HTI

Soal Jawab (Al Waie)

Bagaimana Cara Meraih Nushrah?


Soal:

Rasulullah saw. telah melakukan langkah “thalab an-nushrah” [mencari dukungan] untuk dakwah sebagai salah satu metode baku yang beliau lakukan untuk mengantarkan Islam sampai ke tampuk kekuasaan. Bisa Ustadz jelaskan, bagaimana detailnya?

 

Jawab:

Pertama-tama yang harus dijelaskan adalah status hukum thalab an-nushrah itu sendiri, termasuk bentuk, tujuan dan prasyaratnya. Thalab an-nushrah adalah usaha mencari dukungan, yang dilakukan terhadap ahlun-nushrah. Bentuknya ada dua, sesuai dengan tujuannya: (1) li himâyah ad-da’wah wa hamlatiha [melindungi dakwah dan para pengembannya]; (2) li istilâm al-hukm wa tathbîq al-Islâm [menerima kekuasaan dan menerapkan Islam].

Sebagai sebuah metode, hukum thalab an-nushrah ini wajib. Hanya saja, kapan kewajiban ini dilakukan?

Dalam riwayat Ibn Hisyam dituturkan, bahwa ketika Abu Thalib meninggal dunia, kaum Quraisy bisa menganiaya Rasulullah saw. yang tidak pernah mereka lakukan sebelumnya. Karena itu Rasulullah saw. pun berangkat ke Thaif untuk mendapatkan nushrah [pertolongan/dukungan] dari Bani Tsaqif.1 Dalam riwayat lain dinyatakan, “Rasulullah menginjakkan kakinya di Makkah, sementara kaumnya jauh lebih keras sikapnya terhadap Baginda dibanding sebelumnya. Karena itu Rasulullah saw. menawarkan dirinya pada musim-musim haji kepada kabilah-kabilah Arab. Baginda meminta mereka untuk membenarkan dan bersedia melindungi beliau.” 2

Karena itu, thalab an-nushrah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. sebagai metode dakwah yang baku mempunyai beberapa kriteria, antara lain, sebagai berikut: Pertama, meningkatnya tekanan, penganiayaan dan penyiksaan yang dialami oleh pengemban dakwah dalam mengemban dakwahnya di tengah-tengah umat. Ini merupakan kondisi yang mendorong upaya thalab an-nushrah. Tekanan, penganiayaan dan penyiksaan itu sendiri terjadi setelah proses pembinaan [tatsqîif] dan interaksi dengan umat [tafâ’ul ma’a al-ummah] dilakukan oleh Nabi saw. dan para sahabat ra. Interaksi dengan umat dimulai [bidâyah at-tafâ’ul] pada tahun ke-3 kenabian.3 Kemudian tahapan ini sempurna [tafâ’ul tam], setelah Hamzah dan ‘Umar masuk Islam, tahun ke-5 kenabian.4 Setelah tahun ke-10 kenabian, tepatnya setelah Khadijah dan Abu Thalib meninggal, tekanan, penganiayaan dan penyiksaan tersebut benar-benar mencapai klimaksnya.

Kedua, langkah thalab an-nushrah dilakukan oleh Rasulullah saw. semata karena titah Allah ‘Azza wa Jalla. Ini sebagaimana penuturan ‘Ali bin Abi Thalib, “Ketika Allah telah memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk menawarkan dirinya kepada kabilah-kabilah, beliau berangkat, sementara aku dan Abu Bakar menemani beliau hingga sampai ke Mina.”5

Mengapa ke Mina? Karena Mina adalah tempat berkumpulkan jamaah haji dari berbagai suku dan kabilah Arab. Mabit di Mina ini dijadikan target oleh Nabi saw. dan kedua sahabatnya itu. Karena itu dalam riwayat hadis disebutkan adanya Forum Rabiah, Forum Aus dan Khazraj, dan sebagainya.

Ketiga, yang dijadikan target Nabi saw. adalah pemuka dan pemimpin suku dan kabilah, serta mereka yang mempunyai kedudukan di tengah-tengah kaumnya. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai pengikut setia dan taat kepada mereka. Ini sebagaimana yang dilakukan Nabi kepada Bani Tsaqif, di Thaif selama sebulan. “Ketika Rasulullah saw. telah sampai di Thaif, baginda saw. menemui sekelompok orang Bani Tsaqif. Mereka saat itu merupakan pemimpin dan pemuka Bani Tsaqif. Baginda duduk di hadapan mereka, menyeru mereka ke jalan Allah, serta menyampaikan kepada mereka alasan beliau datang menemui mereka; yaitu untuk menolong beliau demi kepentingan Islam dan kaum Muslim, bersama-sama beliau menghadapi siapa saja dari kaumnya yang menentang beliau.” 6

Keempat, mereka yang diterima nushrah-nya, khususnya nushrah untuk menerima kekuasaan dan menerapkan Islam, adalah mereka yang telah mengimani dan membenarkan Islam, sebagaimana yang disebutkan di dalam nash sebelumnya. “Baginda meminta mereka untuk membenarkan dan bersedia untuk melindungi beliau.” 7

Ini karena target nushrah di sini bukan untuk melindungi pribadi pengemban dakwah, tetapi untuk melindungi dakwah dan kekuasaan yang menopang dakwah. Penetapan syarat Islam, sebagai syarat pertama dan utama, bagi ahlun-nushrah oleh Nabi saw. merupakan konsekuensi logis. Syarat memeluk dan meyakini Islam ini merupakan kunci. Inilah yang juga wajib dijadikan syarat dalam mendapatkan nushrah dalam konteks sekarang. Selain Muslim, ahlun-nushrah juga harus meyakini Islam, menjadikan Islam sebagai standar berpikir dan perilakunya, serta bersedia mengorbankan apapun demi Islamnya.

Kelima, syarat Islam bukan hanya menjadi syarat bagi ahlun-nushrah, tetapi juga basis massa [qâ’idah sya’biyyah] yang menopang ide yang menjadi landasan dakwah. Caranya, melalui tokoh, pemuka dan pemimpinnya, basis massa yang menyakini dan mengimani Islam tersebut dibangun. Ini sebagaimana yang dilakukan oleh Mus’ab bin ‘Umair, Usaid bin Hudhair dan As’ad bin Zurarah saat meraih dukungan Saad bin Muadz. Setelah Saad bin Muadz memeluk Islam, melalui dialah Bani Ashal kemudian memeluk Islam. Ketika itu Saad bin Muadz berkata kepada mereka, “Sesungguhnya kalian tidak pantas [haram] berbicara dengann aku sehingga kalian memeluk Islam.”

Penjelasan lain dikemukakan oleh Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, dalam kitabnya, Qirâ’ah Siyâsiyyah li as-Sîrah an-Nabawiyyah, mengenai alasan Nabi saw. menolak tawaran harta, tahta dan wanita dari kaum Quraisy, dengan syarat beliau menghentikan dakwahnya. Menurut beliau, ini merupakan konsekuensi logis dari visi dan misi Nabi saw. Bagaimana mungkin membangun negara yang menjadikan Islam sebagai dasar dan perundang-undangnya, sementara basis massa [rakyat] yang menjadi penopangnya tidak meyakini dan mengimani Islam? Mungkinkan Islam bisa dijadikan dasar? Mungkinkan Islam diterapkan kepada mereka yang tidak meyakini dan mengimaninya? Jawabannya, tidak mungkin. Karena itu, tawaran tersebut beliau tolak.

Sebaliknya, dalam riwayat lain, tawaran Nabi saw. kepada kaum Kafir Quraisy sangat jelas, dengan visi, misi dan konsekuensi yang jelas. Nabi saw. menyatakan, “Katakanlah, satu kata saja. Jika kalian bersedia memberikannya, maka seluruh bangsa Arab akan tunduk kepada kalian. Bangsa-bangsa non-Arab pun akan membayar jizyah kepada kalian.” Mereka berkata, “Jangankan satu kata, lebih dari itu pun kami akan berikan.” Nabi saw. pun melanjutkan, “Ucapkanlah, La ilaha illa-Llah Muhammad Rasulullah.”

Keenam, nushrah yang diberikan tanpa kompensasi. Jika nushrah diberikan dengan kompensasi tertentu, maka nushrah seperti ini juga tidak boleh diterima. Ini tampak dari penolakan Nabi saw. terhadap tawaran Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah, “Milik siapakah urusan ini sepeninggalmu, ya Rasulullah?” Dengan diplomatis, Nabi saw. menjawab, “Urusan ini milik Allah. Dia akan memberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki.”

Ketujuh, disyaratkan, ahlun-nushrah yang memberikan nushrah-nya adalah mereka yang mempunyai kekuatan, yang kekuatannya bisa digunakan untuk melindungi dakwah. Ini tampak dari dialog Nabi saw. dengan Kabilah Wa’il, “Bagaimana dengan jumlah kalian?” Mereka menjawab, “Banyak, laksana embun pagi.” Lalu beliau bertanya, “Bagaimana dengan kekuatannya?” Mereka menjawab, “Tanpa kekuatan. Kami bertentangga dengan Persia, tetapi kami tidak mampu mempertahankan diri (dari serangan mereka).” 8 Terhadap mereka, akhirnya Nabi saw. hanya mengingatkan kepada Allah, dan memberitahukan kepada mereka, bahwa beliau adalah utusan Allah SWT.

Kedelapan, disyaratkan mereka yang memberikan nushrah-nya tidak terikat dengan perjanjian internasional yang bertentangan dengan dakwah, sementara mereka tidak bisa melepaskan diri dari perjanjian tersebut. Jika tidak, maka dakwah akan menghadapi ancaman dihancurleburkan oleh negara-negara yang terikat perjanjian dengannya. Inilah yang ditunjukkan Nabi saat mendatangi Bani Syaiban. Hani bin Qubaisyah, pemuka Bani Syaiban berkata kepada Nabi saw., “Aku telah mendengar ucapanmu, wahai saudara Quraisy. Aku berpendapat, bahwa dengan meninggalkan agama kami, kemudian mengikuti agamamu, karena satu forum yang telah engkau adakan dengan kami, baik yang pertama maupun kapan saja, tidak mampu menggelincirkan pandangan kami, dan belum cukup untuk melihat ke depan. Namun, ketergelinciran itu justru terjadi karena ketergesa-gesaan. Di belakang kami ada kaum, dimana kami tidak suka mengikat perjanjian dengan mereka. Namun, jika mereka meru-juknya, kami pun siap merujuknya. Jika mereka mengakuinya, kami pun mengakuinya.” 9

Inilah kriteria umum dan garis besar bagaimana nushrah sebagai metode perubahan harus dilakukan oleh para pengemban dakwah. Karena nushrah dan kekuasaan bukan tujuan, tetapi sama-sama merupakan metode, maka metode ini harus dijamin bisa mengantarkan pada tujuannya. Tujuannya adalah mengembalikan kehidupan Islam (isti’nâf al-hayât al-islâmiyyah), dengan menjadikan Islam sebagai dasar dan diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan.

Karena itu, yang harus diperhatikan, bukan yang penting kekuasaan di tangan, atau nushrah didapatkan. Sebab, jika itu terjadi, maka tentu Nabi saw. tidak akan menolak tawaran kaum Kafir Quraisy. Nabi saw. juga pasti tidak akan menolak tawaran Bani Amir bin Sha’sha’ah. Nabi juga tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang diperoleh dari Bani Syaiban dan Wail. Ternyata semua tawaran dan kesempatan itu beliau tolak, padahal sangat dibutuhkan. Ini menjadi indikasi [qarînah], bahwa hukum thalab an-nushrah menepati kriteria dan syarat tersebut juga wajib, sebagaimana thalab an-nushrah itu sendiri. Jika tidak wajib, pasti Nabi saw. sudah menerimanya. Sebab, kondisinya benar-benar sangat membutuhkan dukungan tersebut.

Inilah gambaran bagaimana nushrah itu diperoleh serta bagaimana nushrah tersebut bisa merealisasikan tujuannya. WalLâhu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]

 

Catatan kaki:

1         As-Suhaili, Syarh Sîrah Ibn Hisyâm, Rawdhah al-Unf, II/172.

2         As-Suhaili, Ibid, II/172.

3         Permulaan tahapan interaksi [bidâyah at-tafâ’ul] dengan umat dilakukan, setelah Allah SWT menitahkan kepada Nabi saw., “Sampaikanlah oleh kamu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepada kamu) dan berpalinglah dari kaum musyrik.” (TQS an-Nahl [16]: 94). Ayat ini turun pada tahun ke-3 kenabian, saat di Makkah.

4         At-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulk.

5         As-Suhaili, Ibid, VII/220.

6         As-Suhaili, Ibid, II/172; at-Thabari, Târ‚kh al-Umam wa al-Mulk, II/344.

7         As-Suhaili, Ibid, II/173.

8         Al-Halabi, As-Sîrah al-Halabiyyah, II/05.

9         As-Suhaili, Ibid, II/182.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*