HTI

Jejak Syariah

Jejak Syariah: Rohingnya: Terhapus Secara Sistematis dari Sejarah (Bagian 1)


Medio November 2016 yang lalu, Dunia Islam kembali digemparkan dengan tindakan keji rezim Myanmar terhadap suku Islam Rohingnya di utara Rakhine. Human Rights Watch (HRW) menyebut bahwa ratusan rumah suku Rohingya dihancurkan hingga luluh lantak oleh militer Myanmar. Kekejaman militer Myanmar sudah di luar batas kemanusiaan.

Menurut Arakan Times (AT), media lokal Arakan, militer Myanmar telah membakar ratusan rumah warga di utara kota Maungdaw pada Rabu (16/11/2016), menangkap puluhan warga sipil dan menewaskan dua warga sipil. Ratusan pasukan Myanmar Tatmadaw telah memasuki Ushey Kya (Buraksider Para), desa Myaw Taung (Saliparang), Desa Thu Yu Lar (Kularbil), Desa Tha Yet Oke (Mangala), Desa Yae Khet Chaung Kwa Sone (Gozibil), utara Maungdaw. Mereka melancarkan serangan, menangkap puluhan warga sipil dan membakar ratusan rumah.

Anehnya, kejadian brutal ini bukan hanya terjadi satu atau dua kali saja, namun terjadi berulang-ulang dengan ekskalasi yang sama atau jauh lebih dahsyat lagi. Berikut tahun-tahun penting penderitaan Muslim Rohingya:

1824: Inggris menduduki Burma termasuk wilayah Arakan dan menancapkan penjajahan mereka atas Birma.

1937: Kolonial Inggris menduduki Provinsi Arakan dengan kekerasan dan menggabungkannya ke Burma (yang saat itu merupakan koloni Inggris yang terpisah dari pemerintah Inggris di India). Untuk menundukkan kaum Muslim agar bisa dikuasai dan dijajah, Inggris mempersenjatai umat Budha.

1942: Lebih dari 100 ribu Muslim dibantai oleh orang-orang Budha dan ratusan ribu mengungsi ke luar negeri.

1948: Inggris memberi Birma kemerdekaan formalistik. Sebelumnya, pada 1947 M Inggris menggelar konferensi untuk mempersiapkan kemerdekaan dan mengajak seluruh kelompok dan ras di negeri tersebut kecuali Muslim Rohingya. Pada konferensi itu Inggris menetapkan menjanjikan kemerdekaan kepada tiap kelompok atau suku sepuluh tahun kemudian. Namun, pemerintahan Birma tidak mengimplementasikan hal itu. Yang terjadi, penindasan terhadap kaum Muslim yang terus berlanjut.

1962: Terjadi kudeta militer di Burma di bawah pimpinan militer Jenderal Ne Win. Rezim militer melanjutkan ‘tugas penting’ pembantaian terhadap umat Islam. Lebih dari 300 ribu Muslim diusir ke Bangladesh.

1978: Rezim militer mengusir lagi setengah juta Muslim ke luar Birma. Menurut UNHCR, lebih dari 40 ribu orang Muslim terdiri atas orang-orang tua, wanita dan anak-anak meninggal dunia saat pengusiran akibat kondisi mereka yang memprihatinkan.

1982: Operasi penghapusan kebangsaan kaum Muslim karena dinilaia sebagai warga negara bukan asli Burma.

1988: Lebih dari 150 ribu kaum Muslim terpaksa mengungsi ke luar negeri. Pemerintah Myanmar menghalangi anak-anak kaum Muslim mendapatkan pendidikan. Untuk mengurangi populasi, kaum Muslim dilarang menikah sebelum berusia tiga puluh tahun.

1991: Lebih dari setengah juta kaum Muslim mengungsi akibat penindasan yang mereka alami.

2012: Pada bulan Juni orang-orang Budha melakukan serangan terhadap sebuah bus yang mengangkut Muslim dan membunuh sembilan orang dari mereka. Konflik cenderung dibiarkan oleh Pemerintah. Pembunuhan, pembakaran rumah dan pengusiran terjadi. Puluhan ribu kaum Muslim keluar dari rumah mereka. Bangladesh menolak untuk membantu kaum Muslim yang tiba di Bangladesh. Negara ini bahkan mengembalikan dan menutup perbatasan untuk saudara Muslimnya. Tidak ada angka yang pasti jumlah korban Muslim. Namun diduga, puluhan ribu Muslim terbunuh pasca pecahnya kembali konflik pada awal Juni 2012.

Bila kejadian keji tersebut terjadi berulang maka bisa dikatakan bahwa kekejian tersebut bukanlah kejadian tanpa rencana. Pasti ada spirit yang menjadi landasan aksi kejam tersebut dengan rencana aksi yang terencana dan matang.

Pertanyaannya: Apa akar masalah dan factor penyebab umat Islam Rohingnya terus-menerus menjadi korban dan pihak yang senantiasa di bantai?

Pertama: Umat Islam Rohingnya diklaim Pemerintah Myanmar bukan penduduk asli Arakan. Pemerintah Myanmar mengklaim Rohingya tidak memenuhi syarat untuk mendapat kewarganegaraan di bawah UU Kewarganegaraan yang disusun militer pada 1982. Dokumen tersebut mendefinisikan warga negara adalah kelompok etnik yang secara permanen telah menetap dalam batas-batas modern Myanmar sebelum tahun 1823. Itu adalah tahun sebelum perang pertama antara Inggris-Myanmar.

Pemerintahan Jenderal Ne Win memasukkan 135 kelompok etnik yang telah memenuhi persyaratan. Daftar inilah yang masih digunakan pemerintah sipil Myanmar hingga saat ini.

Pemerintah kolonial Inggris disebut-sebut merupakan pihak yang mendorong migrasi Rohingya ke Myanmar. Ini yang memicu kebencian di dalam negeri negara itu sehingga digunakanlah tahun 1823 sebagai acuan untuk menentukan kewarganegaraan.

Cerita yang dominan berkembang di dalam negeri Myanmar adalah Rohingya merupakan pendatang baru. Warga Muslim itu dikabarkan keturunan imigran dari Bangladesh pada era kolonial. Namun, klaim rezim Myanmar jelas tidak berdasarkan fakta dan realitas yang ada. Menurut Gregory B. Poling, belakangan kisah ini terbukti palsu. Pada 1799, seorang ahli bedah, Francis Buchanan, dengan perusahaan British East India berpergian ke Myanmar dan bertemu dengan warga Muslim yang telah lama menetap di Rakhine. Mereka menyebut dirinya sebagai Rooinga atau penduduk asli Arakan. Ini menandai bahwa warga Muslim Rohingya sudah hidup di Rakhine setidaknya 25 tahun sebelum 1823.

Peneliti asal Skotlandia, Francis Buchanan, mengungkapkan, kaum Mohammedan (yang secara harfiah berarti ‘pengikut Muhammad’ atau Muslim) telah lama menetap di Arakan.

“Orang-orang itu menyebut diri mereka sebagai Rooinga yang berarti masyarakat pribumi asli Arakan,” tulis Buchanan dalam laporannya, “Asiatic Research 5”, yang diterbitkan pada 1799.

Sensus yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris di Burma pada 1826, 1872, 1911 dan 1941 juga menyebutkan, masyarakat Rohingya yang diidentifikasi sebagai Muslim Arakan adalah salah satu ras asli di Burma.

Menurut hasil dokumentasi SIL Internasional (sebuah lembaga bahasa dunia yang memiliki status konsultatif khusus dengan PBB), bahasa Rohingya Myanmar masuk dalam rumpun dialek Indo-Arya. Bahasa ini terdaftar dengan kode “rhg” dalam tabel ISO 639-3.

Meski dialek yang dipertuturkan orang-orang Rohingya berbeda dengan yang diucapkan penduduk Burma di Rakhine sekarang, fakta sejarah membuktikan bahasa Rohingya mempunyai kesamaan dengan bahasa yang digunakan masyarakat Vesali kuno (antara 327-818).

Hasil kajian Universitas Oxford sepanjang 1935-1942 juga menyimpulkan, kebudayaan Rohingya sama tuanya dengan usia Monumen Batu Ananda Sandra yang didirikan di Arakan pada abad kedelapan silam.

Semua catatan di atas dapat menjadi gambaran bahwa etnik Muslim Rohingya memiliki akar sejarah yang kuat sebagai salah satu ras pribumi asli di Rakhine—yang sekarang menjadi bagian dari wilayah Myanmar. Oleh karena itu, tidak ada pembenaran untuk mencap etnik Rohingya sebagai ras asing hanya karena mereka menganut ajaran Islam dan menggunakan nama-nama Muslim.

Fakta sejarah yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat luas dan bahkan cenderung disembunyikan adalah adanya bahwa masyarakat Muslim Rohingnya berada dalam satu Kesultanan Islam. Pada 1430 Rohingya menjadi Kesultanan Islam yang didirikan oleh Sultan Sulaiman Syah dengan bantuan masyarakat Muslim di Bengal (sekarang Bangladesh). Kemudian nama Rohingya diganti menjadi Arakan (bentuk jamak dari kata arab ‘rukun’ yang berarti tiang/pokok) untuk menegaskan identitas keislaman mereka.

Islam mulai datang ke negeri Burma ini dimulai sejak awal hadirnya Islam, yakni abad ke-7. Saat itu daerah Arakan telah banyak disinggahi oleh para pedagang Arab. Arakan merupakan tempat terkenal bagi para pelaut Arab, Moor, Turki, Moghuls, Asia Tengah dan Bengal yang datang sebagai pedagang, prajurit dan ulama. Mereka melalui jalur darat dan laut.

Pendatang tersebut banyak yang tinggal di Arakan dan bercampur dengan penduduk setempat. Percampuran suku tersebut membentuk suku baru, yaitu suku Rohingya. Oleh karena itu, Muslim Rohingya yang menetap di Arakan sudah ada sejak abad ke-7.

Para pedagang yang singgah di pantai pesisir Burma mulai menggunakan pesisir pantai dari Negara Burma (Myanmar) sebagai pusat persinggahan dan juga dapat dijadikan sebagai sebuah tempat reparasi kapal.

Dapat diketahui, Islam mulai masuk ke Burma di bawa oleh para pedagang Muslim yang singgah di pesisir pantai Burma. Pada masa kekuasaan perdagangan Muslim di Asia Tenggara mencapai puncaknya, hingga sekitar abad ke-17, kota-kota di pesisir Burma, lewat koneksi kaum Muslim, masuk ke dalam jaringan dagang kaum Muslim yang lebih luas.

Mereka tidak hanya aktif di bidang perdagangan, melainkan juga dalam pembuatan dan perawatan kapal. Suatu ketika di abad ke-17 sebagian besar provinsi yang terletak di jalur perdagangan dari Mergui sampai Ayutthaya praktis dipimpin oleh gubernur Muslim dengan para administrator tingginya, yang juga Muslim. [Bersambung/Gus Uwik, dari berbagai sumber]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*