Umat Islam dunia kini ditelikung. Begitu pula Indonesia. “Kini Dunia Islam dihimpit oleh Yahudi, Nasrani serta Komunis dari Beijing dan kawan-kawan. Milah ini berkonspirasi menekan Dunia Islam,” ungkap Amin Rais dalam acara Silaturahmi Ulama dan Tokoh Umat, Jakarta (19/1/2017).
“Negeri kita menjadi sasaran teropong global Barat (Yahudi dan Nasrani) maupun Timur (komunis, Cina),” tegas mantan Ketua MPR RI ini.
Kekuatan asing dan aseng yang menggerogoti dalam negeri tampak nyata.
Ungkapan Pak Amin sudah menjadi pemahaman umum. Hal senada saya lihat dan saya dengar muncul di berbagai daerah. Saat saya bersilaturahmi dengan berbagai komponen umat Islam dalam kurun 2016/2017 di banyak daerah di Indonesia, kegundahan bahwa Indonesia tengah dicengkeram oleh asing dan aseng sangat terasa. “Bahkan ada satu lagi, yaitu ‘asong’. Mereka adalah orang kita yang telah mengabdikan dirinya dan menjual tanah dan airnya kepada pihak asing dan aseng,” ujar saya kepada beberapa tokoh di Jakarta.
Ketua Perti, Amin Lubis, menyampaikan kepada saya, “Mereka menguasai negeri ini dengan cara membuat Undang-Undang. Lihatlah Singapura, saat ini Melayu habis dan Cina yang menguasai Singapura.”
Beliau menambahkan, “AS dan Eropa mencari kekayaan dengan membuatkan UU yang melindungi kepentingan mereka di negeri ini.”
Akibatnya, rakyat kecil yang paling kena dampaknya. Ada seorang tokoh pemuda Bogor, yang saya kenal. Sehari-harinya bergelut dengan kalangan muda dengan kehidupan keras. Faiz namanya. Beliau menyampaikan kondisi kawan-kawannya, “Kondisi ini merupakan korban sistem bobrok. Para pemuda di pasar dan lapangan semua berebut uang kecil bahkan bertaruh nyawa sampai saling bacok. Bahkan demi berebut uang kecil itu, mereka bertaruh nyawa. Entah kemana uang besar,” ujar Wakil Ketua Paguyuban Benteng Pajajaran itu sambil mengelus dada. “Lalu siapa yang berebut uang besar?” tanyanya dengan gaya retoris.
Pernyataan ‘korban sistem bobrok’ mengingatkan saya pada ungkapan mantan Kepala Staf Angkatan Laut, Laksamana (Pur) Slamet Soebijanto. Akhir Desember 2016, dalam sebuah acara diskusi yang saya hadiri, beliau menyatakan, “Fakta dan sudah terbukti bahwa sistem demokrasi telah membuat anak bangsa menjadi materialistis/sekular. Sudah terbukti bahwa sistem demokrasi telah membuat silaturahmi anak bangsa terputus, terpecah-belah dan cerai-berai. Sudah terbukti bahwa sistem demokrasi telah membuat bangsa ini menjadi bangsa yang tidak beradab.”
Pemimpin Majelis Kebangsaan Panji Nusantara (MKPN) ini menyimpulkan, “Jelas, sistem demokrasi adalah sistem gaya baru politik adu domba, memecah-belah bangsa.”
Ungkapan seorang Laksamana tentu saja tidak asal bicara. Saya percaya, banyak data yang dia punya. Yang menarik, realitas kekinian menunjukkan bahwa politik adu domba dan memecah-belah tersebut jelas terlihat.
Sebut saja, kejadian pasca Aksi Bela Islam 212 dilakukan. Aksi jutaan umat Islam tersebut untuk menuntut sang penghina al-Quran dihukum. Namun, reaksi yang ditunjukkan adalah aksi tersebut mengancam keragaman dan anti kebhinekaan; bahkan dituduh anti Pancasila dan membahayakan NKRI. Apa hubungannya? Mengapa umat Islam yang membela akidahnya, melawan saat al-Quran sebagai kitab sucinya dihina, justru dituduh macam-macam? Bukankah justru tudingan Ahok yang mengatakan ‘tidak mau dibodohi, dibohongi, rasis, dsb’ yang merusak mengancam keragaman? Anti kebhinekaan? Bukankah justru mereka yang menghamparkan karpet merah bagi para koruptor serta memberikan penguasaan tanah dan air serta kekayaan yang ada di dalamnya kepada asing itulah yang membahayakan negeri zamrud khatulistiwa ini?
Tuduhan anti Pancasila digunakan untuk menggebuk umat Islam. Pada saat kaum Muslim menyampaikan kepada umatnya bahwa menurut Islam haram hukumnya pemimpin kafir, begitu pula pada saat Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan ajaran Islam tentang haram mengenakan atribut natal bagi pekerja Muslim, mereka sedang mengamalkan ajaran agamanya. Namun, tuduhan yang menyeruak adalah umat Islam intoleran dan ancaman. Bahkan Kapolri Jenderal Tito Karnavian (17/1/2017) mencontohkan, fatwa MUI soal larangan penggunaan atribut Natal bagi karyawan beragama Islam, yang kemudian memicu berbagai aksi beberapa pihak yang melakukan sosialisasi di ruang publik hingga adanya aksi kekerasan di kafe, merupakan ancaman. Bukankah yang intoleran itu sebenarnya adalah mereka yang memaksa para pekerjanya untuk mengenakan pakaian natal yang justru bertentangan dengan akidah mereka? Wajar, bila Pak Din bereaksi keras. “Tuduhan dan tudingan seperti itu justru salah jalan. Justru berasal dari nalar yang keliru. MUI menjalankan tugas fungsi dan tanggung jawabnya membimbing umatnya, apakah itu salah?” kata Pak Din Syamsuddin yang juga sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) (18/1/2017).
Terjadinya konflik horizontal merupakan suatu kekhawatiran bersama. Ketika pemeriksaan Habib Rizieq Syihab di Polda Jawa Barat, terjadi tindak kerusuhan. Kedua belah pihak Muslim. Upaya adu domba sesama Muslim jelas terlihat. Padahal tatkala Muslim dengan Muslim bentrok bisa dipastikan yang diuntungkan adalah pihak-pihak yang membenci umat Islam. Siapa lagi bila bukan asing, aseng dan asong.
Semua ini dalam rangka untuk menghentikan kebangkitan umat Islam di Indonesia. “Mereka memandang Aksi Bela Islam 212 yang super damai itu ancaman. Akibatnya, siapapun tokohnya dan organisasi Islam yang terlibat di dalamnya harus dihabisi,” ujar Habib Rizieq di Masjid al-Azhar, Jakarta (19/1/2017).
Pihak-pihak selama ini mengangkangi Indonesia merasa terancam. Dalam konteks ini, dapat dipahami kriminalisasi ulama dan kelompok Islam tengah berjalan. Berkaitan dengan hal ini, Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia, Rohmat S. Labib menegaskan, “Ada dua yang harus diwaspadai terkait dengan kriminalisasi ulama dan ormas Islam. Pertama, terkait legitimasi hukum. Ulama dan ormas Islam akan dikaitkan dengan berbagai pengaduan hukum. Di samping itu, perlu dicermati revisi UU Antiterorisme dan revisi UU Ormas. Kedua, terkait legitimasi publik. Upaya penolakan oleh sebagian pihak terhadap pihak lain akan mereka ciptakan. Atau, boleh jadi akan ada permintaan fatwa untuk menyesatkan kelompok Islam tertentu.”
Alhamdulillah, hal ini tampaknya disadari oleh komponen-komponen umat IslamTidak boleh ada upaya memberangus ulama dan kelompok Islam. Untuk itu, umat Islam mutlak bersatu dan waspadai adu domba. [Muhammad Rahmat Kurnia; DPP Hizbut Tahrir Indonesia]