Setahun telah berlalu. Tentu banyak catatan penting tentang apa yang terjadi di negeri ini dan Dunia Islam. Apa kejadian penting yang terjadi sepanjang tahun 2016? Apa penyebab utamanya? Bagaimana yang harus dilakukan umat Islam ke depan?
Untuk itu, wartawan majalah al-waie Joko Prasetyo mewancarai Ustadz Rokhmat S Labib, Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia. Berikut petikannya.
Apa saja peristiwa penting yang terjadi sepanjang 2016?
Banyak sekali. Di antaranya: Pertama, makin kuatnya dominasi asing.
Buktinya?
Asing makin leluasa menguasai dan memiliki aset-aset di negeri ini di bidang properti, perbankan, perkebunan, pertambangan dan banyak perusahaan strategis; termasuk pula badan usaha pelayanan publik, seperti kesehatan dan pendidikan. Bukti lainnya, izin Freeport kembali diperpanjang. Utang luar negeri juga makin besar. Padahal utang merupakan sarana efektif penjajahan asing.
Kedua, cinaisasi makin massif. Siapa pun tahu, ekonomi di negeri ini dikuasai Cina. Masalahnya, loyalitas mereka masih pada tanah leluhurnya, seperti diungkapkan Sutanto Tanoto, “Indonesia adalah bapak angkat kami, sedangkan bapak kandung kami adalah Cina.”
Masalahnya makin ruwet ketika Cina melakukan berbagai upaya untuk menancapkan dominasinya di negeri ini.
Ketiga, penistaan agama. Ini juga menjadi kasus yang sangat besar bagi umat Islam. Umat digegerkan pernyataan Ahok yang dengan lancang mengatakan jangan mau dibohongin pake surat al-Maidah 51. Kemarahan umat makin besar ketika dia menuduh bahwa orang yang melarang untuk memilihnya dengan menggunakan ayat tersebut sebagai orang-orang yang rasis dan pengecut. Ini jelas penghinaan kepada al-Quran, Rasulullah saw. dan para ulama. Umat Islam melakukan aksi di berbagai kota menuntut dia diadili.
Mengapa masalah selama 2016 sepertinya tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya?
Itu karena undang-undangnya juga sama. Tidak berubah. Dalam kasus pertama, adanya dominasi asing yang makin menguat. Itu karena UU-nya liberal, yang memberikan peluang dan melegalkan asing mendominasi. Misalnya, dalam UU Migas disebutkan bahwa swasta boleh melakukan usaha migas, baik sektor hulu maupun sektior hilir. Karena tidak disebutkan swasta domestik atau swasta asing, maka terjadilan persaingan bebas, dan akhirnya swasta asinglah yang menguasainya.
Demikian juga dalam kasus yang kedua. Terkait dengan adanya cinaisasi. Kan tadi UU-nya masih liberal. Dalam berbagai UU tersebut dinyatakan asing boleh bergerak di bidang perbankan, memiliki properti, menggarap pertambangan, dan lainnya. Mereka punya modal besar sehingga dengan mudah mereka menguasai sektor-sektor tersebut.
Mengapa bisa lahir berbagai UU liberal?
Karena demokrasi. Dalam demokrasi, UU dibuat oleh parlemen yang diklaim sebagai representasi dari rakyat. Anggota parlemen membutuhkan dana segar untuk biaya politik dan lain-lain. Akibatnya, mereka membuat UU yang pasal-pasalnya menguntungkan sponsornya. Nah, siapa sponsornya? Tentu mereka-mereka yang punya modal besar yang umumnya berafiliasi ke negara-negara asing penjajah. Terjadilah undang-undang liberal yang melempangkan jalan bagi neoimperialisme.
Demikian pula penyebab keterpilihan orang kafir sebagai pemimpin; karena undang-undang produk demokrasi membolehkan itu.
Penistaan agama juga terus berulang karena UU yang tidak tegas terhadap pelakunya. Apalagi pelakunya memiliki kekuasaan seperti Ahok. Sudah didemonstrasi jutaan orang, dia tetap tidak ditahan.
Ini menunjukkan demokrasi dan sistem liberalisme membuat semua masalah itu terus berulang dari tahun ke tahun.
Faktor penguasa?
Benar. Selain sistem, faktor penguasa makin memparah keadaan. Mereka tidak membuat kebijakan untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya, namun lebih banyak melayani kepentingan asing.
Tidakkah ada kejadian positif selama 2016 ini?
Ada. Pertama, kesadaran politik umat meningkat.
Apa buktinya?
Hizbut Tahrir, saat menyerukan dengan lantang keharaman pemimpin kafir, mendapatkan dukungan luas dari umat. Ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran politik. Jadi umat itu kini tidak menganggap Islam itu hanyalah ajaran ritual, tetapi juga mengatur pemerintahan. Setidaknya dalam pemerintahan itu, yang kini umat sudah mulai sadari, syarat jadi pemimpin itu wajib Muslim.
Kedua, umat Islam bangkit ketika Islam ini dihina. Ketika Ahok melakukan penistaan terhadap Surat al-Maidah ayat 51, umat Islam bangkit melakukan aksi besar-besaran di berbagai daerah. Tuntutan mereka sama: tangkap dan hukum penghina al-Quran!
Patut diingat, gelombang besar demonstransi menuntut Ahok dihukum erat kaitannya dengan keberhasilan kampanye keharaman pemimpin kafir. Kesadaran umat tentang keharaman pemimpin kafir makin meluas membuat Ahok ketakutan. Dia khawatir tidak terpilih lantaran umat Islam tidak memilih dia. Sepengetahuan dia, ayat yang dijadikan sebagai dasarnya adalah QS al-Maidah 51. Oleh karena itu, beberapa kali dia menyebut ayat tersebut dan memberikan penjelasan tafsirnya, bahwa ayat ini tidak melarang umat Islam mengangkat orang Nasrani dan Yahudi sebagai pemimpin. Lalu di Kepulauan Seribu dia mengatakan bahwa jangan mau dibohongin pakai ayat tersebut.
Karena umat paham bahwa pemimpin kafir haram, maka ketika ada orang yang menghina salah satu ayat yang menjadi dasarnya, umat pun marah dan bangkit melakukan perlawanan. Andai umat tidak memiliki pemahaman tersebut, yakni menganggap tidak masalah dipimpin oleh orang kafir, maka ketika Ahok menghina Al-Maidah 51, bisa jadi tingkat kemarahannya tidak akan sebesar seperti sekarang.
Ketiga, benih-benih umat Islam untuk bersatu semakin kuat.
Indikasinya?
Pada Aksi 212 dan aksi-aksi sebelumnya, baik di Jakarta maupun di berbagai daerah, umat Islam turun bersama-sama. Tuntutan mereka sama. Itu artinya, propaganda yang selama ini menyatakan umat Islam tidak bisa bersatu itu terbantahkan. Mitos umat Islam tidak bisa bersatu bisa diruntuhkan. Ini tentu catatan yang sangat menggembirakan.
Keempat, umat Islam juga makin sadar siapa musuh-musuh mereka. Tentu mereka bersatu. Oleh karena itu, ketika ada stasiun televisi yang tidak objektif bahkan memberitakan negatif aksi-aksi umat Islam, umat marah. Wartawannya diusir ketika meliput aksi dan menggema seruan boikot terhadap stasiun TV tersebut.
Begitu juga ketika manajemen satu merk roti mengklarifikasi bahwa pihaknya tidak terlibat dalam Aksi 212 dan seolah menganggap aksi tersebut memecah-belah dan menolak kebhinekaan, mendapat kecaman yang luas dari umat Islam. Bahkan diboikot sehingga omsetnya turun.
Apa ini artinya?
Artinya umat Islam makin sadar. Tidak boleh ada seorang pun, insitusi mana pun dan penguasa mana pun yang boleh melukai umat Islam. Kesadaran ini penting!
Bagaimana dengan Dunia Islam?
Dunia Islam sampai sekarang juga belum banyak berubah. Masih buram, suram dan menyedihkan. Itulah yang terjadi di negeri-negeri Islam. Apalagi negeri-negeri yang dijajah oleh negara-negara kafir penjajah. Penjajahan berubah seperti pada masa sebelumnya.
Berubah bagaimana?
Kembali dalam bentuk militer. Kalau dulu mereka merevisi penjajahannya dengan bentuk utang, bantuan dan dominasi politik; sekarang kembali menjadi penjajahan fisik dan militer. Sekarang Amerika langsung menyerang Irak, Afganistan dan Libya. Rusia juga menyerang Aleppo dan Suriah secara umum. Itu semua telanjang dilakukan dan lebih mengerikan. Yang sangat menyedihkan, objeknya itu adalah negeri-negeri Islam.
Patut dicatat, negara-negara kafir penjajah itu sebenarnya terpecah-belah. Akan tetapi, ketika menghadapi umat Islam, mereka bisa bersatu. Bersatu untuk menyerang umat Islam. Inilah kondisi Dunia Islam selama 2016.
Salah satu yang paling menyedihkan adalah pembantaian di Aleppo. Bagaimana pandangan Ustadz?
Aleppo ini tidak bisa dilepaskan dengan revolusi Arab Spring yang terjadi di berbagai negara di Timur Tengah. Ketika revolusi di Tunisia, Mesir dan Libya, Amerika berhasil membelokan revolusi mereka seperti yang dimaui penjajah; tetapi tidak di Suriah.
Di Suriah memang seperti apa?
Kaum Muslim di sana bukan hanya menginginkan pergantian rezim brutal Bashar Assad, tetapi juga menginginkan pergantian sistem. Sistem yang dimaksud tidak lain adalah Khilafah.
Apa buktinya mereka ingin Khilafah?
Sejak munculnya revolusi di Suriah, Amerika menawarkan calon pengganti Assad. Dibuatlah berbagai forum untuk mewujudkannya. Namun, semua itu ditolak rakyat Suriah. Itu artinya, yang mereka inginkan bukan sekadar pergantian pemimpin. Apalagi sama-sama antek negara penjajah.
Tuntutan mereka juga jelas. Mereka hanya ingin tegaknya sistem Islam. Itulah Khilafah.
Ini membuat negara-negara kafir penjajah sangat takut. Pasalnya, tegaknya Khilafah merupakan lonceng kematian untuk mereka. Karena itu mereka melakukan segala upaya untuk menghalangi tegaknya Khilafah. Amerika pun melibatkan Rusia, Iran dan para penguasa di Timur Tengah. Semuanya bersatu melakukan konspirasi untuk mengaborsi tegaknya Khilafah.
Namun, berbagai upaya itu tidak mengubah keinginan dan keteguhan rakyat Suriah, bahkan makin mengokohkan tekad dan perjuangan. Ini yang mendorong Amerika, Rusia dan antek-anteknya mengambil jalan yang makin kasar; mereka menyerbu dan membombardir Aleppo.
Kita lihat, betapa buasnya negara-negara kafir penjajah. Dari udara Rusia menghujankan bom-bom cluster mereka. Di darat tentara Assad dibantu ‘Hizbuss Syaithan’ membantai rakyat Aleppo.
Mengapa para penguasa Timur Tengah dan Dunia Islam lainnya diam?
Mereka satu paket dalam konspirasi menghalangi tegaknya Khilafah. Jadi, jangan heran jika mereka tidak peduli. Paling banter, seperti dilakukan Arab Saudi, mengusir Dubes Rusia. Bukankah ketika menyerang Yaman, Arab Saudi bisa mengeluarkan ratusan pesawat tempur. Lalu mengapa pesawat-pesawat tempur sama sekali tidak dikeluarkan ketika Aleppo diserang. Bahkan tidak satu peluru pun Saudi tembakkan untuk membela saudara-saudara mereka di Suriah. Ini sangat menyedihkan.
Demikian pula Turki yang hanya berjarak 25 km dari Aleppo. Tidak melakukan tindakan militer untuk melindungi Aleppo. Akibatnya, Aleppo itu betul-betul menjadi ladang pembantaian bagi negara-negara kafir penjajah.
Adakah benang merah yang bisa ditarik dari Indonesia dan Dunia Islam lainnya termasuk Aleppo yang menjadi pelajaran penting bagi kaum Muslim?
Pertama, seperti sudah disinggung sebelumnya, masalah yang terjadi di Indonesia karena penerapan demokrasi dan liberalisme. Sistem tersebut telah menciptakan berbagai perundangan yang membuka pintu bagi masuknya imperialisme selain memberikan peluang bagi keterpilihan pemimpin yang membebek kafir penjajah.
Solusinya, ya umat Islam itu harus kembali pada Islam secara kâffah.
Penderitaan mereka adalah akibat mereka menggunakan sistem buatan manusia. Maka dari itu, umat Islam harus bangkit dengan memiliki kesadaran bahwa satu-satunya sistem dan hukum yang baik itu hanyalah Islam dengan menerapkan syariah Islam secara kâffah. Itu hanya ditegakkan dengan Khilafah.
Kedua, umat harus bersatu dan menjadikan akidah sebagai pengikatnya. Ketika ini dilakukan, maka umat ini akan kuat, bahkan tak bisa dikalahkan, insya Allah SWT.
Ingat, Ahok bisa dibawa ke pengadilan karena umat Islam bersatu melakukan aksi. Jika tidak, kemungkinan besar Ahok tidak akan diadili. Bahkan bisa melenggang menjadi gubernur dengan mulus.
Demikian juga mengapa umat Islam di Aleppo dapat dibantai sedemikian rupa, Afganistan dihancurkan dan Irak dikuasai Amerika. Begitu pula Palestina yang tanahnya dirampas dan dikangkangi Israel. Itu semua disebabkan umat Islam tidak bersatu.
Ketiga, mereka harus mengenal siapa musuhnya. Musuh mereka tidak lain adalah negara-negara kafir penjajah. Mereka tidak henti-hentinya melakukan berbagai konspirasi untuk menghancurkan dan memusuhi Islam beserta umatnya. Mereka adalah musuh dan harus diperlakukan sebagai musuh.
Jangan sampai umat Islam menjadikan mereka sebagai teman dan sahabat, pemimpin. Sungguh sebuah kesalahan besar kalau umat Islam tidak menganggap mereka sebagai musuh.
Musuh lainnya adalah para penguasa yang menjadi antek-antek kafir penjajah. Mereka itu bukan menjalankan agenda Islam dan kepentingan umat Islam, tetapi menjalankan kepentingan kafir penjajah.
Apa harapan Ustadz untuk tahun 2017?
Pada 2017 kita berharap kesadaran umat makin meningkat lagi. Jika sekarang umat bisa bangkit, marah dan bersatu menuntut penista al-Quran untuk dihukum, ke depan kita berharap umat Islam bisa bersatu untuk memperjuangkan tegaknya seluruh isi al-Quran.
Perlu diingat, merendahkan al-Quran itu bisa dalam dua bentuk, yakni ucapan perbuatan. Jika ada orang mengatakan, “Ayat-ayat konstitusi lebih tinggi daripada ayat suci,” ini adalah ucapan yang merendahkan ayat suci. Betul, kan?
Itu adalah merendahkan ayat suci dalam bentuk ucapan. Jika ada orang mengatakan demikian, kita akan marah.
Adapun dalam bentuk perbuatan, itu dilakukan ketika dalam praktiknya dia menjadikan ayat suci di bawah ayat konstitusi. Bukankah ini perbuatan yang memperlakukan ayat suci lebih lebih rendah daripada ayat konstitusi? Mungkin dia tidak berkata demikian, namun mempraktikkannya dalam kehidupan. Bukankah ini perbuatan yang menghina dan merendahkan al-Quran?
Inilah yang dipraktikkan dalam sistem demokrasi. Dalam demokrasi, al-Quran bukan hanya diletakkan di bawah ayat konstitusi, namun sama sekali tidak dianggap. Buktinya, di manakah al-Quran berada dalam struktur undang-undang yang ada? Ini jelas merupakan penghinaan dan pelecehan terhadap al-Quran.
Inilah kesadaran yang harus dimiliki umat. Dengan begitu mereka tidak hanya marah ketika satu ayat al-Quran dihinakan dalam bentuk ucapan, namun mereka juga marah ketika seluruh al-Quran tidak diterapkan. Sebab, itu adalah terketagori sebagai penginaan terhadap al-Quran dalam bentuk perbuatan.
Jika kesadaran ini terjadi pada umat, insya Allah tegaknya syariah dan Khilafah semakin dekat. Sebab, semua isi al-Quran hanya bisa diterapkan dengan tegaknya Khilah. Ketika umat bersatu menginginkan Khilafah, siapa yang bisa membendungnya? []