Tak sedikit orang, baik wartawan, dosen, peneliti dan para diplomat khususnya dari luar negeri, bahkan juga pejabat negara ini, memiliki citra atau kesan umum, bahwa Muslim fundamentalis atau Muslim radikal atau muslim garis keras (hard-liner)—begitu biasa mereka menyebut kelompok Islam yang lantang menyerukan penerapan syariah—adalah orang yang berwajah garang, tidak argumentatif, doktriner, bodoh dan tidak bisa diajak dialog. Pendek kata, wajah Muslim fundamentalis itu sangat buruk dan menakutkan. Karena itu tidak semua orang memiliki kekuatan hati untuk datang bertemu dengan para “ekstremis” itu.
Ini pula yang dirasakan oleh Dr. Hisanori Kato (45), peneliti dari Jepang yang mendapat gelar Ph.D-nya dari Sydney University, Australia, tahun 2000, dengan disertasinya tentang peran agama Islam dalam pembentukan masyarakat demokratis di Indonesia. Ia yang pernah mengajar di Unas (Universitas Nasional), Jakarta selama hampir 10 tahun, dan kini menjadi profesor di Faculty of Policy Studies, Chuo University, Tokyo–Jepang, sudah lama tertarik pada HTI, dan ingin mengenal lebih dekat. Namun, ketika hendak datang ke Kantor HTI, ia berulang dibuat ragu oleh sejawatnya. Katanya, kalau Anda datang ke sana berarti keselamatan Anda terancam. Lalu ketika suatu saat para sejawatnya itu tahu ia suka bolak-balik datang ke Kantor HTI, berjam-jam duduk berdialog, melakukan wawancara sambil minum teh, dan pulang dengan selamat tidak kurang suatu apa, mereka tak henti terheran-heran. Kok, bisa?
++++
Demikianlah citra yang telah terlanjur melekat pada kelompok Islam yang disebut fundamentalis tadi. Pencitraan semacam ini tentu tidak lahir dengan sendirinya. Ia merupakan hasil dari sebuah kerja panjang yang sistematis oleh media massa yang suka atau tidak saat ini memang didominasi oleh media Barat. Pencitraan semacam ini jelas sangat merugikan karena orang bisa menjadi mis-leading (keliru) dalam menilai. Kalau sudah keliru, maka sebagus apa pun yang dibawa atau disampaikan akan tetap cenderung ditolak oleh khalayak.
Dalam teori pemasaran, sebuah produk akan laku di pasar bila ia memiliki apa yang disebut product selling point. Namun, bila tidak punya, maka harus dibantu dengan corporate selling point, yakni disebutkan bahwa produk tadi itu dari sebuah perusahaan bonafid. Namun, kalau ini juga tidak, maka Anda harus menyewa orang lain yang telah memiliki personal selling point. Bisa artis top atau publik figur. Itulah mengapa, iklan produk biasa disesaki oleh wajah-wajah yang sudah dikenal masyarakat.
Demikian juga, ibarat produk, syariah dan khilafah adalah ide yang akan dipasarkan. Agar berhasil mendapat dukungan masyarakat, maka ia harus memiliki product selling point (pada keunggulan dan keagungan syariah itu sendiri), corporate selling point (pada lembaga atau kelompok yang membawakannya) dan tentu saja personal selling point (pada orang atau para aktifis atau tokoh-tokoh yang mengkampanyekan). Masalahnya, bagaimana jadinya bila personal selling point dan corporate selling point-nya, bahkan juga product selling point-nya, sudah dibombardir dengan kesan atau citra buruk, bahwa syariah itu kejam, tidak manusiawi, kuno dan sebagainya; sementara kelompok dan aktifisnya dicitrakan sebagai tidak toleran, seram, bodoh, suka pada kekerasan dan sebagainya? Tentu upaya untuk menarik dukungan dari masyarakat menjadi semakin sulit dilakukan.
Namun, sepandai-pandai orang membuat citra buruk tentang syariah Islam, tentang kelompok-kelompok Islam dan tentang tokoh-tokoh dari kelompok Islam itu, ada saja jalan untuk menunjukkan kebenaran yang sesungguhnya. Di antaranya melalui orang-orang yang tidak mudah percaya begitu saja pada citra yang dibuat oleh media, dan mereka ingin melihat serta mendengar langsung dari sumber utama. Itulah orang-orang semacam Dr. Kato atau Dr. Greg Fealy dari ANU (Australian National University) dan banyak lagi lainnya, yang juga sudah pernah beberapa kali datang ke Kantor HTI.
Pernah seorang wartawati dari koran The Washington Post, mungkin saking kecelenya, setelah selesai wawancara panjang dengan saya tentang syariah dan khilafah, berucap, “You are too smart to be moslem.” Jangan dikira merasa tersanjung. Ucapan itu sesungguhnya adalah ajekan sarkastis. Dia menyangka aktifis Islam itu bodoh. Ketika ditanyakan mengapa begitu, rupanya ia juga adalah korban stereotype tadi. Selain itu, ia memang juga mempunyai pengalaman yang kurang lebih membenarkan citra atau kesan umum dari apa yang disebut tokoh-tokoh fundamentalis, yang memang cenderung doktriner dan tidak argumentatif.
Bukan hanya cerdas dan argumentatif, Dr. Kato bahkan merasa sangat nyaman berada di tengah-tengah aktifis HTI. Sama sekali dia tidak merasa terancam. Ia geli dengan kekhawatiran teman-temannya itu. Memang ia berulang dengan terus terang diajak untuk masuk Islam. Namun, ia tidak merasa terganggu, apalagi menganggap itu sebagai ancaman. Ia justru menangkap ajakan itu sebagai kejujuran dan ketulusan.
Ia mengaku sangat tersentuh ketika berada di kantor pusat HTI, ia sempat bertanya kepada orang-orang yang ada di situ, mengapa koq berulang mengajak dia masuk Islam. Dijawab, “Inilah cara kami menolong Anda. Ini adalah wujud kasih sayang kami kepada Anda. Ketika di Akhirat (here-after) nanti Anda mendapatkan balasan buruk dari Tuhan, kami sudah tidak bisa lagi membantu Anda.”
Ia mengaku terus terang, baru sekali itu mendengar penjelasan yang sangat tulus. Selama ini ajakan masuk Islam dia rasakan sebagai tekanan dan ajakan yang kadang tidak masuk akal. Namun, kali ini ia merasakan sentuhan manusiawi yang sangat mengharukan. Sama mengharukannya ketika ia mendengar jawaban dari pertanyaan dia, “Mengapa saya yang bukan Islam ini, kok diterima dengan ramah di sini, di Kantor HTI ini”? Dijawab, “Adalah kewajiban kami, sesuai tuntunan syariah Islam, untuk menyambut setiap tamu dengan sebaik-baiknya.”
Ia juga melihat, aktifis Islam adalah orang-orang yang pious (salih). Ramah, hangat, terbuka dan tepat janji. Ia dengan terus terang mengungkapkan kekecewaan terhadap para aktifis Islam liberal yang sering menyerang kelompok fundamentalis karena kritikan itu tidak sesuai dengan yang kenyataan yang dia lihat dan dia pahami. Sebaliknya, ia melihat justru hidup sebagian dari mereka kaum liberal itu tidaklah sebaik orang-orang yang mereka kritik. Bahkan dengan nada masygul dia ungkapkan kekesalan terhadap seorang tokoh Islam liberal yang sangat terkenal, yang berulang ingkar janji. Pasalnya, sudah lebih dari dua tahun, tulisan artikel yang dia janjikan sampai sekarang tidak kunjung selesai. Ia sangat sebal, karena hal itu sangat mengganggu penyelesaian buku penting tentang Islam di Indonesia yang waktu itu sedang digarapnya. Sebaliknya, semua tulisan dari orang-orang yang disebut fundamentalis—yang sering dinilai macem-macem itu—malah sudah masuk dan sangat bagus, melampaui apa yang ia harapkan sebelumnya.
++++
Akhir Desember 2016 lalu, setelah bertahun-tahun tak jumpa, ia kembali berkunjung ke Kantor HTI. Ia bercerita, di universitasnya sekarang ia mengajar mata kuliah Islam di Asia Tenggara. Pengalaman selama tinggal di Jakarta dan persentuhannya dengan berbagai kalangan Islam di Indonesia, termasuk dengan mereka yang disebut sebagai kelompok fundamentalis, telah membuat pengetahuan dan wawasannya tentang Islam di Indonesia cukup matang. Hal ini yang mungkin membuat mata kuliah yang dia ajarkan itu menjadi favorit di fakultasnya. Mahasiswanya paling banyak dibanding yang lain.
Menanggapi hal itu, saya katakan, “Pengetahuan Anda tentang Islam akan semakin baik bila masuk Islam”. Namun, seperti sebelumnya, ia masih belum mau menerima ajakan itu, dengan alasan, “Dengan seperti ini, saya akan dinilai cukup obyektif dalam mengajarkan Islam. Ini bagus buat perkembangan Islam di Jepang.” [HM Ismail Yusanto]