam ini sungguh luar biasa. Mereka bukan umat yang lembek, apatah lagi pecundang. Mereka adalah para kesatria dan pejuang, yang demi agama mereka, apapun sanggup mereka berikan, termasuk yang paling berharga dalam hidup mereka sekalipun.
Refleksi Aksi Bela Islam untuk Dakwah
Jika spirit, kesadaran dan kekuatan umat Islam yang luar biasa ini bisa dikapitalisasi, dan terus dikonsolidasikan untuk kepentingan Islam dan kaum Muslim, maka tidak mustahil kemenangan itu hanya masalah waktu. Hanya saja, kemenangan itu bukan semata keputusan manusia. Namun, di sana juga melibatkan keputusan Allah ‘Azza wa Jalla. Karena itu spirit, kesadaran dan kekuatan umat ini harus digunakan dengan benar sebagaimana tuntunan Rasulullah saw.
Hanya dengan cara itulah, Allah SWT akan menurunkan pertolongan-Nya kepada umat Nabi-Nya ini. Selain lurusnya niat, jernihnya kesadaran, juga harus dibarengi dengan ketepatan dan lurusnya manhaj. Hanya itulah yang bisa menjamin datangnya pertolongan Allah SWT. Pertolongan yang akan mengantarkan umat ini meraih kemenangan yang hakiki, bukan kemenangan semu, apalagi palsu.
Aksi Bela Islam, betapapun masih bersifat artifisial, telah merefleksikan kebangkitan dan kekuatan umat Islam yang selama ini hilang. Aksi ini juga merefleksikan kesadaran umat akan kewajibannya dalam membela keyakinan dan agamanya. Meski baru sebatas kewajiban yang bersifat parsial, yaitu kemarahan terhadap penistaan al-Quran, ini merupakan wujud kesadaran baru yang bisa ditingkatkan pada level yang lebih tinggi dan menyeluruh.
Penistaan al-Quran ini bukan hanya tentang al-Maidah ayat 51, tetapi menyangkut semua isi al-Quran yang telah dinistakan oleh para penguasa dan parpol pengusungnya ketika mereka sepakat mencampakkan al-Quran. Karena itu umat harus menyadari, bahwa pasca Aksi Bela Islam ini masih ada agenda yang lebih besar dan berat, yaitu menghentikan segala bentuk penistaan terhadap al-Quran, bahkan yang paling fundamental. Dengan modal dasar persatuan umat yang ada saat ini, baik pemikiran, perasaan maupun visi, misi dan tujuan yang sama untuk menghentikan penistaan al-Quran, maka ini bisa digunakan untuk kepentingan dakwah yang lebih besar, yaitu kembalinya kehidupan berdasarkan al-Quran dalam seluruh aspek kehidupan. Itulah kehidupan Islam di bawah naungan Khilafah.
WalLahu a’lam. [KH Hafidz Abdurrahman]