Militer atau tentara tentu amat besar perannya dalam sebuah negara, terutama sebagai alat pertahanan negara dari ancaman luar. Lalu bagaimana dengan pandangan Islam terhadap militer atau tentara ini? Apakah dalam Islam militer sekadar sebagai alat pertahanan? Mengapa pula saat ini militer di Dunia Islam seperti tak berdaya? Seberapa besar sesungguhnya kekuatan militer Dunia Islam?
Itulah di antara beberapa pertanyaan Redaksi kepada H. Budi Mulyana, pengamat politik dan militer sekaligus DPP HTI. Berikut petikan wawancaranya.
Apakah keberadaan tentara itu penting bagi sebuah negara?
Tentu. Tentara atau militer adalah pilar penegak suatu negara. Jenderal Oerip Soemohardjo, menyatakan ‘aneh suatu negara zonder tentara’, menanggapi penyusunan pemerintah Indonesia yang baru merdeka yang di dalamnya tidak ada badan ketentaraan. Karena itu lahirlah TKR/TNI pada 5 Oktober 1945.
Sepanjang sejarah peradaban manusia, semua negara super power memiliki tentara atau militer yang kuat, baik dari segi jumlah maupun dari segi persenjataannya. Amerika Serikat adalah negara super power dengan kekuatan militer terbesar di dunia. Tentaranya tersebar tidak hanya di negaranya, namun di seantero penjuru dunia. Persenjaataan tercanggih, bahkan kekuatan nuklir dan senjata luar angkasa, masih menjadi dominasinya.
Apa perbedaannya dengan polisi?
Tidak semua negara membedakan antara tentara dan polisi. Dulu Indonesia memasukkan polisi dan tentara sebagai sama-sama angkatan bersenjata. Pasca reformasi, kini mereka dipisahkan.
Secara fungsi, tentara menjaga pertahanan Negara, sedangkan polisi menjaga keamanan masyarakat. Tentara bertugas melawan musuh dari luar, sedangkan polisi mengatur ketertiban masyarakat.
Karena itu ada negara yang memasukkan tentara dalam kementerian pertahanan, sedangkan polisi dalam kementerian dalam negeri. Ada juga yang menempatkan masing-masing secara otonom. Semua bergantung pada pilihan kebijakan negara yang diambil.
Apakah bisa didikotomikan seperti itu?
Ya, bisa dipisahkan, bisa juga tidak.
Apakah tentara harus terpisah dari rakyat atau menyatu?
Indonesia menganut tentara rakyat. Tentara yang lahir dari rakyat. Hal ini terlihat dari proses kemunculan tentara di Indonesia. Ada tiga unsur pembentuk tentara di Indonesia: pertama, alumni dari tentara bentukan Jepang (PETA); kedua, alumni dari tentara bentukan Belanda (KNIL); ketiga, tentara yang dulunya adalah laskar-laskar yang dibentuk oleh rakyat, terutama kalangan pesantren dan santri, seperti laskar Hizbullah dll. Dengan latar belakang yang demikian, tentara di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari rakyat. Ini yang sering diistilahkan dengan konsep TNI manunggal dengan rakyat.
Di negara lain, tentara ditempatkan di barak-barak militer. Kehidupannya dipisahkan dari masyarakat. Mereka hidup secara ekslusif; menyiapkan diri untuk membela negara kalau ada musuh yang menyerang.
Di Indonesia, ada konsep Koter (Komando Teritorial). Tentara memiliki hierarkis kewilayahan, sebagaimana administrasi pemerintahan negara. Di level Provinsi ada Kodam. Di Kab/Kota ada Korem dan Kodim. Di Kecamatan ada Koramil. Hal ini menjadikan keberadaan tentara menyatu dengan masyarakat. Mereka tidak hanya menyiapkan diri melawan musuh negara dari luar, namun juga turut terlibat dalam penanganan problematika sosial kemasyarakatan dan program pembangunan.
Mengapa ada upaya memisahkan tentara dari rakyat?
Gagasan memisahkan tentara dari rakyat di negeri ini akibat pengaruh dari pemikiran Barat. Para intelektual sekular yang melihat pola pengaturan militer di Barat memandang bahwa idealnya tentara dijauhkan dari rakyat. Karena militer adalah alat negara, ia harus fokus untuk menghadapi musuh negara. Para intelektual ini lupa bahwa sejarah pembentukan tentara di Indonesia berbeda dengan tentara di Barat sana. Di sini, tentara lahir dari rakyat dan hidup bersama rakyat.
Apakah tentara itu alat negara atau alat pemerintahan? Apa bedanya?
Tentara adalah alat negara. Ia akan mengabdi pada konstitusi negara. Konstitusi yang merupakan kehendak dari rakyat. Tentara bukan alat pemerintahan, alat untuk melanggengkan kekuasaan praktis dari pejabat yang berkuasa. Namun pada praktiknya, kadang tentara terjebak dalam kekuasaan praktis. Bahkan ia menjadi rezim penguasa, sebagaimana dulu yang terjadi pada masa Orde Baru, atau yang terjadi di beberapa negara junta militer seperti Myanmar atau Mesir sekarang.
Dulu pada masa Orba tentara terlihat sangat dominan, sedangkan saat ini tentara terlihat kehilangan perannya. Mengapa?
Ya, salah satu agenda reformasi adalah menghapuskan Dwi Fungsi ABRI. Militer, pada masa Orde Baru mendapatkan tempat yang luar biasa. Dianggap sebagai penyelamat dari Komunisme yang berkembang pada masa Orde Lama. Tentara tidak hanya memiliki fungsi pertahanan dan keamanan, namun juga memiliki fungsi sosial politik. Inilah yang disebut dengan Dwi Fungsi ABRI. Militer mendominasi di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Mereka tidak boleh aktif dalam partai politik, namun menjadi pengendali pemerintahan dan perpolitikan masyarakat. Mereka mendapatkan porsi khusus di MPR, DPR dan DPRD; mengambil jatah sebagai legislator. Padahal mereka militer aktif.
Pasca Reformasi semua berubah. Dwi Fungsi ABRI dihapus. Polisi dipisahkan dari Tentara. Hak politik tentara dihapus. Parlemen dibersihkan dari militer. Karena itu perlahan, peran militer semakin hilang di tengah masyarakat. Dominasi tentara hilang, kini digantikan oleh para petualang politik melalui partai-partai politik. Apakah makin baik? Tentu tidak. Yang ada hanya perubahan suasana. Perubahan keadaan saja. Pasalnya, bukan itu akar masalah dari berbagai kekisruhan pada rezim Orde Baru. Sebabnya, tentara hanya alat saja, sebagaimana prinsip dasarnya, alat negara yang pada masa Orde Baru diselewengkan menjadi alat kekuasaan.
Mengapa tentara kaum Muslim gagal membela negeri-negeri Muslim yang tertindas seperti di Suriah, Palestina Rohingya dan lainnya?
Ya, karena memang mereka tidak diterjunkan ke sana. Tidak ada negara yang benar-benar mengirimkan tentaranya untuk berperang membela kaum Muslim di Suriah, di Palestina, di Rohingya. Karena tidak ada perintah ke sana. Para penguasa negeri Muslim enggan mengirimkan tentara ke tempat-tempat tersebut karena memang tidak ada kepentingan mereka di sana. Pembelaan saudara sesama Muslim bukan bagian dari hal yang dapat untuk dijadikan alasan pengiriman tentara. Sekat nasionalisme, alasan penghormatan kedaulatan negara bangsa, dan semacamnya telah menjadikan ukhuwah islamiyah tidak berarti. Ini adalah kegagalan yang paling mendasar.
Mengapa tentara kaum Muslim gagal menjaga kesatuan negeri-negeri Islam? Seperti terjadi disintegrasi di Sudan dan lepasnya Timorleste dari Indonesia?
Disintegrasi negeri Muslim tidak dapat sepenuhnya dipersalahkan kepada gagalnya tentara kaum Muslim untuk menjaganya. Sekali lagi mereka hanyalah alat. Tergantung siapa yang memerintahkan mereka. Kadang doktrin militer yang harus menjaga keutuhan negara harus mengalah pada kepentingan politik. Apalagi ada negara adidaya yang turut bermain di dalamnya. Lepasnya Timor Leste dari Indonesia semestinya menjadi pelajaran yang sangat berharga. Tahun 1976, ketika proses integrasi, tentaralah yang menjadi pionir untuk mengkondisikan Timor Timur saat itu sehingga ‘layak’ bergabung dengan Indonesia. Misi intelejen, penyusupan dan infiltrasi pengkondisian yang dilakukan oleh tentara terbukti dapat menggabungkan Timtim menjadi bagian provinsi Indonesia. Ketika akhirnya Timor Leste lepas, tentara juga yang menjadi korban. Kerusuhan yang terjadi, hilangnya aset-aset bukan berarti tentara tidak berbuat apa-apa. Namun, ada kepentingan politik yang bermain. Menyedihkan.
Mengapa tentara, ketika jadi penguasa, menjadi penguasa yang bengis atau menjadi penjaga rezim yang bengis?
Tidak selalu sebenarnya. Karena tentara memiliki karakter yang khas. Disiplin, teratur, tegas, taat pada pimpinan. Tidak ada karakter bengis. Bahwa tentara harus siap berperang, membunuh orang, iya. Namun, bukan berarti menjadi bengis tidak berkeprikemanusiaan. Munculnya penguasa yang bengis dari kalangan tentara karena ia memanfaatkan karakter khas ketentaraannya untuk memenuhi hawa nafsu kepentingannya. Jadi masalahnya di hawa nafsunya, bukan di karakter ketentaraannya.
Mengapa tentara tidak berpihak kepada rakyat?
Sebenarnya sikap tentara adalah bergantung kepada rakyat karena tentara lahir dari rakyat. Rakyat ibarat ibu yang mengandung dan membesarkan tentara yang kelak akan membelanya. Karena itu semestinya kepentingan rakyat akan selalu dibela oleh tentara. Tentara tidak berpihak kepada rakyat ketika tentara sudah dikooptasi oleh kepentingan, baik oleh kepentingan politik kotor ataupun oleh kepentingan ekonomi para pengusaha yang rakus. Tentara dijadikan alat untuk membela kepentingan itu. Tentara dijauhkan dan dibenturkan dengan rakyat.
Mengapa tentara tunduk pada tekanan asing?
Berarti tentara seperti ini sudah terbeli dengan kepentingan asing. Ada tentara yang menjadi agen bagi kepentingan asing. Ini yang kemudian disebut sebagai proxy atau boneka. Biasanya mereka sudah dikader sejak dini. Mengenyam pendidikan asing, dilakukan pendekatan-pendekatan, sampai akhirnya memang dijadikan boneka. Bila menjadi pimpinan, dengan karakter kedisiplinan tentara, ia akan menularkannya ke anak buahnya. Karena itu ia akan jadi bahaya bila menjadi pucuk pimpinan tentara.
Ada juga yang memang sedari awal sudah berkolaborasi dengan berbagai kepentingan. Tidak perlu dikader, ia dengan penuh kesadaran menghamba pada kepentingan asing. Bisa dengan alasan ekonomis; keuntungan proyek militer dengan menggantungkan pada alusista negara tertentu dengan mengambil keuntungan pribadi. Jadilah negara dirugikan oleh kepentingan pribadinya.
Berapa sebenarnya kekuatan tentara di Dunia Islam?
Kekuatan tentara di Dunia Islam sangatlah besar. Dari segi jumlah. Indonesia saja memiliki 500.000 tentara aktif. Turki, Mesir, Pakistan, Arab Saudi, adalah negeri-negeri Muslim yang memiliki jumlah militer yang cukup besar juga; masing-masing sekitar 200 hingga 400 ribuan tentara aktif.
Belum lagi alusista yang dimiliki walau masih bergantung pada kekuatan militer produk negara Barat, seperti pesawat tempur dari Amerika Serikat, Rusia dan Inggris, Tank dari Jerman, kapal perang dari Perancis, Jerman, dan Inggris, dan lainnya. Jumlahnya sangat besar bila seluruh negeri Muslim digabungkan.
Kekuatan yang paling besar adalah konsepsi Jihad. Walau tidak secara resmi menjadi doktrin kemiliteran tentara Muslim, secara personal, dengan adanya iman yang terhunjam di dada, setiap tentara Muslim memiliki keyakinan bahwa bila melakukan peperangan, itu adalah bagian dari amal jihad, yang mendapatkan pahala di sisi Allah SWT. Ini menjadi kekuatan moril yang paling tinggi yang dapat menggetarkan musuh. Kekuatan ini tidak dimiliki oleh tentara non-Muslim.
Mengapa tentara kehilangan ruh jihad fisabilillah?
Ruh jihad fi sabilillah kini menjadi sangat personal. Hal ini karena paham sekularisme; memisahkan aktivitas kemiliteran dengan prinsip-prinsip keislaman. Akibatnya, ruh jihad hilang dari doktrin kemiliteran. Tentara yang jauh dari nilai-nilai keislaman tidak mengenal konsepsi jihad fi sabilillah. Ia akan memandang perang sebagai aktivitas fisik, materil, matematis belaka. Tidak ada ruh keimanan di sana. Kembali, ini karena sekularisme.
Bagaimana agar tentara memahami peran dakwah Islam?
Sebagai seorang Muslim, tentara pun harus memahami nilai-nilai keislaman dengan benar. Islam mengajarkan tentang dakwah. Apalagi dalam Islam sebenarnya tentara adalah para pendakwah. Pada zaman Rasulullah saw. dan generasi setelahnya para tentara Islam justu adalah para pendakwah Islam. Ketika tentara Islam akan menaklukan suatu negeri, mereka akan memulainya dengan mendakwahi penduduknya terlebih dulu. Apabila dakwah diterima, peperangan tidaklah akan terjadi karena ada penerimaan Islam secara damai. Jika pada akhirnya harus terjadi peperangan, kemudian musuh dapat ditaklukan, maka para tentara tersebut akan mengkonsolidasikan masyarakat yang mereka taklukan. Fungsi dakwah kembali muncul di sini. Sebabnya, para tentara ini harus mengintegrasikan masyarakat yang mereka taklukan ke dalam perlindungan dan penguasaan Islam.
Bagaimana agar tentara mendukung dakwah Islam?
Untuk dapat mendukung dakwah Islam, tentara harus belajar Islam. Sebagai seorang Muslim, identitas keislaman harus melekat pada dirinya, apapun profesinya, termasuk tentara. Dengan belajar Islam, membina dirinya untuk semakin memahami Islam, maka tentara akan memahami jatidirinya sebagai seorang Muslim yang kebetulan memanggul senjata. Dengan pemahaman Islam yang benar, dengan sendirinya ia akan mendukung seluruh ajaran yang ada dalam Islam, tanpa membedakan satu dengan yang lainnya, termasuk di dalamnya adalah aktivitas dakwah.
Dengan begitu, dakwah Islam adalah bagian dari kehidupannya. Syiar-syiar Islam akan dihidupkan dalam dunia kemiliteran. Tentara dengan para pendakwah Islam akan hidup seiring sejalan, harmonis karena sama-sama berada dalam jalan membela agama Allah SWT. Pada akhirnya, seluruh apa yang ada pada dirinya akan dipersembahkan demi menegakkan agama Allah SWT; melanjutkan kembali kehidupan Islam. []