Imam az-Zuhri bernama lengkap Abu Bakr Muhammad bin Muslim Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab al-Quraisyi az-Zuhri. Ia lahir pada tahun 51 H. Sebagian riwayat menyebut ia lahir pada tahun 56 H atau 58 H, yakni pada akhir kepemimpinan Khalifah Muawiyah. Imam az-Zuhri tinggal di Ailah, sebuah desa antara Hijaz dan Syam. Reputasinya sebagai ulama besar menyebar luas sehingga ia menjadi rujukan bagi para ulama lain pada zamannya.
Imam az-Zuhri memiliki banyak keutamaan. Ia terkenal sebagai seorang yang alim, sabar, teguh, toleran, zuhud, mulia, murah hati, dermawan dan memiliki akhlak terpuji.
Tentang keilmuannya, Abu Hatim berkata, “Orang yang paling tinggi ilmunya di antara para sahabat Anas bin Malik adalah Az-Zuhri.” (Adz-Dzahabi, Tadzkirah al-Huffâzh, 5/334).
Imam az-Zuhri adalah salah seorang ulama ahli hadis dari kalanghan tâbi’in.
Menurut Imam al-Bukhari, lebih dari 2000 hadis diriwayatkan oleh az-Zuhri. Beberapa di antaranya tertulis dalam kitab Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim. Menurut Imam al-Bukhari pula, sanad hadis terkuat adalah yang berasal dari jalur Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya. Adapun menurut Abu Bakar bin Abi Syaibah, sanad yang paling sahih adalah Az-Zuhri, dari Ali bin Husain, dari bapaknya, dari kakeknya (Ali bin Abi Thalib) (Lihat: Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzîb at-Tahdzîb, 9/445).
Menurut Imam as-Suyuthi, Imam az-Zuhri adalah orang pertama yang membukukan hadis atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Banyak ulama memuji Imam az-Zuhri, Amr bin Dinar, misalnya berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih mengetahui tentang hadis dibandingkan dengan Ibnu Syihab (Imam az-Zuhri).” (Abu Nu’aim al-Ashbahani, Hilyah al-Awliyâ’).
Ahmad bin Hanbal juga berkata, “Az-Zuhri adalah orang yang paling kompeten dalam hadis dan yang paling baik sanad-nya.” (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubalâ’, 5/334).
Imam al-Laits pun menyatakan, “Aku tidak melihat seorang alim pun yang lebih luas ilmunya dibandingkan dengan Imam az-Zuhri. Tatkala ia berbicara tentang targhîb (nasihat dan anjuran), Anda akan berkomentar, ‘Tidak ada yang terbaik kecuali dia.’ Saat ia berbicara tentang sejarah Arab dan silsilah nasab, Anda akan berkomentar, ‘Tidak ada yang terbaik kecuali dia.’ Saat ia berbicara tentang al-Quran dan al-Hadis, engkau pun akan mengatakan yang serupa.” (Adz-Dzahabi, Tadzkirah al-Huffâzh, 3/109).
Semua kehebatan keilmuan Imam az-Zuhri tentu karena sejak dini ia amat mencintai ilmu. Bahkan dalam pandangannya, “Tidaklah Allah SWT diibadahi dengan sesuatu yang lebih utama dibandingkan dengan ilmu.”
Karena itu ia sanggup melakukan banyak perjalanan panjang untuk mencari ilmu. Jika ia pulang ke rumah, ia pun langsung bergelut dengan buku-buku sehingga sering melupakan urusan dunia yang lain. Sang istri sampai cemburu hingga pernah berdiri di sampingnya seraya berkata,
“Demi Allah, kecemburuanku pada buku-buku ini lebih besar daripada kepada tiga wanita yang menjadi maduku.” (Ibnu Khalikan, Wafayât al-A’yân, 4/177-178).
Kehebatan keilmuan Imam az-Zuhri tentu juga karena beliau memiliki daya hapal yang kuat. Terkait itu, Hisyam bin Abdul Malik, Khalifah Kesepuluh Daulah Umayah, pernah menguji seberapa kuat hapalan Imam az-Zuhri. Sang Khalifah ingin az-Zuhri mendiktekan hadis kepada anaknya dengan dibantu seorang juru tulis tanpa melihat catatan. Dengan lancarnya Imam az-Zuhri mendiktekan empat ratus hadis Rasulullah saw. tanpa sedikit pun keliru.
Imam az-Zuhri pun amat cermat menilai sanad hadis. Dialah yang mendorong agar perawi menyebutkan sanad ketika meriwayatkan hadis. Sebab, tanpa sanad, siapa pun bisa berbicara apa saja yang dimaui tanpa diketahui apakah itu hadis sahih atau bukan.
Imam az-Zuhri sekaligus merupakan sosok pengabdi hadis sejati. Selain menghapal dan menghimpun lebih dari dua ribu hadis, ia juga banyak mengkader murid-muridnya untuk menguasai hadis dengan membiayai dan memfasilitasi segala keperluan yang mereka butuhkan. Dalam hal ini Imam Malik menuturkan, Imam az-Zuhri mengumpulkan orang-orang yang belajar hadis dan memberikan makanan dan perlengkapan lainnya pada musim dingin atau musim panas.
Imam az-Zuhri juga sosok yang amat berwibawa. Imam Malik pernah memberikan kesaksian akan kewibawaan Imam az-Zuhri, gurunya. “Jika Imam az-Zuhri memasuki Madinah, tak seorang pun ahli hadis yang berani menyampaikan hadis di depannya sampai ia beranjak keluar dari kota itu,” papar Imam Malik (Lihat: Ibn Hajar Asqalani, Tahdzîb at-Tahdzîb, 9/445).
Imam az-Zuhri tak hanya mengantungi banyak ilmu, tetapi sekaligus mengamalkan ilmunya. Suatu ketika Muhammad bin al-Munkadir melihat Imam az-Zuhri lalu berkata, “Aku melihat di antara dua mata az-Zuhri ada tanda bekas sujud.” Ini menunjukkan banyaknya ibadah sang imam.
Amru bin Dinar juga pernah memuji gurunya sebagai orang yang zuhud, “Tidak ada dinar dan dirham yang paling hina kecuali di sisinya. Tidaklah dinar dan dirham di sisinya kecuali bagaikan kotoran hewan saja.”
Imam az-Zuhri pun seorang yang amat dermawan. Suatu saat ia berada di tengah-tengah suatu kaum yang mengeluh, “Kami mempunyai 18 wanita yang sudah lanjut usia. Mereka tak mempunyai pelayan.”
Seketika Imam az-Zuhri segera memberikan 1000 dirham untuk para wanita lanjut usia itu dan menyiapkan 1000 dirham lainnya untuk pelayan mereka (total lebih dari Rp 100 juta, pen.).
Perhatikan juga kedalaman ilmu fikihnya. Ia pernah berbuka pada puasa Ramadhan ketika safar. Namun, saat Hari Asyura’ ia safar, ia justru berpuasa. Saat ditanya, mengapa ia berbuka dan kadang berpuasa ketika safar, ia menjawab, “Sungguh puasa hari-hari Ramadhan bisa diganti dengan hari lain. Adapun puasa Hari Asyura’ tidak.”
Di antara tips Imam az-Zuhri dalam memperdalam ilmu dan menjadikan ilmunya tetap terjaga adalah dengan mengajarkan ilmu kepada masyarakat luas. Sering ia terjun ke tengah-tengah masyarakat perkampungan untuk mengajarkan dan menyeberluaskan ilmunya agar ilmunya tetap terpelihara.
Imam az-Zuhri wafat di Sya’bad pada tahun 123 H. Ada yang mengatakan ia wafat tahun 125 H.
Wa mâ tawfîqî illâ bilLâh. [Arief B. Iskandar]