Dalam sistem peradilan Islam, qâdhi itu ada tiga macam: Qâdhi biasa, yaitu: (1) Qâdhi yang berwenang menyelesaikan perselisihan antar masyarakat dalam urusan muamalat dan ‘uqûbat (persanksian); (2) Al-Muhtasib (qâdhi hisbah), yaitu qâdhi yang berwenang menyelesaikan berbagai pelanggaran yang merugikan hak-hak masyarakat secara umum; (3) Qâdhi Mazhâlim, yaitu qâdhi yang berwenang mengatasi perselisihan yang terjadi antara rakyat dan negara.
Telaah Kitab kali ini akan membahas tentang al-muhtasib (qâdhi hisbah), definisi dan wewenangnya, sebagaimana yang terdapat dalam Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pada pasal-pasa berikut:
Pasal 84: “Al-Muhtasib (qâdhi hisbah) adalah qâdhi yang memeriksa perkara-perkara yang menyangkut hak-hak masyarakat secara umum, yang di dalamnya tidak perlu ada penuntut, dengan syarat, tidak termasuk perkara hudud dan jinâyât.”
Pasal 85: “Al-Muhtasib memiliki wewenang untuk memutuskan perkara atas penyimpangan yang dia ketahui secara langsung, di manapun tempatnya tanpa membutuhkan ruang sidang pengadilan. Sejumlah polisi ditempatkan berada di bawah wewenangnya untuk melaksanakan perintahnya. Keputusan yang dia ambil harus segera dilaksanakan.”
Pasal 86: “Al-Muhtasib memiliki hak untuk memilih wakil-wakilnya yang memenuhi syarat-syarat seorang muhtasib. Mereka boleh ditugaskan di berbagai tempat, dan masing-masing memiliki wewenang dalam menjalankan tugas hisbahnya, baik di wilayah atau daerah yang sudah ditentukan dalam perkara yang ditugaskan kepadanya.”
(Hizbut Tahrir, Masyrû’ Dustûr Dawlah al-Khilâfah, hlm. 23).
Definisi Qâdhi Hisbah
Definisis al-muhtasib (qâdhi hisbah) sebagaimana yang disebutkan dalam Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam Pasal 84 adalah “qâdhi yang memeriksa perkara-perkara yang menyangkut hak-hak masyarakat secara umum, yang di dalamnya tidak perlu ada penuntut, dengan syarat, tidak termasuk perkara hudud dan jinâyât”.
Definisi al-muhtasib (qâdhi hisbah) ini diambil dari hadis shubrah ath-tha’âm (tumpukan makanan), yaitu ketika Rasulullah saw. menemukan tumpukan makanan yang basah di bagian bawah, lalu beliau memerintahkan agar yang basah tersebut diletakkan di bagian atas sehingga bisa dilihat oleh orang. Sebabnya, ini merupakan hak bagi semua orang. Dalam perkara tersebut Rasulullah saw. telah memberikan keputusan agar meletakkan makanan yang basah berada di permukaan tumpukan makanan tersebut untuk menghindari terjadinya penipuan. Hisbah meliputi semua hak yang berhubungan dengan masalah sejenis, namun tidak mencakup masalah hudud dan jinâyât karena keduanya tidak termasuk dalam perkara hisbah. Hudûd dan jinâyât bukan termasuk kategori hak umum. Keduanya pada asalnya merupakan persengketaan yang terjadi di antara anggota masyarakat (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 255; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 118; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 194).
Wewenang Qâdhi Hisbah
Dalam Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam Pasal 85 dinyatakan bahwa al-muhtasib (qâdhi hisbah) berhak memutuskan tindak penyelewengan (mukhâlafah) begitu kasusnya terjadi, di manapun dia berada, tanpa memerlukan ruang sidang pengadilan. Dalam melakukan tugasnya, qâdhi hisbah didampingi beberapa polisi untuk melaksanakan perintah dan menjalankan keputusannya seketika itu juga. Qâdhi hisbah tidak memerlukan ruang sidang pengadilan sehingga dia sendiri yang mengeksaminasi kasus tersebut. Bahkan dia langsung memutuskan tindak penyelewengan seketika kasusnya terjadi di manapun dia berada; di pasar, di dalam rumah, di atas kendaraan, dan mobil, serta siang maupun malam hari. Sebabnya, dalil yang menetapkan syarat adanya ruang sidang pengadilan untuk memutuskan suatu perkara itu tidak berlaku bagi al-muhtasib (qâdhi hisbah). Pasalnya, hadis yang menetapkan syarat adanya ruangan sidang pengadilan tersebut menyatakan:
أَنَّ الْخَصْمَـيْنِ يَقْعُدَانِ بَيْنَ يَدَيِ الْحَكَمِ
Sungguh dua pihak yang bersengketa didudukkan di hadapan hakim.
Hadis lain menyatakan:
إِذَا جَلَسَ إِلَيْكَ الْخَصْمَانِ
Jika dua pihak yang bersengketa duduk di hadapanmu (HR Ahmad).
Semua perkara tersebut tidak bisa diberlakukan untuk qâdhi hisbah. Pasalnya, dalam perkara yang ditangani qâdhi hisbah tidak ada penuntut maupun terdakwa. Yang ada hanyalah hak umum yang telah dilanggar.
Selain itu, ketika Rasulullah saw. melihat masalah tumpukan makanan tersebut, beliau langsung memberikan keputusan terhadap masalah tersebut seketika itu juga, yaitu pada saat beliau berkeliling di pasar, dan makanan tersebut dikeluarkan untuk dijual. Beliau juga tidak memanggil pemilik tumpukan makanan tersebut untuk menghadap beliau. Ketika beliau melihat penyimpangan tersebut, beliau langsung memberikan keputusan di tempat. Dengan demikian semua itu menunjukkan bahwa dalam perkara-perkara hisbah tidak disyaratkan harus diputuskan di ruang sidang pengadilan (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 255; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 118; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 194).
Qâdhi Hisbah Berhak Mengangkat Wakil
Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam Pasal 86 menegaskan bahwa qâdhi hisbah berhak memilih dan mengangkat wakil-wakilnya yang memenuhi syarat-syarat atau kualifikasi seorang qâdhi hisbah. Mereka boleh ditugaskan di berbagai tempat. Masing-masing memiliki wewenang dalam menjalankan tugas hisbah-nya di wilayah atau daerah yang sudah ditentukan dalam perkara yang ditugaskan kepada dirinya (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 256; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 119; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 195).
Hanya saja, perkaranya sangat bergantung pada akad pengangkatan qâdhi hisbah tersebut. Jika yang melakukan pengangkatan adalah Khalifah, pengangkatan tersebut dapat meliputi wewenang untuk mengangkat wakil-wakil atau wewenang untuk menunjuk wakil (yang bisa membantu) dirinya. Jika yang mengangkat qadhi hisbah itu adalah kepala qâdhi (qâdhi al-qudlâh), maka masalah tersebut harus dijadikan sebagai syarat dalam pengangangkatannya. Dengan demikian disyaratkan bahwa pengangkatan kepala qâdhi (qâdhi al-qudlâh) tersebut harus meliputi wewenang mengangkat orang lain untuk menjadi wakil atau wewenang menunjuk wakil atas diri qâdhi hisbah yang diangkatnya. Jika dalam pengangkatan kepala qâdhi (qâdhi al-qudlâh) tidak meliputi hal itu, maka qâdhi hisbah yang diangkat oleh kepala qâdhi (qâdhi al-qudlâh) juga tidak memiliki wewenang untuk mengangkat wakil atas dirinya atau wewenang melakukan penunjukkan wakilnya. Dengan begitu qâdhi hisbah tidak memiliki wewenang untuk mengangkat wakil atas dirinya atau wewenang melakukan penunjukkan wakilnya. Sebabnya, wewenang penunjukkan wakil yang dilakukan qâdhi, baik qâdhi hisbah, qâdhi biasa maupun qâdhi madzâlim itu sebenarnya tidak dimiliki oleh qâdhi tersebut, kecuali kalau Khalifah memberikan wewenang untuk melakukan itu; atau wewenang tersebut diberikan kepada kepala qâdhi (qâdhi al-qudlâh), yaitu apabila seorang kepala qâdhi (qâdhi al-qudlâh) diberi wewenang untuk mengangkat para qâdhi yang lain, termasuk memberikan wewenang kepada qâdhi yang diangkat tersebut untuk menunjuk wakil atas dirinya.
Masalahnya, karena qâdhi tersebut telah diangkat untuk menduduki lembaga peradilan atau pengadilan tertentu, yaitu pengadilan hisbah, sehingga apabila dia tidak diberi wewenang untuk menunjuk wakil atau hak mengangkat wakilnya, maka dia tidak memiliki wewenang untuk melakukan pengangkatan tersebut. Dalam hal ini sama saja, apakah dia qâdhi biasa maupun qâdhi madzâlim. Sebabnya, mereka masing-masing telah diangkat untuk menduduki jabatan pengadilan itu sesuai dengan teks pengangkatan terhadap dirinya. Karena itu mereka tidak memiliki wewenang atas masalah lain di luar teks pengangkatannya. Misalnya, dia tidak berhak mengangkat para qâdhi, kecuali kalau memang masalah tersebut tertera di dalam teks pengangkatan yang membolehkan dirinya mengangkat orang lain yang bisa mewakili dirinya dalam melaksanakan tugas-tugas qâdhi hisbah. Begitu juga halnya dengan kepala qâdhi (qâdhi al-qudlâh); statusnya sama dengan qâdhi yang lain (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 257; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 196).
Dalil Kebolehan Qâdhi Hisbah Mengangkat Wakil
Dalil kebolehan seorang qâdhi untuk mengangkat orang lain yang akan mewakili dirinya adalah karena Rasulullah saw. pernah mendapat pengaduan tentang suatu perkara, kemudian beliau mengangkat orang lain untuk mewakili beliau. Ada sebuah kasus saat seorang baduwi mendatangi Rasulullah saw. dan memberitahukan kepada beliau perihal anak laki-lakinya yang telah menjadi pembantu salah seorang pria yang telah mengangkat dirinya. Lalu anaknya melakukan zina dengan istri pria tersebut. Kemudian orang baduwi itu minta agar anaknya dijatuhi hukuman. Sehubungan dengan kasus ini, Rasulullah saw. bersabda:
وَاغْدُ يَا أُنَـيْسُ – رجل من أسلم – إِلَى امْرَأَةِ هَذَا، فَإِنِ اعْـتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا
Wahai Unais—salah seorang dari suku aslam—berangkatlah segera menemui wanita itu. Kalau dia mengaku, rajamlah dia (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian hadis tersebut menunjukkan bahwa seorang qâdhi itu boleh mengutus wakilnya untuk memutuskan suatu perkara yang telah dia tentukan untuk dirinya. Hal ini berlaku juga pada qâdhi hisbah, karena dia juga seorang qâdhi. Hanya saja disyaratkan agar qâdhi tersebut memberikan wewenang kepada wakilnya untuk melakukan pengadilan secara menyeluruh, yaitu wewenang untuk memeriksa berkas dakwaan sekaligus menjatuhkan vonisnya sehingga status pengangkatannya bisa dikatakan sempurna. Pasalnya, lembaga peradilan itu bertugas untuk menyampaikan hukum yang sifatnya mengikat. Berdasarkan pengertian ini, wewenang qâdhi tersebut tidak bisa dipisah-pisahkan. Oleh karena itu, tidak boleh mengangkat qâdhi hanya untuk melakukan pemeriksaan, sedangkan wewenang untuk menjatuhkan vonisnya tidak diberikan kepada dirinya. Dengan demikian seorang qâdhi harus diangkat dengan wewenang yang menyeluruh agar bisa disebut sebagai qâdhi dan keputusannya pun bisa dianggap sah. Meski pada akhirnya dia sendiri tidak ikut memutuskan langsung, tugasnya tetap dianggap sah. Sebabnya, keputusan tersebut tidak harus dari dirinya karena seorang qâdhi boleh memeriksa suatu perkara dan tidak memvonisnya, atau dia dipecat sebelum memvonisnya. Kemudian, perkara tersebut diperiksa dan ditangani oleh qâdhi lain.
Demikian juga halnya dengan wakil qâdhi; dia tidak harus memberikan putusan. Hanya saja, pengangkatannya mengharuskan dia diberi wewenang untuk melakukan pemeriksaan sekaligus memberikan keputusan. Dengan kata lain ketika dia diangkat menjadi seorang qâdhi, dia harus memiliki semua wewenang qâdhi dalam hal yang telah ditentukan bagi dirinya. Dengan demikian boleh juga bagi qâdhi hisbah untuk mengangkat wakil yang memiliki wewenang melakukan pemeriksaan sekaligus memberikan putusan dalam perkara yang telah ditentukan bagi mereka, atau di tempat mereka diangkat. Ini jika dalam pengangkatan dirinya sebagai qâdhi juga diberi wewenang untuk melakukan penunjukan wakil bagi dirinya. Orang yang akan ditunjuk menjadi wakilnya disyaratkan harus Muslim, merdeka, adil, balig serta memahami perkara-perkara yang dia putuskan. Dengan kata lain orang yang mewakili qâdhi hisbah itu harus memiliki kualifikasi seperti qâdhi hisbah itu sendiri, karena seorang wakil itu statusnya sama, yakni seorang qâdhi sebagaimana qâdhi yang diwakilinya (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 258; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 197).
WalLâhu a’lam bish-shawâb. [Muhammad Bajuri]
Daftar Bacaan
Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fî al-Hukm wa al-Idârah (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
Hizbut Tahrir, Masyrû’ Dustûr Dawlah al-Khilâfah, edisi Mu’tamadah, (versi terbaru tanggal 03/06/2014), http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_28722.
Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
Zallum, Asy-Syaikh Abdul Qadim, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2002.